
TEMPE MENJES
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Ya’apa bisa pinter Ning Evi dan semua saudaranya, kalau makan cuma dengan lauk menjes gombal tiap hari,” kata seorang dosen muda yang kebetulan main ke asrama Al Ghozaly, pada suatu hari di tahun 1980.
Asrama yang dibangun Bapak kami sejak tahun hong ini, hanya semacam kos-kosan biasa. Tapi Bapak -yang kami panggil Abah- berusaha mengajak semua penghuni untuk istiqomah jamaah dan mengaji Al Quran atau kitab-kitab ringan. Kalau pesantren yang beneran, ada di depan rumah kami. Dikelola oleh keluarga saudara kami. Bapak kebagian mengajar satu dua kitab pasan dan menjadi imam jamaah sholat apa dan apa.
“Menjes gombal itu terbuat dari ampas tahu yang difermentasi lalu dipadatkan seperti tempe beneran. Nggak ada gizinya. Jangankan jadi bintang kelas, anak tempe menjes sulit naik kelas lho,” timpal temannya.
Mas X yang memang tinggal di asrama kami, meng-huuusss ghibahan dua temannya. Lalu mengalihkan pembicaraan.
Saya mendengar semuanya. Jelas. Waktu itu saya sedang menyuapi adik bungsu dengan lauk tempe menjes atau menjes gombal di belakang rumah, depan kamar asrama paling barat.
Anak Bapak dan Emak ada sembilan. Semua sekolah dan mondok. Sebagian mondok permanen, yang masih kecil mondok bledeg tiap Ramadhan atau liburan. Pesantren kilat itu lho. Bisa dibayangkan biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan kan? Maka untuk urusan sandang dan pangan, sering harus mengalah. Apalagi jajan, no way. Yang penting ada ragat untuk sekolah dan mengaji. Berapapun, cukup nggak cukup, harus cukup.
::
Mendengar semua rasan-rasan itu, saya menelan ludah. Saya tak paham ilmu gizi. Yang penting kami bisa makan. Jika makanan tak banyak, kakak-kakak puasa. Dalam keterbatasan, Bapak Emak tak pernah mengeluh. Masak kami tega protes? Wong tempe menjes itu enak kok. Kalau ada minyak, Emak menyajikan tempe menjes tepung. Kalau tak banyak minyak, tempe menjes diiris tipis panjang, ditumis pedas. Nikmat tiada tara.
Belakangan, hampir semua anak Bapak mendapat predikat bintang kelas. Kakak-kakak saya malah bintang pelajar. Nyaris semua anak Bapak dapat beasiswa sampai kuliah. Saya makin “tidak percaya” ilmu gizi. Nggak peduli apa yang saya makan tiap hari. Kadang pengin jajan seperti teman, keinginan sesaat saja, setelah itu kembali menganggap urusan makan tak penting. Yang penting dapat ridla orang tua, dapat aliran doa Bapak Emak. Yang ada dalam target adalah bisa bekerja apa saja agar tak perlu menunggu pemberian uang SPP dari Bapak. Bisa segera lulus, ndang pergi dari kota ini, untuk kembali lagi suatu saat nanti, ketika saya bisa memberi manfaat pada sesama, terutama keluarga.
::
Mungkin ini semacam “dendam” terpendam ya, Gaes. Ada beberapa peristiwa tak enak di masa kecil, yang kemudian membuat saya bertekad melakukan sesuatu kelak, mencapai satu dua target, atau memiliki satu dua barang. Peristiwa yang saya lupa blas. Tak ingat sama sekali. Lupa beneran, dalam waktu lamaaa. Puluhan tahun. Kemudian muncul tiba-tiba ketika ada pemicu. Dan itu, selalu terjadi tiap saya pulang ke Malang.
Meja marmer bulat. Melati. Kicau burung berbulu hijau dan kuning . Sirih. Ikan merah. Sri Rejeki. Papan nomer rumah kayu. Kuping Gajah. Mie kuah. Krupuk ikan. Dan ini, tempe menjes gombal.
Kemarin pagi saya dapat kiriman tempe menjes gombal dari kakak keempat saya. Ndalemnya tepat di sebelah kiri gubuk saya. Seorang santri beliau mengantar ke rumah. Sepiring.
Mata saya terbelalak menatap enam lembar tempe berbalut tepung tebal dengan beberapa cabe yang dicucukkan. Mirip yang sering kami dapat dari Emak dulu, satu-satu tiap anak. Sekian tahun tak nyicip tempe menjes gombal, eh pas dapet, ingatan saya langsung melayang ke cerita di awal tulisan ini. Sedih sebentar. Tapi lalu bersyukur, sangat.
::
Saya lebay ya?
Biarin ajalah. Penikmat tempe menjes gombal ini masih hidup. Anak kelas 2 SD Negri Pisang Candi I sebelah barat SLB Budi Luhur tetangga Kelurahan Gading Kasri, yang 41 tahun lalu diragukan bisa baik kelas 3, eh akhirnya bisa sampai kelas 6 dan lulus. Kemudian mendapat kesempatan melanjutkan sekolah ke jalan Bandung, bertahan di jalan Bandung selama 6 tahun. Lalu masuk kampus ini dan itu. Itu dan ini.
Lantaran pintar? Enggak. Makan bergizi terus? Enggak juga. Bersungguh-sungguh belajar, kadang. Yang pasti, karena takdir. Doa orang tua dan guru, saya yakin. Kersane Gusti Allah.
::
Sore hari, saya mengisi materi kulwap Nikah Institute. Mendapat 3 pertanyaan mirip, “Bagaimana cara melupakan bagian masa lalu yang tidak enak agar kita bisa menjalani hidup lebih baik di masa akan datang?”
Saya nggak bisa jawab dengan pasti. Tapi bismillah, filosofi tempe menjes gombal tayang nih. Lupakan, jika mampu. Minimal, maafkan. Kelola semua yang nggak enak jadi tantangan untuk mencapai mimpi hidup. Tak harus pintar kok, tapi jangan sampai tidak mendapat ridlo dan doa orang tua. Selebihnya, wallahu a’lam.
- Malang, 4 Agustus 2021 –