Penulis: Ibnu Sulaim
“Hei, ayo dong, pergi ke masjid! Buat apa nongkrong di warung sih? Tidak ada manfaatnya,” ajakku terhadap salah satu teman di kampung.
“Sinilah, ngumpul dulu. Masjid mulu kamu ini,” kata Dhani sedikit mengerut .”Di warung kerjaannya hanya ngopi, buang-buang duit saja kalian ini,” lanjutku berusaha membujuknya.
“Idih, sok suci kamu ini.”
“Bukan begitu, Dhan. Mending kita ke masjid. Sejuk, hati juga adem. Apalagi dapat pahala.”
“Sok suci lu. Sudahlah pergi saja.”
Begitulah teman kampungku. Susah untuk diajak beribadah, kebiasaanya hanya nongkrong di warung nasi milik Cak Adham. Setiap harinya, hanya membuang-buang uang yang dipinta sama orangtua mereka. Aku bukan benci terhadap mereka, hanya prihatin dengan keadaannya yang setiap hari lalai dalam hidupnya. Lupa atas Siapa yang menciptakan mereka.
“Kamu kenapa, Dika?” tanya salah seorang ustaz di kampungku, Ustaz Shofi.
“Tidak ada, Ustaz, hanya sedikit pusing saja.”
“Apa yang kamu pikirkan, Dik?”
“Itu, teman-teman, Ustaz. Mereka suka nongkrong di warung Cak Adham, jarang ke masjid juga. Kasihan, kan, buang-buang waktu saja.”
“Nah, itu dia, Dika. Aku sangat prihatin sama anak-anak di kampung ini. Coba kamu perhatikan! Hanya beberapa yang salat di masjid, itu pun mereka yang sudah lanjut usia,” jelas Ustaz Shofi.
Aku dan Ustaz Shofi duduk bersandingan di teras masjid sembari tukar pendapat tentang kehidupan masyarakat, lebih-lebih tentang pemuda di kampungku. Sebenarnya, antara aku dan Ustaz Shofi ini hanya berbeda dalam kegiatan sehari-harinya. Akan tetapi, kalau setiap kali waktu azan sudah berkumandang, beliau lebih dulu tiba di masjid daripada aku yang masih santai-santai di rumah.
Pak Shofi adalah salah satu tokoh masyarakat yang sudah dikenal dengan gigihnya dalam beribadah setiap harinya, tidak mengenal lelah dalam berdakwah. Jangan ditanya. Apa pun yang disampaikan pasti berbuah makna yang sangat dalam. Beberapa perkataannya pun tidak lepas dari isi Al-Qur’an, juga cara penyampaiannya sesuai dengan apa yang dianjurkan dalam agama Islam, begitu ramah.
“Lalu, bagaimana dengan kita yang sudah tahu semua itu, Ustaz?” tanyaku kemudian.
“Aku kurang baik bagaimana, Dika? Dalam penyampaian ilmu banyak yang mencaci, niatnya mau mengubah kehidupan masyarakat dalam segi ibadah, semuanya tidak bernilai. Mereka tidak mau dibenahi meski kehidupannya seringkali lupa terhadap Sang Ilahi.”
Aku mematung mendengar ceritanya. Liku-liku dalam hidupnya sudah beliau jalani dengan tekad dan sabar. Kupandangi wajah yang keriput itu, terpajang jenggot yang kian memutih, dan kumis yang mulai berkurangan. Aku terharu perih, dan aku merenung memikirkan keadaannya yang berpuluhan tahun berdakwah, tiada kunjung usai. Beliau tetap saja menjalani apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai orang yang berilmu dengan ribuan rintangan yang beliau terjang. Beliau dalam masa dakwahnya, sering kali menerima olok-olok-an yang pedih dari masyarakat. Namun, dalam dakwahnya tetap berusaha tegar dan bijak. Tanpa sedikit kata menyerah. Aku tahu sendiri, karena sejak kecil, beliau-lah yang mengajariku mengaji hingga kini.
“Sudahlah, kamu jangan pantang menyerah! Jalani, niati, harus berusaha ikhlas. Dalam kebaikan pasti akan ada nilainya tersendiri. Sudah ya, aku pulang duluan. Ada kepentingan di rumah,” lanjut Ustaz Shofi, yang kemudian ia berpamit pulang di tengah-tengah perbincangan.
“Iya, Ustaz. Terima kasih sebelumnya, ya.”
Sore ini aku masih di teras masjid. Berusaha memahami satu demi kesatuan nasihat yang disampaikan barusan, bahwa tidak ada yang benar-benar indah dalam perjalanan menuju dakwah. Semua butuh kesabaran, keikhlasan, bahkan keteguhan dalam memperjuangkan Agama Islam.
Aku melewati indahnya malam bersama renungan yang aku kumpulkan dalam bentuk pertanyaan, tentang kehidupan yang perlahan jauh dari tatanan kebaikan, pun kewajiban. Belum lagi tentang ungkapan Dhani tadi sore, dan juga motivasi yang diberikan Ustaz Shofi sewaktu santai-santai di masjid. Ternyata, ada dua perbedaan yang kudapat hari ini. Pertama, lelaki sebayaku, Dhani, yang kerap kali menanggapi ajakanku dengan kata-kata kasar. Kedua, lelaki saparuh baya, Ustaz Shofi, yang memberikan motivasi dalam menegakkan agama harus selalu berbekal kata ‘Sabar’.
Sungguh, ini perjalanan yang begitu rumit bagiku. Di mana, semua rencana tidak sesuai dengan apa yang kurancang sebelum-sebelumnya. Yang kuharap bisa mengumpulkan teman-teman di kampung agar bisa beribadah bersama-sama, ternyata berjalan dengan tidak wajarnya. Mereka menganggap semuanya hanya cuma-cuma.
“Pagi, Dik,” sapa sepupuku saat aku hendak memulai aktivitas di pagi hari, menyiram tanaman depan rumah.
“Pagi juga. Sudah sarapan, Bal?” jawabku sembari bertanya kepada sepupu yang bernama Iqbal.
“Alhamdulillah, Dik, sudah. Kamu sudah sarapan?”
“Alhamdulillah, sudah.”
Iqbal. Lelaki berperawakan kurus putih, dan dengan berhias kumis tipis itu menyapaku seperti biasanya setiap pagi. Ia memang juga pernah merencanakan sesuatu yang sama sepertiku, mengubah kebiasaan orang-orang di kampung agar lebih giat lagi dalam beribadah, khususnya agar bisa salat berjamaah tepat waktu. Akan tetapi, karena kami masih sama-sama muda, usia sekitar 18 tahunan, wajar saja kalau sering kali mengeluhkan apa yang terjadi dalam perjalanan. Lebih-lebih sikap demi sikap yang harus kami amati dari orang sekitar.
“Bal, Iqbal,” panggilku, bermaksud membuka obrolan di pagi ini. “Kamu tahu, kan, kalau sebaya kita sering kali melalaikan kewajiban salat? Bahkan, mereka juga lebih sering dan betah di warung Cak Adham.”
“Iya. Kenapa, Dik?” lirihnya sembari menghampiriku depan teras. “Sudahlah, sejalannya saja. Toh, juga banyak percumanya mengingatkan mereka, ada saja yang dibuat jawaban oleh mereka.”
“Tapi, kan, Bal. Kalau mereka seperti ini terus, bagaimana keadaan kampung kita.”
“Iya juga sih, Dik. Tapi, kan, mereka sudah punya orang tua sendiri-sendiri. Jadi, lihat orang tuanya saja seperti apa dalam mendidik anaknya.”
“Bukan orang tuanya yang salah, Bal. Tidak ada yang namanya orang tua punya keinginan buruk untuk anak-anaknya, yang jelas ini kemauan mereka sendiri.” Iqbal hanya mengangguk-angguk mendengarnya.
Setelah itu, sembari menikmati semilir angin di pagi hari, aku dan Iqbal sama-sama terdiam. Rencana apa lagi yang akan dirancang untuk ke depannya. Sementara, kami tidak tahu apa, dan bagaimana dalam menyikapi kehidupan dalam bermasyarakat. Karena semakin hari, yang tua menjadi teman ngopi, malah yang muda semakin tidak tahu diri. Itulah sebabnya, kenapa kami selalu bergelut dalam lamunan setiap harinya.
Kemudian, karena waktu semakin berputar, akhirnya Iqbal lebih dulu meninggalkanku depan teras rumah. Ia melanjutkan aktivitas di rumahnya, aku pun begitu, membuka lembaran demi lembaran yang tertata di rak kitab. Hanya itu yang kulakukan setiap harinya.
**
Setelah Salat Zuhur, aku bermain ke rumah kakak sepupuku, Kak Hamid. Kebetulan, aku juga lama tidak bermain ke rumahnya. Tidak terlalu jauh, terhalang tujuh rumah dari rumahku. Sewaktu kecil, aku juga sering diarahkan main ke sini sama orang tua, karena katanya, keluarga Kak Hamid-lah yang bisa menjadi pengarah dari setiap masalah, apa pun itu masalahnya. Kebetulan sekali, niatku ingin bertanya-tanya terhadap beliau. Siapa tahu ada masukan dan juga saran.
“Dika! Tumben mau main ke rumah,” sapa lelaki itu sembari menemani anaknya.
“Iya, Kak, kangen, ingin bermain ke sini.” Aku pun meraih tangannya, dan langsung duduk bersebalahan.
“Sudah makan?” tanyanya.
“Iya, Kak, Alhamdulillah.”
Selang beberapa menit, aku langsung membuka obrolan. Tanya-tanya tentang pengalaman Kak Hamid yang selama ini ada di kampung bagaimana. Cara menyikapi orang sekitar, dan cara beliau bermasyarakat dengan orang lain bagaimana.
“Oh, iya, Kak. Kenapa, ya, kalau dalam mengajak orang-orang untuk melakukan kebaikan itu susah banget? Padahal, mereka sudah tahu tentang kebaikan itu sendiri. Khususnya pemuda sebayaku, Kak,” tanyaku di sela-sela obrolan. “Malah jadi malas kalau mau mengingatkan orang lain masalah kebaikan.”
“Tidak boleh begitu, Dik, semua itu butuh proses dalam mengubahnya. Kalau kamu tidak sabar dalam ujian, tidak ada yang menantang dalam perjalanan hidupmu. Lakukan saja!”
Aku terdiam mendengar penjelasannya, begitu banyak pengalaman yang kupahami dari setiap ungkapan dari Kak Hamid. Sepertinya, ia begitu paham terhadap kehidupan yang isinya hanya cobaan demi cobaan datang bergantian. Akan tetapi, aku masih belum puas dengan penjelasan Kak Hamid.
“Iya, memang dalam Al-Qur’An sudah dijelaskan, Kak. Bahwa, kita harus melakukan kebaikan dan mengajak mereka untuk melakukan kebaikan juga,” ucapku menanggapinya. “Akan tetapi, kalau yang diajak sudah tidak mau, dan lebih sok tahu, bagaimana? Susah, Kak, kalau dihadapkan dengan cobaan yang sebenarnya.”
“Memang, kita diharuskan mengajak mereka dalam melakukan kebaikan, Dik. Akan tetapi, kita juga harus melihat situasi mereka seperti apa, dan bagaimana? Bukannya, Nabi Muhammad SAW juga demikian? Berdakwah sesuai situasi yang beliau hadapi. Kalau mereka dalam keadaan senang beribadah, maka dengan ramah mereka akan mengikuti ajakan Nabi Muhammad. Namun, kalau mereka lebih cenderung untuk memusuhi Nabi Muhammad SAW, beliau lebih menunjukkan sikap ramahnya dalam menyampaikan sabda-sabdanya.”
“Aku kurang ramah bagaimana, Kak? Tapi, mereka malah suka mengejek aku sok suci-lah, ini-itu-lah. Jadinya malas kalau seperti itu tanggapan mereka.”
“Nah, itu maksudku, Dik. Kalau kita mengajak mereka dengan terang-terangan, tidak melihat posisi mereka seperti apa dan di mana, pasti mereka cenderung mengejek kita. Bahkan, akan lebih mencaci ajakan kita.”
Aku mengernyit mendengarnya. Entah apa lagi yang akan ia jelaskan selanjutnya, aku sudah tidak tahu mau menanggapi seperti apa. Rasanya, kehidupan ini memang penuh teka-teki dalam menjalaninya.
“Para ulama tempo dulu kalau berdakwah, sukanya bercengkerama terlebih dahulu. Mengamati masing-masing perilaku setiap orang, tidak langsung menyiarkan apa yang harus disampaikan. Sebagaimana wali-wali Allah, mereka berkerumun dengan orang Hindu, Budha, bahkan yang lainnya. Bukan karena mereka itu ikut agama mereka, akan tetapi lebih dulu mengamati, bagaimana caranya agar orang-orang yang beda agama itu tertarik dengan Agama Islam. Begitu,” imbuhnya, menjelaskan sejarah tentang tata cara dalam berdakwah.
Benar memang kata Kak Hamid ini, aku pernah membaca sebuah kutipan yang sama persis dengan sejarah yang diceritakan oleh sepupuku ini. Kalau tidak salah, aku pernah menemukan kutipan ini dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yang artinya:
“Jangan sesekali kalian menghina orang-orang yang belum mengenal Allah! Justru, rayulah Zat-Nya dan memohon kepada-Nya agar dibukakan pintu hati mereka. Bahkan alangkah indah, jika pintamu tanpa sepengetahuan orang itu. Karena, Islam dalam kehidupan itu tidak ada unsur paksaan, apalagi terpaksa. Semua itu sesuai ketulusan hatinya masing-masing.”
Setelah itu, aku pamit pulang, menata ulang niat dalam menjalani beberapa kebaikan dalam kehidupan. Bahwa, bersikap baiklah dalam beragama, terlebih dalam menegakkan Agama Allah.
Banyuwangi, 19 Juli 2022
Comments