
Andai Aku Sealim Imam Syafi’i
Penulis: Ibnu Sulaim
Di depan asrama putra, terjadilah perbincangan santri yang tengah diskusi buku tentang Biografi Imam Syafi’i. Tidak lama dari itu, seorang santri dengan postur tubuh kekar baru bergabung dan langsung menempati tempat yang masih kosong.
“Dari mana saja kamu, Bar?” tanya ketua diskusi, Ustadz Yasin.
“Anu, Ustadz, biasa. Masih makan,” jawab Akbar dengan tenang, sembari memancarkan senyum indahnya.
“Makan mulu pikirannya!” Teman yang lain mengumpatnya. Karena seringnya guyon, Akbar pun menanggapi umpatan tersebut sebagai guyonan semata.
“Ibadah, kalau tidak makan, ya, lapar,” jelas Akbar, sok iyes. “Tapi, kalau kita makan dengan niat Ibadah, pahalanya ada sendiri. Iya, kan, Ustadz?”
Ketua diskusi, Ustadz Yasin, hanya tersenyum dengan pernyataan Akbar yang sudah dari dulu pasti ada saja pembelaan untuk dirinya sendiri. Kadang dalil-lah, sok iyes-lah. Pokoknya tidak mau kalah dengan santri yang lain.
Kemudian, Ustadz Yasin melanjutkan diskusinya yang menjelaskan tentang wasiat Imam Syafi’i.
“Jangan kau anggap remeh nikmat Allah kepadamu, walaupun sedikit. Terimalah ia dengan rasa syukur. Jadikan diammu sebagai tafakur, bicaramu sebagai dzikir, dan pandanganmu sebagai usaha mengambil pelajaran. Maafkan orang yang menzalimimu. Jalin silaturahmi dengan orang yang memutuskannya, bersikaplah baik kepada orang yang bersikap buruk kepadamu, bersabarlah atas musibah, dan mintalah ampunan Allah dari neraka dengan takwa.”
Santri yang mengikuti diskusi tersebut dengan tenangnya mendengarkan penjelasan Ustadz Yasin. Ada sekitar lima belas santri yang duduk melingkar dalam diskusi malam itu. Kecuali Akbar, ia masih saja memamerkan senyumannya di tengah-tengah diskusi. Ada siasat tersendiri dalam dirinya.
“Seperti itulah yang aku praktikkan dalam hidup,” ucap Akbar setelah penjelasan Ustadz Yasin selesai. “Diamku sering kali tafakur, bicaraku seumpama dzikir. Ya, Setidaknya sedikit demi sedikit aku mengamalkan wasiat Imam Syafi’i.”
Bukan ditanggapi dengan ramah, semua santri tertawa mendengar ucapan Akbar yang sok iyes sendiri.
“Kalau diamnya Akbar beda lagi. Tafakur iya, tapi dilihat dulu, apa yang ia pikirkan. Soalnya, tafakurnya Imam Syafi’I untuk kemaslahatan umat. Kalau Akbar? Tafakurnya pasti seputar makanan yang nikmat.” Serentak semua santri tertawa terbahak-bahak, tak terkecuali Akbar.