Akulah si Pemberani
Penulis: Ibnu Sulaim
Cita-citaku setelah dewasa nanti, ingin sekali aku menjadi pengusaha sukses seperti yang diceritakan Bu Endang, yang menceritakan salah seorang pengusaha sukses yang mampu membahagiakan orang tuanya yang awalnya tidak memiliki apa-apa. Sehingga dari cerita itu, spontan aku teringat orang tuaku. Kalau seandainya nanti aku menjadi pengusaha sukses, aku akan membuat orang tuaku bahagia dan bangga mempunyai anak sepertiku. Tunggu aku dewasa, Bu. Aku akan membuktikan semuanya untuk Ibu.
“Kira-kira, kamu punya cita-cita apa, Fer, setelah dewasa nanti?” tanya Bu Endang di tengah-tengah jam sekolah. Beliau adalah wali kelas enam yang terkenal sabar dan bijak dalam mendidik murid-muridnya.
“Aku ingin menjadi pengusaha sukses, Bu,” jawabku penuh semangat. Beliau hanya tersenyum ramah. Kemudian melanjutkan pertanyaan yang sama pada masing-masing murid. Setelah semuanya selesai mendapat pertanyaan, Bu Endang kembali berdiri di depan kami, sembari mengungkapkan rasa syukur dan dilanjut dengan berdoa bersama, berharap semua cita-cita bisa tercapai dengan lancar. “Lebih baik menangis di waktu kecil dan tertawa di masa tua, jangan malah sebaliknya,” pesannya.
Beberapa menit kemudian, sekitar jam 11:15 WIB waktunya pulang sekolah. Satu per satu keluar dari ruangan, memasang wajah kelelahan karena lamanya waktu pelajaran. Terlebih murid kelas enam, karena beberapa minggu lagi akan menghadapi ujian akhir semester. Bimbang, antara lulus dan tidaknya. Namun, karena beberapa petuah dan motivasi yang diberikan Bu Endang dengan ramah dan bijak, sehingga rasa jenuh itu seakan-akan musnah, menyemangatkan murid-muridnya untuk tetap optimis dengan adanya kelulusan.
Sesampainya di rumah, kutemui Ibu. Beliau di rumah lagi merebahkan badan di ruang tamu, dan kuraih tangan kasarnya, menciuminya. “Makan dulu, sana!” ucapnya, tanpa mengubah posisi rebahnya. Aku pun bergegas mengambil nasi, dan menyantapnya di samping Ibu, berbagi cerita yang telah kulewati bersama teman-teman di sekolah.
“Bu Endang tadi tanya, Bu,” kataku membuka obrolan, sembari mengunyah nasi. Ibu masih belum menanggapinya dengan serius.
“Apa katanya?”
“Semua murid kelas enam, sama-sama ditanyakan, mempunyai cita-cita apa saat dewasa nanti?” jelasku. Ibu belum juga bangun dari rebahnya, setengah memejamkan kedua matanya, sembari mendengarkan ceritaku. “Kalau dewasa nanti, Feri punya cita-cita menjadi pengusaha sukses, Bu. Enak, bisa bertamasya ke mana-mana, dan bisa mengajak Ibu untuk jalan-jalan ke mal,” lanjutku sembari menikmati makan siang. Perlahan Ibu duduk, merapikan kerudungnya dan menatapku dengan paksa.
“Kalau Feri punya cita-cita seperti itu, belajarnya digiatkan lagi, ya! Jangan bolos sekolah, jangan nakal di sekolah,” ucapnya menasihatku. Aku mengiakan dan segera menuntaskan makan. “Kenapa Feri punya cita-cita menjadi pengusaha sukses?” lanjutnya bertanya.
“Karena Feri percaya, Bu, kalau semua kesuksesan tergantung dari niat dan usahanya. Doakan Feri sukses, ya, Bu! Aku akan menunjukkan pada dunia, kalau Ibu bangga punya anak seperti Feri.” Ibu mengaminkan keinginanku, setengah mengelus lembut kepalaku. “Enak, Bu, kalau Feri sudah sukses, semua yang Ibu inginkan, Feri turuti,” lanjutku, disapa senyuman yang terpancar di lengkung pipinya.
“Anak pintar.” Tangannya kembali membelai kepalaku, meraih tubuhku dalam dekapan penuh kasih sayang. “Jadilah anak yang bisa membahagiakan orang tuamu, Nak,” bisiknya dalam hangatnya kasih sayang. ‘Dengan doamu, aku mampu, Bu,’ gumamku menanggapi harapan Ibu. (MIFUL/IS)