SILATNAS BU NYAI NUSANTARA 2019 YPP MU Utus Delegasi
8 mins read

SILATNAS BU NYAI NUSANTARA 2019 YPP MU Utus Delegasi

Penulis: Ning Wildatur Rohmah

Surabaya, MIFUL News – Difasilitasi oleh Pengurus Wilayah Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PW RMI NU) Jawa Timur, Silaturrahmi Nasional (Silatnas) Bu Nyai Nusantara berlangsung dengan tema “Meneguhkan Peran dan Eksistensi Bu Nyai dalam Merespons Perkembangan Sosial Keagamaan” di Surabaya, 13-14 Juli 2019, tepatnya di Hotel Fairfield by Marriot. Sesuai nama acara, Silatnas ini dihadiri oleh para ibu nyai dan juga para ning yang berasal dari berbagai pesantren se-Nusantara. Tak kurang 400 bu nyai dan para ning hadir di acara tersebut. Tiga di antaranya ialah delegasi utusan dari Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum (YP MU) Bengkak Wongsorejo Banyuwangi, yakni Nyai Hj. Nur Mahmudah, M.Pd.I, Nyai Umi Nadhiroh, S.Ag., dan Ning Wildatur Rohmah.

Penyelenggaraan Silatnas ini dipandang penting berdasar keyakinan bahwa sosok ibu merupakan madrasah pertama (al-madrasat al-ula). Para bu nyai memiliki peran sentral dalam membentuk generasi unggulan. Mereka memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dalam berkontribusi bagi pendidikan keluarga dan masyarakat dalam konteks Islam Rahmatan lil ‘Alamin di Indonesia. Silatnas sendiri bertujuan sebagai sarana silaturrahim antar-Bu Nyai se-Nusantara dalam merumuskan strategi meneguhkan peran dan eksistensi mereka dalam merespons perkembangan sosial keagamaan sembari merancang rencana tindak lanjut untuk merespons aneka problematika terkini masyarakat dan bangsa.

Pada hari pertama Silatnas (13 Juli), setelah peserta melakukan check in hotel jam 13.50, dilangsungkan welcome party bagi para peserta dengan sambutan dari Walikota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini. Dalam sambutannya, Ibu Risma menceritakan bagaimana awal mula beliau menjadi walikota hingga kebijakan melakukan penutupan lokalisasi Dolly yang dianggapnya lebih banyak mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Dalam kesempatan itu, Bu Risma juga mengajak para bu nyai untuk terus bersemangat memperbaiki generasi bangsa sehingga masa depan negara Indonesia menjadi lebih baik. Di penghujungan sambutan, beliau menyempatkan diri menyerahkan selendang kepada perwakilan bu nyai secara simbolis.

Pembukaan acara sendiri berlangsung setelah shalat ‘Ashar, yakni pukul 15.00-16.30 WIB. Pada segment sambutan, Ning Maslahatul Ammah mewakili panita menyampaikan penegasan maksud dari acara Silatnas untuk berjihad bersama para bu nyai. Dilanjutkn sambutan oleh Ketua PW RMI NU Jawa Timur, Gus Zakky yang juga salah satu cucu Hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari. “Acara ini dibuat untuk membangkitkan dan mengangkat para bu nyai agar menjadi sosok seperti sayyidah Aminah yang melahirkan manusia terbaik, Nabi Muhammad SAW. Semoga silaturahim ini dapat berlangsung produktif serta melahirkan berbagai keputusan yang bermanfaat bagi anak bangsa,” ujarnya berharap.

Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar menegaskan bahwa NU saat ini sedang terancam karena banyaknya organ-organ Wahhabi dan pesantren yang tidak bermerek NU lebih ramai daripada pesantren-pesantren NU. “NU sangat nasionalis, sangat mencintai NKRI. Oleh karena itu, NU harus solid untuk menghadang pemikiran yang dapat mengancam negara dan bangsa,” demikian pesannya. Beliau juga mengingatkan bahwa peran bu nyai dalam memperkuat NU sangatlah penting karena bu nyai memiliki andil pada pak kiai dan memegang kendali alumni. Untuk itu, diharapkan para bu nyai bersatu melakukan konsolidasi ‘aqidah dan pesantren secara nasional agar melalui mereka NU tetap utuh dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Seusai deretan sambutan, pembukaan acara secara resmi dilakukan oleh Gus Saifullah Yusuf, mantan Wakil Gubernur Jawa Timur, dengan pembacaan Surat al-Fatihah serta dilanjutkan dengan penampilan grup hadrah.

Selepas Maghrib, pukul 18.00 WIB, acara dilanjutkan dengan focused group discussion (FGD). Para bu nyai dan ning dibagi ke dalam empat kelompok FGD untuk membahas empat tema berbeda yang hasilnya akan diplenokan keesokan harinya. Empat tema FGD tersebut dibahas dalam empat kelompok dan forum berbeda, yaitu (1) FGD bertema “Respons Pesantren terhadap Fenomena Hijrah Style” dengan Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., M.Phil. Grad.Dip.SEA., Ph.D (Sekretaris PWNU JawaTimur), Hasanuddin Ali (Peneliti Alvara Institute), dan Ning Hj. Hindun Anisah, MA (Ponpes Hasyim Asyari Jepara) sebagai pemantik diskusi; (2) FGD “Deradikalisasi Berbasis Keluarga” bersama Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME (Direktur Pencegahan BNPT), Dr. Nur Rofiah Bil Uzm (Pascasarjana PTIQ Jakarta), dan Ning Yenny Wahid (Founder Wahid Foundation); (3) FGD “Pemberdayaan Ekonomi Pesantren” bersama Muhammad Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan) dan Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur); dan (4) FGD “Gerakan Nasional #AyoNgajiKitab” dengan pemantik diskusi tiga tokoh, yakni KH. Reza Ahmad Zahid, Lc., MA (Wakil Ketua PWNU Jawa Timur), Dr. H. Agus Zainal Arifin (Wakil Ketua PP RMI), dan Ning Hj. Alissa Wahid (PP LKKNU). Setelah acara FGD, acara dilanjutkan dengan city tour yang difasilitasi Pemkot Surabaya; seluruh peserta diajak keliling kota dan mengunjungi air mancur menari yang merupakan salah satu program andalan Bu Risma sebagai Walikota.

Pada hari kedua (14 Juli), acara dimulai sejak pukul 08.00 WIB pagi berupa rapat pleno untuk menyepakati hasil diskusi dari setiap kelompok FGD yang telah dilakukan semalam. Rapat pleno dipimpin oleh salah satu putri Gus Dur, Ning Alissa Wahid, ditemani Prof. Muzakki. Dari hasil FGD bertema “Respons Pesantren terhadap Fenomena Hijrah Style”, sejumlah hal disepakati, yakni (1) pesantren hendaknya tidak menunjukkan sifat antipati, melainkan justru harus menawarkan model yang juga digemari anak muda, tetapi tetap berpegang pada tradisi pesantren, (2) para bu nyai dan ning hendaknya aktif di jagat social media dan peduli penguasaan teknologi sehingga menjadi public figur baru dari pesantren dan mampu berdakwah melalui medsos (media sosial); dan terakhir, (3) pesantren harus berbenah diri, terutama dalam hal penyediaan fasilitas, karena mereka yang ikut hijrah style dan notabene generasi milenial ini sangat aware menyangkut lingkungan dan sarana-prasarana pesantren.

Sementara itu, dari hasil FGD bertajuk “Deradikalisasi dalam Keluarga”, para bu nyai menyepakati sejumlah hal, yaitu (1) pesantren-pesantren NU harus meningkatkan fasilitas guna menarik generasi milenial karena melalui penyediaan fasilitas inilah, pesantren-pesantren bertendensi radikal kerap menjaring minat generasi milenial atau para orangtua mereka untuk mondok; (2) pesantren harus mampu menawarkan inovasi dari media pembelajaran dan sistem pesantren yang mempermudah para orangtua untuk mengetahui kabar anak mereka di pesantren; (3) pesantren membuat pengenalan IT dan medsos yang dalam batas-batas tertentu memperbolehkan mereka memanfaatkan gadget tetapi tetap dengan pantauan ketat pesantren; (4) pesantren harus aktif mengajarkan santri untuk menolak ekstremisme, seperti prilaku mudah mengkafir-kafirkan orang lain; (5) pesantren harus aktif melaksanakan jihad di medsos yang merupakan tempat bermain favorit generasi muslim milenial; dan (6) setiap pesantren hendaknya membentuk tim parenting yang aktif mengajarkan bahwa keluarga yang baik adalah keluarga yang mencintai tanah air dan menolak radikalisme.

Adapun hasil FGD bertema “Pemberdayaan Ekonomi Pesantren” juga menyepakati sejumlah hal penting. Antara lain ialah mempelajari strategi investasi sembari melakukan investasi Rp. 100 ribu/bulan untuk pendidikan anak di pesantren. Selain itu, juga disepakati perlunya program-program penguatan kesejahteraan keluarga yang difasilitasi oleh dan berbasis pesantren.

Pada hasil FGD bertema “Gerakan Nasional #AyoNgajiKitab” para bu nyai dan ning menyepakati sejumlah hal penting. Enam di antaranya menyebut pentingnya (1) perluasan akses ilmu bu nyai untuk melakukan inovasi-inovasi di pesantren masing-masing, (2) membentuk tim media pesantren sehingga aksesabilitas khalayak terhadap pesantren dapat diperluas, (3) mendokumentasikan gerakan ngaji para bu nyai lewat lini medsos agar menjadi dakwah efektif di dunia maya, (4) peningkatan mutu pembelajaran, khususnya yang berkonten seputar NU, seperti menyangkut aqidah dan manhaj NU, (5) pengembangan kapasitas SDM pesantren (guru), terutama dalam penguasaan mengaji kitab kuning yang dipandang sebagai penawar racun radikalisme, dan (6) menyusun gerakan yang atraktif dari para bu nyai dan di lingkungan masing-masing mereka menjadi motor gerakan #AyoNgajiKitab. Setelah raat pleno tuntas, acara Silatnas kemudian ditutup resmi lewat tengah hari, kira-kira pukul 13.30 WIB. Pada acara penutupan, Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj selaku Ketua Umum PBNU kembali menegaskan pentingnya peran para bu nyai dan ning untuk aktif melawan radikalisme dengan memulai dari lingkup keluarga dan pesantren masing-masing. Untuk mencegah arus radikalisme itu terus merambah keluarga dan pesantren, para bu nyai dituntut berpikir cerdas, berkarakter (himmah dan azimah), memiliki skill/keterampilan, dan kearifan. Selanjutnya, di ujung penutupan, beliau juga berharap Silatnas ini dapat dihelat rutin di tahun-tahun berikutnya karena tantangan sosial-keagamaan dan politik di Indonesia yang terus berubah-ubah menuntut keterlibatan aktif para bu nyai untuk ikut menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan kontemporer.(Miful/NWR)