JANGAN MENGANDALKAN ORANG LAIN
Penulis: Ning Evi Ghozaly
لاَ تَنْتَظِرْ شَيْئاً مِنْ أَحَدٍ فَالْأَشْيَاءٌ الْجَمِيْلةُ تَأْتِيْ مِنَ اللهِ
“Tidak perlu menanti sesuatu dari seseorang, karena sesuatu yang indah itu akan selalu datang dari Allah”.
Kalimat keren di atas saya temukan di sampul dalam kitab Risalatul Qusyairiyah akhir tahun lalu. Sebuah kitab yang pernah saya dengarkan penjelasannya secara rinci oleh Habib Sholeh Al Idrus Malang, tiap Jumat pagi. Kitab tersebut adalah salah satu kitab selain Muwatho’ dan Ayatul Ahkam yang sangat saya kagumi, tapi saya tak pernah khatam menjadi mustami’nya hingga hari ini. Bahkan pengajian Risalatul Qusyairiyah oleh beliau selama 3 tahun tak lebih dari 20 halaman saja, tapi tiap penjelasan satu dua kalimatnya mampu membuat hati jedug-jedug indah.
Saya tulis ulang kalimat itu besar-besar, awal bulan Februari 2020, lalu saya tempelkan di pintu lemari, tepat di samping tempat tidur saya. Yah, setelah saya merasakan kecewa berat karena seorang sahabat yang berjanji akan membantu mengedit disertasi saya tak kunjung bergerak, saya perlu membaca kalimat itu setiap mau tidur, selama beberapa malam.
Jadi begini. Salah satu kelemahan fatal saya adalah sulit menulis dalam bahasa ilmiah formal. Sejak kecil, saya lebih suka dan cepat menulis dalam bahasa tutur. Kata “sementara”, “hanya saja” atau “dan” sering sekali saya letakkan di awal kalimat. Tanda baca juga seenaknya saya taruh pada diksi yang saya anggap nyaman ketika mengucapkannya. Misalnya, “bahwa”, “jadi”, “maka”, dan “untuk itu” selalu gentayangan untuk memuaskan keinginan saya menekan pesan. Ahahaha, gawat kan? Untuk itulah saya butuh editor. Meski tentu, sebagaimana tulisan saya di tiap rubrik dan semua buku saya yang telah diterbitkan, pasti tiba-tiba memunculkan editor super sabar 😅🤭
Sik, saya tak cerita dulu. Jangan keburu disalahkan ya.
Kemudian seorang sahabat yang ahli dan profesional menawarkan diri. Menawarkan diri lho ya, bukan saya yang meminta. Dan hanya mengedit teknis penulisan, bukan ngurusi konten. Atas ijin suami dan keluarga, saya mengiyakan. Eh ternyata berbulan-bulan tak disentuh. Awalnya saya masih tahan menunggu. Lama-lama saya minta ijin baik-baik, “Mohon maaf, saya ambil saja nggih disertasi saya. Mohon maaf saya sudah merepotkan”.
Jujur lho, saya sedih. Kesedihan yang membuat saya melangkah pada kesalahan berikutnya: saya mulai berhitung. Saya mengkalkulasi kebaikan apa yang sudah saya lakukan pada sahabat saya ini. Jika dia belum bisa membantu saya karena sibuk, apa kabar kesibukan saya yang selalu saya pinggirkan ketika dia meminta bantuan? Jika dia tidak bisa menolong saya karena lelah, saya lho selalu mengabaikan rasa lelah demi menolongnya.
Pernah nggak sih, panjenengan ngalami drop begini? Ngitung kebaikan yang nggak seberapa, hanya karena orang yang kita baikin mengecewakan kita?
Duh, Rek. Saya sadar, dengan berhitung seperti ini saya telah membakar “pahala” atas kebaikan saya. Itu pun jika apa yang saya lakukan bisa dianggap sebagai kebaikan ya. Apalagi kini saya menuliskannya. Sambat pula. Wis jadi koret-koret dah, atau bahkan minus ya. Jian, mbuh 🙈
Tiba-tiba saya mendengar Gus Baha ngendikan, “Lha kalau sampeyan sudah menolong orang lalu orang itu tidak membalas budi, ya jangan nelangsa. Berbahagialah karena pernah mendapat kesempatan menolong orang. Mau orang itu inget atau lupa pada kebaikan sampeyan, jangan dipikir. Bukan urusan sampeyan. Jangan dihitung”.
Makjleb. Segera saya gugling nyari nasehat lain. Iya, saat seperti ini saya butuh dinasehati. Diingatkan yang enak. Nemu, banyak. Salah satunya ini nih:
“Jangan terlalu mengandalkan orang lain dalam hidupmu, karena bahkan bayanganmu sendiri meninggalkan dirimu saat gelap”.
-Ibnu Taymiyah –
Mulai seger. Saya ambil disertasi, sambil sesenggukan saya koreksi sendiri. Pelan-pelan saya metani. Eh, semakin saya baca, ternyata semakin saya menemukan kesalahan demi kesalahan. Sempat saya mau muntah, mungkin saking ngoyo ya. Lupa akibat kepala ketiban koper Desember lalu, saya memang sering lelah dan pusing.
Selesai, lalu saya menghadap dosen pembimbing. Alhamdulillah saya dapat pembimbing yang luar biasa. Sabar, ramah, telaten, cerdas. Untuk beliau bertiga, saya tak pernah lalai mendoakan dan membacakan fatihah agar selalu sehat dan terus kuat membimbing mahasiswi tak kunjung pintar dan kopyor kayak saya ini 😅🤭
Oh, jadi tulisan ini mengandung curhat hingga 90 karat tho?
Iya, banyak yang nanya mengapa saya lama cuti menulis. Rubrik Risalah Cinta Ning Evi Ghozaly libur nyaris sebulan. Kompassiana cuti menerima tulisan saya yang ecek-ecek. Rencana launching buku terbaru saya yang jelek itu ditunda hingga entah kapan. Diimbu aja sampai neyeng.
Yang parah, saya sampai lupa caranya membuat status fesbuk dan caption instagram. Hahahaha.
Sebabnya banyak sih. Sibuk nguplek disertasi ini hanya satu alibi. Kalau ditelateni, sebentar selesai kok, meski tentu masih compang-camping. Lalu, mengapa saya lama tiarap? Saya konsen ngurus dua anak saya yang sekarang kuliah dan ngaji di Malang. Sempat jadi wasit. Kapan-kapan saya cerita tentang hawer-hawer berantemnya dua anak saya ya. Sebab lain lagi? Saya masih ngiter manggung menyelesaikan jadwal yang telah saya sanggupi sejak sekian lama, ke berbagai daerah.
Maka, mohon doa ya. Semoga saya bisa cepat ngilangin grogi dan segera ujian kualifikasi. Setelah itu, sampai jumpa lagi di kampus-kampus, sekolah dan beberapa pondok pesantren di Jawa Timur ya.
Ayo, ada yang sudah kangen saya nggak?
- Bataranila, 20.02.2020 –
4 thoughts on “JANGAN MENGANDALKAN ORANG LAIN”
Comments are closed.
Semangat ning….
Semoga Allah selalu memberi kemudahan.
Good luck.
Aamiin
Keren, inspiratif, pernah jg begitu sih..hihi gak enak memang berharap selain pada Allah
Salam hangat
Wiiih, mak jleb pula. Keren ini mah. Saya cuplik nanti aah. Siap ning. Bismillah, selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wata ala.
Saya ikut menulis kembali, Umi… biar jadi pengingat u/ diri sendiri.. terimakasih atas tulisannya, Umi..