
1000 Hari Nyai Hj. Siti Romlah: MENCINTAI SANTRI DENGAN CARA TAK BIASA
Penulis: Ustadzah Astutik Maimuna, S.Pd*
Almarhumah Nyai Hj. Siti Romlah adalah istri dari Almaghfurlah KH. Achmad Djazari MQ, perintis sekaligus pengasuh pertama Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum (YPP MU). Beliau adalah sosok figur istimewa. Beliau selalu mementingkan kepentingan pesantren dan santri meski terkadang cara beliau menyayangi dan memikirkan pesantren dan santri berbeda dengan kebanyakan orang.
Ketika santri mengeluh atau sekedar bercerita kekurangan alat kebersihan atau apa pun, beliau seolah cuek dan tidak peduli bahkan terkadang santri yang terkesan disalahkan. Akan tetapi, tidak lama dari itu biasanya beliau sudah menyediakan apa yang dibutuhkan atau dikeluhkan para santri.
Cara beliau menyayangi juga unik. Biasanya kita didhukani (dimarahi) ketika melakukan kesalahan sebelum kemudian kita mendapat kejutan dari beliau, mulai dari diajak jalan-jalan, diajak dahar (makan) bersama (di mana dahar satu meja dengan guru adalah salah satu kenikmatan terbesar bagi santri), dan bahkan terkadang kita diberi sesuatu oleh beliau. Disadari atau tidak itu semua bentuk kasih sayang nyata dari beliau, mungkin juga itu suatu bentuk “penyesalan” atau permintaan maaf beliau telah memarahi santri.
Kepergian beliau membuat seluruh warga YPP MU merasa sangat kehilangan serta menyisakan penyesalan tersendiri bagi penulis. Bagaimana tidak menyesal? Tepat Ahad sore ba’dha Asar (21/05/2017) beliau berulang kali menyuruh santri untuk memanggil penulis. Saat itu penulis sedang tidur di kamar, sampai berulang-kali santri membangunkan dan terakhir santri tersebut memberitahu bahwa beliau sudah di depan pintu dhalem (rumah pengasuh). Namun, penulis masih saja tidak hirau sebab merasa terlalu lelah karena dari pagi sama sekali belum istirahat.
Menjelang hampir shalat Maghrib, penulis baru memenuhi panggilan beliau ke dhalem. Saat itu beliau sudah rapi dengan pakaian gamis putih dan berjas hijau lumut. “Tadeklah mare gellek, sengkok nyellok bekto Ashar satia la Maghrib. Pangarana mintak tolong ghuringagi jukok kerreng” (Sudah selesai, saya manggilnya tadi sore, sekarang sudah Maghrib. Sebenarnya mau minta tolong untuk menggorengkan ikan asin), begitu dawuh beliau dengan suara khasnya. “Sengkok mangkata ka Sokarajje, ngone’ana Wilda” (Saya mau berangkat ke Sukorejo, mau jemput Wilda), imbuh beliau. Ning Wilda adalah salah satu cucu kesayangan beliau, putri ketiga dari Abuya KH Moh. Hayatul Ikhsan, M.Pd.I, Pengasuh II YPP MU.
Heran penuh tanda tanya, kenapa beliau tidak dhuka (marah) saat penulis tak memehuni panggilan beliau tadi sore. Biasanya, saat beliau memanggil tidak segera dipenuhi maka dipastikan beliau akan dhuka. Selang beberapa jam kemudian penulis menerima kabar bahwa beliau kecelakaan. Tangis histeris penuh penyesalan hadir saat penulis mendengar kabar itu, rasa bersalah menghampiri. Kenapa tidak menyegerakan panggilan sang murobbbi? Hikmah yang yang dapat diambil dari kejadiaan tersebut “Bersegeralah saat murrobi memanggil kita”.
Menurut beberapa santri, beliau juga merupakan sosok yang sangat tegas dalam menerapkan peraturan. Selain cara halus yang diterapkan, dalam waktu yang sangat mendesak dan butuh penanganan cepat, cara keras pun beliau lakukan. Beliau terpaksa melakukan itu sebagai usaha meminimalisir pelanggaran demi lancarnya barokah untuk mengalir kepada para santrinya.
Bagi santri tahun 2000-an, beliau adalah sosok yang tidak hanya tegas, tapi juga pemberani. Beliau berani mengambil segala keputusan apa pun resikonya dan tidak pernah takut akan apa pun yang akan terjadi, tentunya keputusan yang muncul setelah melalui istikharah. Beliau sering ber-dawuh kepada santri yang mengabdi di dapur pesantren, biasanya di saat beliau sekedar bercerita atau menemani para santri memasak, “Mon sengkok mon la merah ye merah, biru ye biru tak kera merah aobe biru” (Kalau saya sudah memutuskan sesuatu, merah ya merah, biru ya biru jadi tidak mungkin merah berubah biru), ungkap beliau dengan tegas.
Selain pemberani dan tegas, beliau juga dikenal sebagai ahli ibadah dan dzikir. Beliau selalu berpesan “Paengak ka Allah bile’e bei maka Allah bekal engak ka bekna” (Ingatlah kepada Allah dalam keadaan apa pun dan kapan pun maka Allah akan mengingatmu). Para santri selalu diajari istiqamah dalam ibadah dan dzikir, terutama salat malam, bahkan beliau rela membangunkan sendiri para santri untuk shalat tahajjud. Beliau memberi amalan pada semua santri ketika usai solat tahajjud agar istiqomah membaca surat Munjiyat. Terbukti, saat beliau dalam keadaan tidak sadar dan kritis (koma) usai kecelakaan, beliau tetap melafalkan doa salat dan dzikir juga melafalkan hafalan surat Munjiyat tanpa henti. Sesekali, tanpa sadar beliau juga mengucapkan berulang ucapan rutin saat membangunkan santri dari tidur, “Ayo, jeghe, duli jeghe, atahajjud…” (ayo bangun, cepat bangun, segera shalat tahajjud). Hal itu di saksikan langsung oleh penulis sendiri dan putra-putri beliau yang menemani saat di rumah sakit.
Satu lagi, dalam masalah pembangunan fasilitas pesantren, beliau tak pernah tong-bitongan (berhitung untung rugi atau mampu tak mampu). Jika tidak ada sumbangan, biasanya beliau tempuh semua jalan, bahkan beliau rela semua yang beliau punya diderma demi terealisasinya bangunan tersebut. Beliau tidak pernah berkeluh mengenai hal ada atau tidak adanya uang. Beliau selalu ber-dawuh, “Paparcaje mon untuk kepentingan pesantren paste epagempang ben Allah” (Percayalah, jika untuk kepentingan pesantren, Allah akan mempermudah dalam memberi jalan). Hal tersebut terbukti banyak sekali bangunan yang berdiri sebab usaha beliau.
Seminggu sebelum keberpulangan beliau, penulis diajak bercerita di kamar mulai dari ba’da Maghrib hingga larut malam. Beliau bercerita bahwa dulu beliau sering dihina banyak orang karena bukan keturunan para kiai dan nyai. Namun, beliau tak pernah menghiraukan hal itu, beliau terus merintis dan berjuang memakmurkan pesantren bersama kiai sepuh, almarhum KH Achmad Djazari Marzuqi. Alhamdulilah, satu persatu yang menjadi harapan beliau berdua kini terwujud. “Harapan sengkok selanjutnya terro andi’e travel ben abangun pondok etemor depor” (Harapan selanjutnya, saya ingin punya travel dan membangun asrama di timur dapur), ungkap beliau penuh harap.
Tepat pada hari Kamis besok (20/2/200) adalah peringatan 1000 hari beliau. Untaian doa terindah dan iringan dzikir untuk Almarhumah Nyai Hj. Siti Romlah, mudah-mudahan Allah SWT mengampuni segala dosa beliau dan menerima segenap amal ibadahnya. Kami berharap kelak bisa bernaung pada beliau. Ungkapan kasih tak berbatas kepada beliau yang telah memberi teladan dan cinta meski dengan cara yang tidak biasa. Semoga para guru, santri, dan seluruh warga YPP MU bisa meneladani sosok beliau yang tegas, sigap, dan pemberani dalam mengambil keputusan, utamanya dalam keistiqomahan ibadah dan dzikir.
Sepeninggal beliau, sejauh ini YPP MU semakin terus berkembang dan maju. Semoga ke depan akan semakin maju dan semoga keinginan beliau terakhir menjadi doa dan pelecut untuk meningkatkan kualitas YPP MU agar lebih bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Amin…
)*Penulis adalah santri aktif dan Guru Madrasah Diniyah Miftahul Ulum