Penulis: Dr. Fawaizul Umam, M.Ag
Dua orang wali santri baru asal Jembrana Bali datang bertamu. Bersama keluarga besar masing-masing, keduanya bermaksud memondokkan putra-putri mereka. Setelah keduanya mengutarakan maksud dan menanya seputar pendidikan di pesantren, seperti biasa, kupungkasi majelis dengan doa.
Doa baru saja rampung terpanjat, seorang wali santri lama sudah menunggu di ambang pintu, minta ijin masuk. Kupersilahkan. Bersamanya, ikut pula sejumlah anggota keluarga.
Setelah berbasa-basi sebentar, kutanya maksud kedatangannya. “Beden kaule terro mondute cebbing…,” terangnya dalam bahasa Madura. Dia bermaksud mohon ijin untuk membawa pulang putrinya, boyongan, karena masa sekolah si anak sudah usai. Kami berbincang dengan bahasa Madura karena wali santri ini orang Madura, sama sepertiku; rumahnya masih di sekitaran pesantren.
Setelah kami saling meminta maaf dan kuselipkan sedikit nasihat buat putrinya, seperti biasa pula, kututup dengan doa. Selanjutnya, kupersilahkan semua yang hadir untuk mencicipi penganan sederhana yang terhidang. Tak lupa, dengan bahasa Indonesia, kusilahkan juga dua wali santri baru asal Bali itu. Selama kami berbincang dengan bahasa Madura tadi, keduanya cuma diam. Tak paham. Hanya sesekali terlihat ikut manggut-manggut kendati bahasa kami tak mereka pahami.
“Mau memondokkan putrinya juga, Pak?” tanya salah satunya ramah, membuka percakapan, dalam bahasa Indonesia.
“Oh iya, eh tidak…,” jawab wali santri Madura, agak gelapan. Tapi, ia berusaha menguasai keadaan, kemudian segera menjawab penuh percaya diri (ini salah satu yg kusyukuri menjadi Madura. Hehehehe…).
“Tidak. Saya mau pamitan, mau bawa pulang anak saya, karena sudah mari sekolahnya…,” jawabnya tegas. Ia menggunakan kata “mari” yang tampaknya pengindonesiaan dari kata Madura “mare” (selesai).
“Maksudnya, berhenti mondok?” Si Bali mengkonfirmasi. Si Madura mengangguk. “Mau saya kawinkan, sudah dilamar orang,” katanya, bangga. Sang putri yang lulusan Aliyah (setingkat SLTA) tampak nunduk tersipu di sampingnya.
“Tidak dikuliahkan dulu, Pak?”
Si Madura menggeleng. Tangannya bergerak menyalakan rokok.
“Tidak… Saya tidak punya dunia,” ujarnya sambil tersenyum, agak kecut.
“Tidak punya dunia?” Si Bali mengernyitkan dahi. Aku sendiri menggigit bibir, menahan tawa.
“Iya. Dunianya siapa yang mau dipake kuliah?” timpal si Madura, bergaya oratoris, lalu terkekeh. Si Bali manggut-manggut bingung, senyumnya mengembang ragu. Tampaknya si Madura paham kalau lawan bicaranya kurang paham. “Maksudnya saya, kan kuliah itu butuh benda besar. Nah, saya tidak punya benda untuk nguliahkan anak…”
Si Bali semakin bingung. Ia menoleh ke teman di sampingnya, juga ke aku. Alisnya terangkat. Si Madura sendiri menatapku, meminta bantuan.
“Maksudnya, beliau ini tidak punya biaya untuk menguliahkan anaknya…” jelasku, sembari tersenyum. Spontan duo Bali di depanku ini angguk-angguk dengan bibir mendesiskan vokal “o”.
“Begitu. Makanya, mau saya kawinkan saja…,” tambah si Madura malu2, lalu tergelak lagi. Hisapan rokoknya manchaap!
Note:
*”Tidak punya dunia”, alih bahasa letterlijk dari ungkapan bahasa Madura “tak andik dhunnya” yang berarti “tidak memiliki harta/kekayaan”.
*”Benda”, pelafalannya diindonesiakan dari kata Madura “bhendeh” (modal), bhendeh rajhe (modal besar).
Amazing.. hahaha