Karakteristik Orang Munafik dalam al-Qur`an: Hakikat dan Hikmah di baliknya(Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 8)
4 mins read

Karakteristik Orang Munafik dalam al-Qur`an: Hakikat dan Hikmah di baliknya(Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 8)

12

Oleh: Gus Ahmad Wadud al-Umam

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ.

“Di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,’ padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang mukmin.” (Al-Baqarah [2]:8)

QS. Al-Baqarah ayat 8 menjelaskan tentang karakteristik orang-orang munafik, yakni mereka yang mengaku beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir (yaum al-qiyamah), padahal seyogyanya mereka tidaklah termasuk dari golongan mu`minin.

Sebelum jauh membahas tentang washfiyah al-munafiq dalam ayat ini, alangkah baiknya kita mengetahui esensi al-nifaq atau al-munafiq itu sendiri. Siapakah orang munafik itu? Abu al-FidaIsmail Ibnu Katsir di dalam kitabnya “Tafsir al-Quran al-`Adzim” menjelaskan bahwa “al-nifaq huwa idzhar al-Khairiyah wa israr al-syarr”, yakni munafik adalah perilaku menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan.

Demikian ini juga sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh Ibnu Juraij yang menyebut “al-munafiq yukhalif qawluhu filahu wa sirruhualaniyyatahu”, yakni orang munafik adalah orang yang perkataannya menyalahi perbuatannya dan yang tidak tampak (tersembunyi di dalam qalb) menyalahi sesuatu yang tampak.

Dalam makna luasnya, al-nifaq (munafik) tidak hanya dipahami sebatas sifat al-kidzb (berdusta) saja, melainkan juga mencakup sifat al-khiyanat dan ingkar janji. Penjelasan terkait ketiga tanda sifat munafik tersebut termaktub dalam hadis Rasulullah Saw. yang di-takhrij oleh Imam al-bukhari di dalam kitab shahih-nya “Shahih al-Bukhari” pada nomor hadis 33:
33 – قال البخاري: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “‌آيَةُ ‌الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خان.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah Saw. bersabda: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yakni apabila ia berbicara ia berdusta, apabila ia berjanji ia menyalahinya, dan apabila dipercaya maka ia berkhianat.”

Sedangkan munafik dalam konteks QS. Al-Baqarah ayat 8 ini terkhusus pada makna sifat al-kidzb. Namun, al-kidzb dalam redaksi ayat, berada dalam tingkatan yang berbeda dibandingkan makna al-kidzb pada umumnya yang bersifat amaliy. Hal ini disebabkan al-kidzb yang tertera pada ayat di atas berkaitan dengan aspek iitiqadi (keyakinan atau keimanan), di mana mereka mengaku beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir namun jauh di dalam lubuk hatinya, mereka mengingkarinya, yakni tidak beriman. Dalam konteks ayat ini, Ibnu Katsir menegaskan balasan bagi mereka yang munafik dalam aspek i`tiqadi, yakni “huwa alladzi yakhludu shahibuhu fi al-nar”, pelaku munafik dalam perihal keimanan akan mendapatkan balasan berupa kekal di dalam Neraka sebagai tempat tinggalnya kelak.

M. Quraish Shihab, pengarang kitab “Tafsir al-Mishbah” menjelaskan alasan di balik ucapan dusta terkait keimanan yang mereka (munafiqin) lakukan. Mereka mengaku dan pura-pura beriman kepada Allah Swt. bahkan beribadah selayaknya orang mukmin itu bertujuan untuk menipu dan memperdaya Allah Swt. dan kaum mu`minin supaya keimanan yang ada pada orang-orang beriman tergoyahkan dan terjerumus dalam kesulitan. Padahal, sejatinya mereka sendiri yang telah tertipu.

Sedangkan Ahmad bin Musthafa al-Maraghi di dalam kitabnya Tafsir al-Maraghi menjelaskan bahwa mereka (orang munafik) berharap tipu daya yang mereka rencanakan sedemikian rupa akan membuat kaum muslimin ragu-ragu terhadap keimanannya. Maka turunlah ayat yang mengecam tindakan tersebut: “Wahai Ahli Kitab, mengapa kalian mencampuradukkan yang hak dengan yang batil?”. Hal ini tidak terlepas dari tujuan mereka, yakni menimbulkan keraguan, seolah-olah mereka ingin menunjukkan bahwa Islam tidak benar.

Tipu daya mereka tidak hanya berupa ucapan, melainkan diwujudkan dalam tindakan. Penjelasan mengenai tipu daya orang munafik juga termaktub dalam ayat lain, yakni QS. Ali Imran ayat 72:
وَقَالَتْ طَّاۤىِٕفَةٌ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ اٰمِنُوْا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوْٓا اٰخِرَه لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ.
“Segolongan (sekelompok) Ahlul kitab berkata (kepada sesamanya), “Berimanlah kamu pada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman pada awal siang dan ingkarlah pada akhir (siang) agar mereka kembali (pada kekufuran)”. (Āli ‘Imrān [3]: 72).

Sayangnya, apa yang mereka (munafik) rencanakan tidak dapat berhasil, disebabkan Allah Swt. membongkar maksud buruk dan kedustaan yang ada di dalam kalbu mereka, melalui ayat-ayat-Nya.

Mereka bertujuan memperdaya, menipu Allah Swt. dan orang-orang beriman. Sedangkan mereka sendiri tidak menyadari sejatinya mereka telah tertipu dengan apa yang mereka lakukan. Allah Swt. telah melindungi kaum muslimin dari tipu daya kaum munafik.

Kesimpulannya, Spirit QS. Al-Baqarah ayat 8 menegaskan larangan dari berbuat nifaq (munafik) dan peringatan keras berupa balasan dan hukuman terhadap para pelaku nifaq, termasuk di antaranya, kekal di dalam neraka (bagi pelaku nifaq i`itiqadiy). Sebaliknya, dalam pemaknaan tersirat, QS. Al-Baqarah ayat 8 mengajak kita umat manusia, terlebih muslimin untuk senantiasa mentaati dengan ridha ajaran-ajaran yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya sekaligus menjauhi larangan-larangannya.

Dengan demikian, spirit yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 8 ini menyiratkan pelajaran berharga mengenai pentingnya sifat awas, yakni kewaspadaan terhadap segala bentuk manipulasi dan propaganda yang dapat merusak kepercayaan dan harmoni. Dalam konteks masa kini, kita diingatkan untuk lebih jeli menghadapi setiap informasi yang sering muncul dalam bentuk hoaks atau narasi bernuansa fitnah yang bertujuan untuk memecah belah kaum muslimin. Spirit ini menekankan terhadap urgensi sikap kritis dalam menerima informasi dan memastikan keabsahan sumber. Di sisi lain, kita diajak untuk tetap teguh memegang prinsip dan keimanan dalam beragama, meski dihadapkan pada godaan atau tekanan yang dapat menggoyahkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *