Revolusi Berhala Pada Setiap Zaman
4 mins read

Revolusi Berhala Pada Setiap Zaman

Oleh: M. Syadili*

Ketika beberapa orang ditanya “siapakah berhala di zaman Nabi Ibrahim?” maka orang-orang itu akan menjawab dengan lantang dan yakin. Jawaban mereka pun bervariasi, ada yang menjawab bulan, ada yang menjawab matahari, ada pula yang menjawab patung, dan lain sebagainya. Jawaban yang dilontarkan tentu semuanya benar. Hal ini dikarenakan pada zaman Nabi Ibrahim berbagai macam benda disembah. Baik itu bulan, matahari, patung, dan semacamnya. Akan tetapi, ketika orang-orang itu ditanya “siapakah berhala di zaman sekarang?” maka orang-orang itu terdiam membisu lalu menjawab dengan ragu, “tidak ada berhala di zaman sekarang, zamannya sudah berubah”. Terdengar masuk akal, tetapi keliru.

Sebelum membahas lebih jauh, mari terlebih dahulu mendefinisikan apa itu berhala? Menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya yang berjudul “Islam: Doktrin dan Peradaban” mengemukakan bahwa berhala tidaklah hanya sebuah patung atau benda fisik, tetapi juga mencakup segala hal yang dianggap lebih tinggi atau lebih penting dari Tuhan. Sudah jelas, bukan? Diterangkan bahwa berhala adalah sesuatu yang ada di setiap zaman, ia tidak dibatasi oleh waktu, bersemayam di dalam pikiran, hati, dan kepentingan manusia. Tanpa disadari mungkin saja seseorang telah memuja berhala. Namun, ia tidak menyadarinya.

Banyak sekali macam-macam berhala di zaman yang modern ini. Nurcholish Madjid memaknai berhala modern sebagai hal yang ganjil, ketika sesuatu yang dinamakan berhala tidak mau ketinggalan zaman dan dipandang hanya berada di zaman jahiliyah, ia mengikuti trend dengan menyandang gelar baru, yakni “berhala modern”.

Seseorang yang memiliki ego dan ambisi akan kekuasaan, ia pasti berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kekuasaannya sehingga rela menjual keadilan dan kebenaran. Dia terobsesi untuk berkuasa tanpa mempedulikan apakah tindakannya benar atau menyimpang dari etika dan moral. Ia sudah haus untuk berada di atas struktur sosial, berapi-api sehingga rela menjual dan menawarkan janji-janji akan kedamaian dan ketentraman pada masyarakat. Namun, realitanya ketika sudah mendapatkan yang didambakan, bukan kedamaian atapun ketentraman yang masyarakat dapatkan, melainkan kekacauan dan penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Begitulah kiranya, alur cerita manusia yang tergila-gila dan memuja kekuasaan hingga melupakan ajaran tuhannya. Bukankah manusia seperti itu sudah seperti menyembah berhala?

Tidak hanya itu, banyak terjadi di zaman ini yang mendangkalkan pemahaman tentang “anjuran hijrah”, mereka mengartikan secara instan bahwa hijrah hanyalah berganti tempat dan busana. Hal seperti ini merupakan sebuah kobodohan, ia memperlakukan agama sebagai sesuatu yang hanya tampak, hanya simbol belaka, dan pada akhirnya merendahkan sesamanya. Padahal hal tersebut sesuatu yang memalukan dan merendahkan dirinya sendiri. Contohnya, mereka yang berdiri di depan kamera, menggunakan busana islami yang mereka sebut dengan kata hijrah. Lalu, berjoget seperti belut yang tersengat listrik, menonjolkan auratnya dengan bersembunyi lagi di balik istilah hijrah.

Mereka yang mengagung-agungkan busana yang megah layaknya para raja, memuja kekayaan tanpa mau bersedekah dengan dalih menjaga harta adalah kewajiban, berjalan di atas bumi dengan congkak dan merasa suci, seakan-akan dialah pengganti penutup para nabi, enggan menerima kebenaran dari sesuatu yang menurutnya salah. Berfatwa dari ujung sabang sampai merauke tentang ilmu. Namun, tak melaksanakan apa yang ia ucapkan, yang orang jawa menyebutnya “kakean cangkem” yang artinya banyak bicara.

Ketika sudah seperti itu, kiranya siapa yang ia sembah? Allah? atau berhala yang terdapat pada dirinya, yang terdapat pada busananya?

Padahal sudah tegas nabi muhammad SAW bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُم;
“Sesungguhnya allah tak melihat bajumu dan hartamu, melainkan hatimu dan perbuatanmu.”

Jelaslah bahwa busana yang dijadikan sebagai simbol status, keturunan, materi bukanlah sesuatu yang dipandang oleh Allah, bahkan ego yang menciptakan kesombongan dan ambisi yang menghalalkan segala cara merupakan hal yang dapat melupakan dan menjauhkan diri dari Allah. Ketika semua itu (ego, busana, harta, dan status) dipuja-puja dan dikejar mati-matian, apakah salah jika kemudian semua itu dianggap berhala. Apalagi tidak jarang mereka lupa terhadap ajaran dan perintah Tuhan. Lalu siapa yang mereka anggap Tuhan?

Semoga kita termasuk orang-orang yang selamat dari memuja berhala—berhala dan tetap kokoh untuk tetap lillahi ta’ala.

*) Penulis adalah Alumni YPP Miftahul Ulum tahun 2024 dari Singaraja Bali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *