Oleh: Nur Hidayati, S.Pd.I*
DENGAN maksud untuk mendukung revolusi mental melalui penguatan pendidikan karakter di satuan pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP menerbitkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Namun, aturan tersebut mendapat kritik dan bahkan penolakan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan Nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama/NU).
Berdasarkan Permendikbud No. 23 Tahun 2017 Pasal 2, apa yang disebut Hari Sekolah dilaksanakan 8 Jam per hari selama 5 hari dalam 1 minggu dengan batasan durasi waktu istirahat tidak melebihi 30 menit per hari. Itu berarti, jika pembelajaran dimulai sejak pukul 07.00 pagi, maka pembelajaran akan berakhir pada pukul 15.00 sore hari. Hal inilah yang kemudian memantik keresahan luar biasa di masyarakat. Lamanya waktu yang dihabiskan anak di sekolah dikhawatirkan justru menimbulkan masalah tersendiri, antara lain mengancam eksistensi Madrasah Diniyah (sekolah keagamaan) yang notabene melaksanakan pembelajaran di sore hari.
Ironi Permendikbud
Madrasah-madrasah diniyah selama ini telah begitu istiqomah dalam mendidik karakter generasi penerus. Oleh kebijakan 5 hari sekolah, madrasah diniyah terancam akan kehilangan efektivitasnya sebagai institusi pendidikan yang fokus pada keilmuan agama.
Itu sangatlah disayangkan dan juga ironis mengingat tujuan utama Permendikbud sejatinya ialah untuk menguatkan pendidikan karakter, tetapi justru berakibat menutup langkah madrasah diniyah yang secara historis terbukti telah berperan signifikan dalam penguatan karakter. Alhasil, Permendikbud tak ubahnya lonceng kematian bagi madrasah diniyah.
Bagaimana tidak? Madrasah diniyah yang lazim memulai pembelajaran pada pukul 14.00 hingga pukul 16.00 jelas mustahil dapat melaksanakannya lagi dikarenakan penambahan jam yang begitu panjang di sekolah. Tak pelak, keberadaan madrasah diniyah bakal tamat seketika saat kebijakan Permendikbud No. 23 Tahun 2017 tersebut diterapkan. Awal langkah dari satu pihak akan menjadi akhir dari langkah pihak lain! Konsekuensi serius inilah yang membuat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bereaksi keras seraya mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan Surat Instruksi No. 1460/C.I.34/08/2017 yang berisi himbauan kepada seluruh lembaga dan ormas yang berafiliasi ke NU untuk menolak kebijakan tersebut.
Selain mengancam eksistensi madrasah diniyah, permasalahan lain yang tak kalah seriusnya ialah efek bagi anak didik. Proses belajar di sekolah selama 8 jam per hari, dengan durasi istirahat yang sangat minim, pastilah akan membuat anak kelelahan. Belum lagi harus mengikuti pendalaman minat dan ekstrakurikuler lainnya, bakat dan potensi kreatif anak yang seharusnya dapat dikembangkan justru terancam punah. Fisik yang terus-menerus diforsir selama pembelajaran akan mengalami titik jenuh, hingga disadari atau tidak membuat potensi anak bakal tergerus bahkan terbuang sia-sia.
Dalam pada itu, keberadaan anak selama 1/3 hari di sekolah secara otomotis akan mengurangi kedekatan mereka dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Ini tak ubahnya “bom waktu” bagi anak yang dalam jangka panjang berakibat munculnya prilaku asosial, acuh tak acuh pada sesama, dan hilangnya empati pada diri mereka. Padahal, menurut T. Ramli (2003), tujuan pendidikan karakter adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi pribadi yang baik sekaligus menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik.
Permasalahan juga niscaya muncul terkait ketersediaan sarana dan prasarana belajar yang antarsekolah tidaklah sama. Masih lebih banyak sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana belajar yang bisa memenuhi kepuasan dan membuat anak betah di sekolah. Seharian penuh berada di tempat yang membosankan dapat menyebabkan anak mengalami stres dan bukan tak mungkin memicu terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah.
Pendidikan Karakter
Atas dasar itu semua jelas bahwa Permendikbud yang menggaungkan urgensi pendidikan karakter justru akan menghapus cita penguatan karakter itu sendiri. Sementara, pendidikan karakter justru menjadi core utama pendidikan di madrasah diniyah. Pendidikan karakter yang sebenarnya cuma penamaan “keren” dari “pendidikan akhlaq” sudah sejak lama dikembangkan di madrasah diniyah melalui penanaman nilai-nilai sosial-keagamaan ke dalam diri anak didik.
Bagi madrasah diniyah, pendidikan karakter lebih dipahami sebagai sebuah ikhtiar untuk membentuk karakter baik pada anak. Seorang anak dikatakan berkarakter baik, apabila sikap dan perilakunya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, baik norma agama maupun norma adat. Karakter sedemikian erat kaitannya dengan hubungan anak dengan Tuhan, diri sendiri, sesama, dan lingkungan. Penguatannya dalam diri anak jelas menuntut kerja sama yang baik antarpihak (keluarga, sekolah/madrasah, masyarakat, dan pemerintah). Tanpa itu, penguatan karakter mustahil akan tercapai, apalagi hanya dengan menambah jam belajar di sekolah sebegitu panjangnya.
Jika lingkungan dan budaya belajar tumbuh serasi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, maka permasalahan pendidikan akan teratasi tanpa harus menambah beban jam belajar di sekolah. Kompleksitas permasalahan pendidikan tidaklah dipicu oleh kurangnya jam sekolah, melainkan sistem pendidikan yang gagal menjadikan lingkungan sekolah tempat yang nyaman dan inspiratif bagi siswa, guru, dan segenap warga sekolah; inilah titik terpenting yang harus disadari guna mengurai permasalahan pendidikan yang kian kompleks. Menyikapinya dengan menambah durasi jam pembelajaran di sekolah jelas hanya simplifikasi dan itu sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah, justru berpotensi melahirkan masalah baru.
Urgensi Penyeimbangan
Di titik itulah diperlukan adanya penyeimbangan antara pendidikan di Sekolah yang lebih mengutamakan keilmuan umum dan pendidikan di Madrasah Diniyah yang lebih pada pembelajaran akhlak. Melalui kerja sama antarkedua lembaga, diharapkan akan tercapai keseimbangan dan kesinambungan antara hati dan akal, keyakinan dan intelektualitas, serta keduniaan dan keakhiratan dalam diri anak didik.
Pendidikan karakter akan tertancap mantap dalam diri anak didik seiring dengan berkembangnnya bakat dan kreativitas mereka sehingga menjadi generasi penerus yang inovative sekaligus survive. Berbekal pengetahuan intelektual berbasis kemampuan kognitif dan psikomotorik serta pengetahuan spiritual melalui pendidikan keagamaan akan membuka peluang anak memiliki kecerdasan sekaligus karakter yang baik. Oleh karena itu, tidaklah tepat jika penggalakan pendidikan karakter dilakukan dengan “menutup” madrasah-madrasah diniyah yang tidak lain adalah induk sebenarnya dari apa yang disebut pendidikan karakter.
Untuk ke depannya, sudah sepatutnya pemerintah membentuk korelasi institusional yang baik, kemitraan produktif, antara pendidikan formal dan pendidikan diniyah. Dengan begitu diharapkan sistem pendidikan karakter di Indonesia yang telah 72 tahun merdeka ini dapat menuai sukses, yakni mewujudkan generasi penerus berkarakter mulia sebagaimana yang telah dicita-citakan bersama.[]
*) Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jember dan Guru Madrasah Diniyah PP Miftahul Ulum
Wongsorejo Banyuwangi.
*) Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Opini Jawa Pos Radar Jember edisi Rabu, 13 Maret 2019.
Comments