ILMU DAN WATAK
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Konon, ilmu tidak dapat mengubah watak, alih-alih justru memperkuat ekspresinya. Sebuah hikayat menceritakan perdebatan antara Luqman Al Hakim dan rajanya tentang thabi’ah (watak) dan tarbiyyah (pendidikan): mana yang lebih kuat? Luqman berpendapat thabi’ah lebih kuat, Raja sebaliknya.
Barangkali karena kalah ahli, Raja merasa mustahil memenangkan perdebatan itu hanya dengan kata-kata. Maka ia minta waktu beberapa bulan untuk menghadirkan bukti nyata kebenaran pendapatnya.
Tenggang waktu itu dipergunakan untuk melatih sekumpulan anak kucing secara rahasia. Pada akhir tenggatnya, Raja mengundang Luqman untuk menyaksikan pembuktian dalam sebuah perjamuan makan. Raja tidak menyadari bahwa Luqman telah memperoleh info tentang kucing-kucing itu dan datang ke perjamuan dengan berbekal persiapannya sendiri.
Para tamu undangan hadir dengan gairah ingin menyaksikan siasat Sang Raja menekuk Luqman Si Bijak. Maka Raja pun memberi tanda. Dan keluarlah seregu kucing berbusana layaknya para pelayan istana. Mereka berjalan di atas dua kaki dan berbaris rapi. Kaki depan mereka masing-masing menyangga nampan berisi hidangan ikan berbagai rasa. Kucing-kucing itu begerak lucu tapi tenang, meletakkan nampan-nampan ke atas meja tanpa sedikit pun kelihatan tertarik menyentuh ikannya.
Dan Sang Raja tersenyum puas sekali.
“Lihat! Pendidikanku telah mengubah watak kucing-kucing itu!”
Tapi, Luqman sama sekali tidak tampak grogi.
“Benarkan?” ia berujar santai seraya merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasianya: seekor tikus!
Ia lepas tikus itu ke tengah ruangan dan kucing-kucing pun berserabutan mengejarnya. Lupa berjalan seperti manusia. Lupa busana dan disiplin pelayan istana. Tak peduli sama sekali pada tamu-tamu, bahkan pada Sang Raja tuan mereka!
::
Begitulah. Saya sangat terkesan dengan cerita yang saya baca dari Terong Gosong sekian tahun lalu dan sekarang saya copas di sini. Sering tiba-tiba saya mengingat hikayat kucing pelayan, terutama ketika saya usai melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan yang terkesan kecil tapi berulang, padahal tahu banget kalau sebenarnya tidak pantas.
Tahu jika tidak menepati janji itu tidak baik, tapi berkali saya melakukannya. Paham jika keukeuh memaksakan kehendak itu merugikan orang lain, mengerti jika berulang menyampaikan kesalahan sahabat padanya itu menyebalkan, tapi ya kadang saya lakukan lagi. Tidak tepat waktu, komen asal njeplak, manja level lima, ngambekan, protes terhadap sikap orang lain tapi tak mau introspeksi, dan banyak lagi watak buruk saya yang kadang gentayangan mirip hantu🤭
Selalu sih, saya minta maaf dan menyesal usai kejadian. Menjadi lebih sabar dan kalem setelah ada yang dengan halus mengingatkan. Iya harus dengan halus mengingatkan saya, kalau tidak saya akan berubah menjadi singa… hahaha. Setelah sadar sebentar, eh besok-besok saya ulang lagi. Parah kan? 🙈
::
Lalu, tidak bisakah ilmu mengubah watak? Tentu saja jawabannya masih bisa diperdebatkan. Panjenengan semua pasti yakin, ilmu seseorang bisa menjadi wasilah untuk menjadi baik dan bahkan membaikkan sesama. Tapi, ada beberapa watak yang memang sudah dari sono-nya ya.
Seperti watak sulit bersyukur dalam surah Al Adiyat. Juga dengki, tak mau kalah dan ngeyel yang dalam Al Quran surah Yasin diperingatkan sebagai “yakhissimun”. Ngendikan Gus Baha ini mental konflik. Selalu ada dalam diri setiap manusia, bahkan dalam urusan kebaikan pun bisa berkonflik. Sama-sama muslim lho, kalau beda madzab ya jadi pengin tukaran. Sama-sama ber- toriqoh, ya kadang masih terselip merasa paling benar. Apalagi beda pilihan capres ya?
Maka yang paling bisa kita lakukan ialah menahan diri agar tidak ngelos. Membuang watak dasar nyaris mustahil, tapi mengurangi potensi merugikan kan pasti bisa ya. Direm paksa. Bisa kan? Bisa donk. Bisalah. InsyaAllah ding.
Sebagaimana ngendikan Imam Al Ghozaly idola saya dalam kitab Ihya Ulumuddin, “Siapa saja yang di dalam pangkal fitrahnya belum didapati sifat baik, misalnya, maka hendaklah ia memaksakan diri berbuat baik: barang siapa yang tidak diciptakan memiliki sifat tawadlu’ hendaklah ia berusaha keras bersifat tawadlu’ sampai terbiasa.
Demikian pula mengenai sifat-sifat yang lain, harus diterapi dengan melakukan kebalikannya sampai tujuan baik tercapai. Dengan cara melaksanakan ibadah secara kontinyu dan melawan syahwat dengan terus-menerus, warna batin akan menjadi menarik.”
::
Eh serius nih. Saya sudah mencobanya beberapa pekan ini. Ketika sedang kemrungsung, saya tiarap tidak ngiter di sosmed. Lumayan kok ngurangi tarian jari ngopyor saya. Sedang kesal sama orang, malah saya upayakan bisa menyapa dengan manis dan mendoakannya. Kalau nggak tahan, ya menghindar sementara. Lihat dua anak saya berantem, sebisa mungkin tetap senyum mesem. Kalau nggak kuat ya diam-diam nangis sambil nyuwuk dari jauh. Sedang illfeel dan pengin marah pada seseorang, saya malah maksa diri untuk merendah ramah, ngesot di depannya.
Modalnya? Saya selalu ingat doa yang diajarkan Abah Yai Masduqi Mahfudz agar bisa istiqamah, “Bismillah. Niat ingsun meksa awak”. Nah, doa ini saya baca juga kalau sedang ingin jadi baik. Saya baca berulangkali, sambil mejem dan tangan terkepal ups. Ada lagi, kita tidak bisa sendirian menjadi baik. Untuk itu kita bisa minta tolong saudara atau sahabat terdekat agar mengingatkan kita dengan cara yang pas.
Berhasil? Nggak selalu. Kadang ya gagal. Kalau pun bisa, ya nggak lama. Wong namanya watak manusia kan ya. Maka mohon pertolongan Allah dan tawakkal harus tetap jadi nomer satu. Wallahu a’lam nggih.
- Banyuwangi, 31 Januari 2020 –
Keterangan foto: Penulis bersama majelis keluarga YPP Miftahul Ulum.
One thought on “ILMU DAN WATAK”
Comments are closed.
Iya, watak