Penulis: Ning Evi Ghozaly
Kemarin aku harus ngisi di Semaka. Peserta pelatihan adalah pengelola dan guru PAUD dari lima kecamatan: Semaka, Wonosobo, Cukuh Balak, Pematang Sawa dan Bandar Negri Semaoung. Untuk sampai pada lokasi pelatihan di Balai Pekon Semaka, masing-masing peserta harus menempuh sebagian jalan darat dengan tingkat kesulitan yang nyaris sama: naik turun, gronjalan berlubang, ada yang tanah merah licin karena usai hujan.
Kecuali 8 pekon di Cukuh Balak, yang memang berada di sebuah pulau. Keluar dari pulau harus tahan 5 jam berada diatas kapal kecil, dilanjutkan dua jam perjalanan darat dengan kondisi yang sebagian amboi.
Aku dijemput sebelum adzan subuh, pkl 4 pas. Tiga jam perjalanan lancar, lalu bingung karena harus menyeberang sungai besar. Jembatan gantung putus, jadi kami harus memutar. Aku mulai ilfil. Apalagi aku dengar sebelumnya ada dua anak SMA jatuh dari jembatan itu, berikut motornya. Satu anak bahkan hanyut karena tidak bisa berenang, dan belum ketemu hingga sekarang. Serem ya.
Kami memilih menyeberang dengan perahu “rumah”. Antrian di penyeberangan sangat panjang, sebagian aku perkirakan adalah peserta pelatihan. Aku turun, sambil menggigil kedinginan aku cekrak cekrek motret. “Disini banyak buaya, Bu. Kalau sedang banjir begini, kadang tiba-tiba muncul”. Waduh.
Sampai lokasi, ternyata peserta sudah banyak, hanya ada duapuluhan kursi kosong. Usai pembukaan, panitia minta foto perkecamatan. Pas disebut kecamatan Pematang Sawa, hanya ada satu yang maju. “Saya Bu Camatnya, Bu. Mohon maaf tidak ada satupun warga saya dari pulau yang datang. Air sedang pasang. Kapan-kapan kami ingin mengundang ibu kesana langsung, kalau pas surut. Pantainya sangat indah Bu. Pulaunya bagus banget. Dekat dengan Bukit Barisan, dibaliknya sudah laut lepas, laut Cina Selatan (?). Ada konservasi disana, dikelola oleh pengusaha TW. Banyak harimau dan satwa langka. Kesana yuk Bu”. Aku tersenyum. Harimau itu…lima jam di laut itu…bagaimana kehidupan para guru disana ya? Pantesan ada 20 kursi kosong. Selalu saja ada cerita haru yang disampaikan dengan rona indah oleh para pejuang di pelosok. Dan selalu, membuatku malu.
Sejam materi, aku merasa lemas. Terlalu lelah mungkin. Mual. Pusing. Untuk pertama kalinya aku mohon ijin bicara sambil duduk. Beberapa kali break aku sempatkan tilp suami dan sahabat, meminta doa dan motivasi. Seorang guru PAUD angkat tangan, mencoba menjawab pertanyaanku. Bu Novi. Jawabannya pas, padahal aku belum menyampaikan materi yang ini. “Saya kuliah di Univ Terbuka, Ibu. Saya satu-satunya yang kuliah di jurusan PAUD”. Wah.
“Sudah berapa tahun mengajar, Bu Novi?”.
“Tujuh tahun”.
“Berapa gaji ibu perbulan?”.
“Lima puluh ribu rupiah”.
Aku ndlongop. Lama.
Terdengar isak tertahan. Pandangan aku alihkan pada peserta lain. Beberapa menutup muka, lalu menyeka air mata. “Seperti inilah keadaan kami, Bu”.
Lima puluh ribu perbulan. Mengajar setiap hari. Dengan kondisi sekolah seadanya dan menempuh perjalanan panjang yang…duh. Aku langsung merasa punya kekuatan berlimpah. Spontan aku berdiri. Aku peluk Bu Novi. Erat. Lalu aku sampaikan bahwa rizqi bukan hanya uang. Kesehatan, tetangga yang baik, orang tua, suami dan anak yang solih solihah adalah juga rizqi yang luar biasa. Mendapat kesempatan mengajar dalam konsisi apapun, adalah juga rizqi. *poin terakhir ini sesungguhnya aku sedang menasehati diri sendiri 🙁
Beberapa cerita diujung pelatihan belum sanggup aku sampaikan disini. Aku menutup dengan salam, lalu dilarikan ke rumah KUPTD. Dikerokin, dipijit, minum air anget. Tidur sejam. Pas bangun, sudah ada beberapa peserta di sekitar tempat tidur. Dua ibu memijit lembut kaki dan tanganku.
“Alhamdulillah ibu sudah bangun. Sehat ya Bu. Ini oleh-oleh dari sebagian peserta. Tolong dibawa. Jangan kapok datang lagi untuk kami ya Bu”.
Aku menatap karung dan kardus dibawah. Kangkung, ayam kampung hidup, telor, pepaya, klanting dan entah apa lagi. Lima puluh ribu gaji mereka. Oleh-oleh sebanyak itu…ah. Aku tergugu. Ada gerimis di mataku, juga di hatiku.
Evi Ghozaly
- Tanggamus, 13.10.2017 –
@M Haris Sukamto, Mas Lavy El Harisy dan Adik Dany El Harisy
Comments