Penulis: Zea Mays
Sore yang sejuk. Semburat merah mulai merentang di ufuk barat. Hawa dingin merasuk dihembuskan semilir angin. Suara adzan berkumandang. Santri-santri memacu kecepatan langkah kaki menuju musalla. Dan, disinilah aku. Berada di balkon asrama lantai dua. Bukan bolos jamaah, bukan. Tapi memang diriku sedang terima tamu bulanan.
Ya, sudah lama aku menjadi warga Pondok Pesantren Darul Arifin ini bahkan akupun lupa seberapa lama itu. Seingatku, pertama kali aku diantar oleh keluargaku pada saat akan mendaftar sekolah tsanawiyah.
Kau tahu? Aku bukanlah tipe orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Sungguh, keputusan untuk menimba ilmu di pondok pesantren merupakan hal terberat yang pernah kulalui. Saat teman-temanku menumpahkan kerinduan mereka dalam sebuah tangisan, aku bahkan tak menangis. Perasaan tertekan, kerinduan yang kutahan, akhirnya membuat tubuhku makin lemah dan mudah tumbang. Berkali-kali keluar masuk rumah sakit dalam waktu sebulan, typus-ku kambuh. Belajarpun jadi berantakan sebab sering ijin pergi berobat.
“Sudahlah, tak perlu dipaksakan. Kasihan anaknya,” saran seorang dokter pada bapakku suatu ketika. Ia menyarankan agar aku berhenti saja dari pondok dan mencari sekolah di dekat rumah tanpa harus mondok.
“Tidak apa-apa, Dok. Semoga sebab barokah pondok dan ridho kiai dia segera sembuh,” jawab pak e penuh semangat. Aku memang memanggil bapakku dengan sebutan pak e sebagaimana lazimnya tetanggaku yang mayoritas berbahasa Madura.
Masa-masa sulit itu terus berlalu hingga aku lupa kapan tepatnya yang pasti kini aku sudah sehat, segar bugar. Sekolahku lancar bahkan penerimaan raport yang lalu aku dinobatkan sebagai juara kelas. Eh, ternyata saat ini aku sudah duduk di bangku kelas IX Tsanawiyah. Yes, tahun depan aku lulus. Bersyukurlah diriku yang mulai tenang belajar. Utamanya belajar agama. Bangga dong bisa belajar agama.
Man yuridillahu bihi khoiron yufaqqihhu fid-din.
Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia paham dalam agama.
_____________________
“Waw, amazing.”
“Tatapannya … ah, sungguh meneduhkan.”
“Ternyata dia gak setua yang kulihat kemarin.” Aku masih saja nyerocos sambil menepuk-nepuk pundak Mbak Rey. Temanku yang duduk di bangku sebelah, namanya Roihani. Ku panggil Rey.
“Hem.” Dia hanya merespon dengan sebuah deheman singkat saat aku masih saja heboh mengamati mimik wajah guru baru itu. Eh, bukan guru baru ding. Lebih tepatnya pengawas. Ini adalah hari pertamanya dan aku belum tahu namanya siapa.
Seperti tahu saja aku sedang penasaran, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan, saya Absory. Mumtahin[1] kalian selama 14 hari ke depan selama ujian kali ini. Tata tertib pelaksanaan ujian bisa kalian baca di lembar tanda peserta masing-masing. Jika ada pertanyaan, silahkan ditanyakan langsung saja,” ujarnya panjang lebar tapi masih terasa kaku.
“Ustadz, njenengan yang kemarin sowan ke dhelem pengasuh kan?” aku mulai kepo. Dhelem itu maksudnya kediaman, note.
“Ya.”
Tak salah lagi, dia memang tamu yang kemarin aku suguhi teh di ruang tamu pengasuh. Bonus lah untuk abdi dhelem sepertiku yang kadang bisa sekalian cuci mata kalau ada tamu pengasuh yang cakep. Seperti kemarin sore, seorang laki-laki datang bertamu. Ia dikabarkan akan jadi mumtahin ujian. Kumis dan jenggotnya yang mulai tumbuh menghitam mengisyaratkan umurnya yang tidak lagi muda. Rahangnya keras, irit senyum, dan tidak banyak bicara sangat cocok kalau jadi tentara. Ralat, duduknya tetap membungkuk di depan kiai, selama ia berbicara juga tetap menunduk takdim, pasti ia santri sejati.
“Hem.” Mbak Rey berdehem agak keras menyentak lamunanku. Loh, si Ust. Absory ternyata sudah ada di depan mejaku mengangsurkan lembar soal ujian. Ya ampun, bisa-bisanya aku melamun.
Stop lamunan. Mari kerjakan ujian.
_______________
An-nadhofatu minal iman. (Kebersihan sebagian dari iman).
Hm. Saat hendak pulang ke asrama, netraku tak sengaja menatap sekilas jargon yang terpasang di lorong madrasah. Gedung madrasah hingga ke area asrama, apalagi di kamar mandi banyak sekali jargon serupa ku temui. Ia sengaja dipasang pada tempat-tempat strategis agar mudah dilihat saat kita sedang lalu-lalang. Kata mbak senior di asrama sih supaya menjadi alarm bagi kita untuk selalu menjaga kebersihan.
Herannya, masih banyak yang belum sadar kebersihan. Bukannya menjadi alarm pengingat, jargon itu hanya serupa pajangan semata. Iisshh, menyebalkan.
“May … bentar,” bisik Mbak Rey mencekal lenganku.
“Kenapa, Mbak?” Kuamati sekitar. Mbak Rey menunjuk ke arah depan tanpa bersuara. Detik selanjutnya, kita berdua saling pandang dan tersenyum geli.
“Hujan. Eh, hujan. Hujan …,” racau Yani belum sadar penuh dari tidur lelapnya. Ia mengira dirinya kehujanan. Padahal, Bu Nyai Maslaha sedang berdiri di ambang pintu sambil menyemprotkan air ke arah Yani. Hahaha.
Bu Nyai Maslaha menghentikan kocoran air. Beliau beralih menggulung selang ke tempat semula. Kitapun berbegas membantunya
“Eh, Bu … Nyai,” cicit Yani dari dalam kamar.
“Siapa yang kora-kora[2] di sini?” tanya Bu Nyai Maslaha lantang. Tak satupun dari kita berani menatapnya.
Yani dan teman-teman lain mulai membantu membersihkan sisa butir nasi yang berserakan. Sepertinya ada santri yang habis cuci piring di kran depan asrama. Pelanggaran.
“Ini pasti santri yang tidak sekolah. Tidak mungkin yang sedang ujian di madrasah kemudian cuci piring bekas makannya di sini,” bu nyai masih bersungut-sungut. Kami hanya mendengar tanpa komentar.
“Siapa yang kora-kora di sini, Yan?” Bu Nyai Maslaha mengulangi pertanyaannya, kali ini lebih tertuju pada Yani yang ditemukan sedang tidur di kamar karena sedang libur sekolah semenjak kelas akhir ujian.
“Korang pareksa[3], Nyai.”
Bu Nyai Maslaha mulai memeriksa bilik asrama satu persatu.
Praanngg …
Dua piring kotor dilempar beliau dari kamar sebelah.
“Mare ngakan perengnga langsung korae. Jhek tompok[4],” beliau dhuka[5]. Kalau sudah menggunakan bahasa Madura lengkap seperti ini pertanda beliau sangat marah.
Selesai. Halaman asrama sudah kinclong. Tinggal buang sampah ke belakang kualihkan pada teman lain. Aku, Mbak Rey dan yang lain bergegas menuju kamar masing-masing. Cepat-cepat merapikan baju yang masih bergelantungan, memasukkan kitab-kitab ke dalam loker, menata bantal dengan rapi.
Bu Nyai Maslaha masih setia berkeliling asrama. Untunglah kamarku terletak paling ujung sehingga agak lama beliau barulah sampai di depan pintu kamar saat kami sudah hampir selesai. Aku sendiri sedang merapikan letak botol minum di atas lemari, Silvy temanku membersihkan jendela, dan satu lagi si Tutik mulai menyapu lantai.
“Kalau bersih begini kan ya kalian yang nyaman beraktivitas,” ujar beliau sambil lalu berbalik ke arah dhelem[6].
Yes, amarah beliau sudah mereda.
Memang begitulah beliau, tidak pernah lama jika marah. Apalagi sampai berlarut-larut. Kami para santri sudah paham betul bahwa sikap keras dan tegas yang beliau tunjukkan semata-mata merupakan bentuk kasih sayang dan perhatian beliau pada kami.
_______________
Allahu Akbar, Allahu Akbar.
“Allahu akbar, Allahu akbar,” kujawab adzan dengan lirih.
Ya Allah, ini suara adzan Isya’. Aku masih tetap di tempatku semula. Berada di balkon asrama. Panjang nian ternyata lamunanku. Ya, aku memang sedang rindu. Rindu pada masa yang sudah berlalu. Rindu pada orang-orang di masa lalu.
Aku rindu pada bapakku yang kian jarang bertemu. Beberapa tahun ini aku jarang pulang untuk menjenguknya. Jatah liburanpun kadang tersita untuk menyelesaikan tugasku di asrama dan di madrasah. Tak apa, semoga Pak e selalu sehat dan bahagia. Tunggu aku pulang, secepatnya.
Aku juga rindu pada ia yang mata teduhnya melekat dalam ingatan. Mata yang selalu menundukkan pandangan demi menjaga tatapan dari perkara yang belum halal. Mata yang tak pernah menyiratkan kemarahan. Mata yang sepersekian detik mampu membuatku tenggelam dalam keindahan. Argh, aku sungguh merindunya.
Lagi, kerinduanku teramat sangat pada Bu Nyai Maslaha yang wafat beberapa tahun lalu. Hm. Sungguh kurindu petuah-petuah bijaknya. Kurindu omelan penuh kasihnya. Bu Nyai, aku adalah saksi bahwa njenengan murabbi yang sangat mulia.
Semua rindu ini … sungguh ku tak tahu lagi dimana penawarnya. So, tak perlu resah mari nikmati.
Aku beranjak ke dalam kamar mengambil kitab Qasidah Burdah diatas lemari. “Dik, bangun. Ayo bangun.” Kubangunkan adik-adik untuk berangkat ke musalla karena usai jamaah Isya’ santri yang haid juga harus ikut baca Burdah.
Aamin tadzakkuri jiraani bidzi salami.
Mazajta dam’an jaraa min muqlatim bidami.
Bait ini mengambarkan kerinduan yang sangat dahsyat seorang Al-Busyiri, si pengarang qasidah terhadap baginda Nabi Muhammad saw. Tidak hanya sekadar rindu biasa, Al-Busyiri bahkan tidak dapat menyebutkan objek yang dituju dengan jelas sebab kecintaan dan kerinduannya pada Nabi begitu mendalam.
Ah, ini masihlah tentang rindu.
Bugh. Seutas tasbih mendarat di pundak kiriku. Hiks, pengurus ubudiyah sedang menatap intens padaku. Pasti aku ketahuan sedang bengong menafsirkan kerinduan al-Busyiri tadi.
Baiklah, dari pada aku kena takzir mending ikut baca Burdah dengan khusyu’. Kalian silahkan lanjutkan membacanya yaa.
“See you next time. Bye.”
Penulis bisa dikontak melalui akun medsos Fb: Zea Mays.
[1] Pengawas ujian
[2] Cuci piring
[3] Kurang tahu
[4] Selesai makan piringnya langsung dicuci. Jangan ditumpuk
[5] Marah
[6] Kediaman Pengasuh
*) cerpen ini dimuat dalam buku Antologi Cerpen Menepi Bersama Rindu
Comments