Benarkah Pesantren Itu Ketinggalan Zaman?
3 mins read

Benarkah Pesantren Itu Ketinggalan Zaman?

Oleh: Muhammad Sadily

Di era yang semakin modern dengan teknologi yang semakin berkembang, banyak sekali perubahan yang mengarah kepada perkembangan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, budaya, sosial, ekonomi, maupun gaya hidup. Akibat dari perkembangan tersebut, setiap golongan masyarakat berlomba-lomba untuk menyelaraskan terhadap perubahan. Berdalil agar tidak didiskriminasi karena ketertinggalan dalam menyikapi perubahan.

Hal ini juga mengubah perspektif golongan masyarakat terhadap pondok pesantren, mereka berpandangan bahwa pondok pesantren tidaklah relevan dengan perkembangan yang terjadi karena mereka memiliki stigma bahwa pondok pesantren itu kolot, ketinggalan zaman, dan masih berpegang teguh terhadap tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan perubahan. Kebanyakan mereka beranggapan pendidikan yang berbasis teknologi dan sainslah yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.

Stigma tersebut terjadi akibat kurangnya update terhadap informasi sehingga muncul sebuah pertanyaan, sebenarnya yang kolot dan ketinggalan zaman itu pondok pesantren atau mereka?

Padahal di zaman sekarang, pondok pesantren sudah menunjukkan kemampuannya untuk mengintegrasikan antara nilai-nilai yang menjadi ciri khas dengan perubahan perkembangan yang terjadi. Misalnya, modernisasi kurikulum; dimana pesantren menggabungkan pembelajaran agama dengan pendidikan umum. Selain itu, pesantren juga ikut andil dalam pemanfaatan teknologi. Para santri dididik agar terampil dalam mengoperasikan media digital yang ada. Sudah banyak pesantren yang mengoptimalkan teknologi, salah satunya Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. Ditunjang dengan beberapa fasilitas, mulai dari laboratorium komputer maupun akses digital yang lain.

Selain stigma kolot dan ketinggalan zaman, pondok pesantren juga harus menghadapi pandangan sekuler yang semakin mengakar di dalam masyarakat. Mereka menilai bahwa pendidikan agama tidak sesuai dengan kehidupan yang dinamis, agama tidak boleh masuk dalam politik dan semacamnya. Mereka juga menganggap pondok pesantren merupakan institusi doktrin religius yang hambar, tidak sesuai perkembangan, dan stagnan menyikapi perubahan.

Hal ini terjadi akibat kesalahan dalam memahami isi kandungan agama islam dan religius itu sendiri. Agama islam dalam keimanan para pemeluknya yang beranekaragam itu kekal. Kekekalan tersebut terletak pada segala khazanahnya, sanggup menjawab persoalan hidup, dan melakukan penyesuain diri terhadap perubahan. Agama formal seperti dakwah, masjid dan semacamnya memang tidak ada sangkut pautnya dengan politik praktis, tetapi nilai-nilai dari agama selalu terikat dengan apa pun, termasuk politik dan semacamnya. Agama ialah kejujuran, keadilan, dan kepatuhan pada hukum.

Dalam kitab suci al-Qur’an telah disebutkan bahwa agama itu “hudal lin naas” , yakni petunjuk bagi manusia. Hal yang tampak dari agama bukanlah identitas, tetapi yang paling utama dalam bergama adalah perilaku yang baik, luhur, dan menjadi sebab terbukanya kebaikan bagi sesama. Sedangkan religius sendiri bukan lah simbol-simbol untuk mengklaim seseorang, tetapi religius merupakan sikap tulus hati dalam menekuni profesi dengan sebaik-baiknya, melakukan perbuatan duniawi dan ukhrawi. Contohnya, seorang buruh tani tidak perlu memakai busana islami untuk mendapat gelar religius atau petani islami.

Sikap kemanusiaan, menekuni, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi dengan tulus itulah religius itu sendiri. Doktrin seperti inilah yang ditanamkan kepada santri di pondok pesantren. Misalnya saja penulis, yang selalu mendapatkan doktrin-doktrin positif saat di Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bengkak.

Jadi para kelompok sekuler itu sudah keliru dalam memahami pendidikan agama dan religius. Padahal realitanya bahwa pendidikan agama dan doktrin religius yang diajarkan merupakan cara untuk membentuk penerus bangsa agar mampu dan bisa menyikapi perubahan yang terjadi dengan selektif dan tepat.

Stop menilai bahwa pendidikan di pesantren itu mengekang atau menutup diri dari perubahan. Bukan hal yang benar menilai warga pesantren itu kolot, kecuali ia orang yang kolot.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *