TSUKI
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Namanya Tsuki, artinya Bulan. Diadopsi oleh anak sulung kami 3 tahun lalu, untuk membunuh sepi cie. Iya, Mas Lavy yang banyak kegiatan tiba-tiba harus ndekem di rumah karena pandemi. Sangat gabut, berkali ngeluh jenuh. Sudah coba ngrawat ikan dalam aquarium yang bongkar pasang suwidak kali, eh bosen. Diantar dua Love Bird, tibaknya demen sebentar. Ngoleksi film-film, dua pekan udahan.
Suatu hari pas video call dari Lampung, saya lihat kucing melintas. Sak klerap, “Kok ada kucing, Nak? Punya siapa, Mas? Adik?” Klakep. Semua diam. Ami-ami juga hanya jawab ngapunten, ngapunten. Walah konspirasi ini. Memang saya dan Abinya tidak mengijinkan ada kucing di rumah Malang. Membayangkan anak-anak sibuk bersih-bersih kandang, buang kotoran, ngajak main de el el pasti repot. Sementara jadwal kuliah, organisasi, diniyah dan ngaji di pondok rapet bener. Belum lagi masak, nyuci, setlika, ngepel.
“Mohon maaf, Umi Abi. Ini masih coba-coba ngadopsi kucing bayi. Untuk hiburan. Kalau nggak cocok, lepas. Kalau betah, baru ijin ke Abi Umi. Ini juga belum diberi nama kok. Tapi karena Umi terlanjur pirsa, sekalian minta ijin nggih. Janji, nggak minta uang tambahan. Nggak ngrepoti. Janji, rumah bersih dan nggak bau…”
Walah. Prinsip lebih baik minta maaf daripada minta ijin, mulai berlaku nih. Yawislah, Nak. Seterah, “Tapi sampai Mas Lavy wisuda aja ya, Nak.” Tak ada jawaban. Krik-krik.
::
Ternyata seisi rumah suka. Makin hari semua makin sayang Tsuki, makin suka nguyel-nguyel kucing pemilik bulu dan suca ajaib ini. Tumbu oleh tutup mpun. Jadinya semua ikut ngrawat, ikut bersih-bersih. Apalagi kalau pas saya mau datang ke Malang, semua sibuk gedhubrakan ngilangin ambu. Mereka juga rela piket nganter ke salon dan kadang urunan untuk beli makan, pasir, susu, vitamin sembarang kalir, karena saya dan abinya nggak mau nambah uang bulanan untuk anabul.
Pas Mas Lavy berangkat ke Jakarta untuk bekerja, mulai deh bingung. Si bungsu magang di Batu enam bulan demi kurikulum merdeka, satu ami yang sedang tesis ketrima jadi guru di sekolah Surya Buana, satu ami lagi mulai S2 di UIN dan ngapal Quran. Nah lho, siapa yang ngurus Tsuki? Jo dithinkir marai dhawet wis.
Alhamdulillah. Lhakok sampai berbulan-bulan nggak ada keluhan. Berarti aman. Tsuki makin menggendut. Love bird malah bertelor. Sesekali saya minta foto rumah, bersih. Bagooos. Tibaknya yang jadi korban para tanaman dalam pot. Banyak yang almarhum. Kelor, sirih merah, delima, dadah semua. Tinggal dua melati dan rumput-rumput yang kadang bergoyang. Yaudah rapopo. Resiko para juragan telah berpindah hati.
::
Bulan lalu Tsuki mulai ngejer kucing kampung cantik, entah milik siapa. Tapi tiap yang dikejer sampai mulut gang, Tsuki mundur. Doi takut kendaraan rame, jadi nggak pernah sampai jalan besar. Kalau jatuh cinta nggak mau berjuang, ya nggak dapet-dapet, Ki. Kabar terakhir, Tsuki dilamar ponakan, “Lav, boleh nggak Tsuki nikah sama Tsuraya. Cocok lho, Bulan berpasangan dengan Bintang.”
Mas Lavy ijin ke kami. Kalau mereka berdua sama-sama cinta ya silakan aja, Nak. Semoga bahagia sakinah dan segera dikaruniai momongan. Tapi kalau bisa sih, setelah mereka nikah pindah rumah ya. Upayakan mereka akad pas Mas Lavy wisuda, sekalian ngunduh mantu kucing kitah. Setelah itu gudbay nggih. Tak ada jawaban lagi. Krik-krik lagi. Mas Lavy selalu tidak suka mendengar kode harus pisah dengan Tsuki. Wong selama di Jakarta aja, tiap hari doi video call ayangnya ini.
::
Semalam saya sampai Malang lagi, setelah lima hari di Jember dan sepekan di Banyuwangi. Sejak pagi sepi. Tet pkl 10.00 saya turun, semua ruangan kosong. Saya panggil Tsuki, biasanya sekali aja langsung lari klinang-klining datang. Ini ngeong aja enggak. Panik donk. Setelah munyeri rumah mungil ini dua kali, akhirnya saya pasrah. Kirim WA ke group keluarga dapat jawaban melegakan, “Tenang Um, biasanya Tsuki main ke pondok putri. Pulang-pulang kenyang dan bulunya bau harum.”
Bener. Dhuhur, terdengar gerbang buka. Saya intip dari atas, ada mbak santri menggendong Tsuki. Lalu pintu depan ditutup. Ngeong. Tsukiiiiii, saya teriak. Cepat dia lari ke atas, langsung ndusel-ndusel di kaki saya, manjaaa banget. Tatapan matanya yang tajam dan misterius, seketika menjadi teduh dan ngalem. Ekornya digerak-gerakkan lembut. Saya elus kepalanya, tiba-tiba saya ingin menciumnya. Ini untuk pertama kali. Muach, wangi. Serasa ada gambar sembilan waru merah melayang-layang.
Duh. Saya mulai jatuh cinta pada Tsuki. Tepat tiga hari sebelum Mas Lavy wisuda.
.
- Galunggung, 15 September 2022 –