Strategi Epik! Menanamkan Nilai Moral Menggunakan Kearifan Lokal
3 mins read

Strategi Epik! Menanamkan Nilai Moral Menggunakan Kearifan Lokal

Penulis: Abuya KH. Moh. Hayatul Ikhsan, M.Pd.I

Mendidik bukan hanya sekadar transfer ilmu, tetapi juga menanamkan akhlak yang tinggi dan budi pekerti yang baik. Abuya Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani pernah dawuh, “Ajarkan etika dan sopan santun sebelum ilmu. Sebab, ilmu tanpa budi pekerti membawa kehancuran, sedangkan budi pekerti tanpa ilmu akan menemukan jalannya.” Dawuh beliau ini menjadi alarm betapa pentingnya menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral.

Untuk membangun kecerdasan moral harus membentuk karakter murid terlebih dahulu. Salah satu upayanya bisa dengan mengenalkan kearifan lokal sejak dini. Menggunakan pendekatan yang efektif karakter murid dapat dikembangkan dengan maksimal.

Mari kita ambil dua contoh, misalnya budaya Madura dan budaya Osing di Banyuwangi. Keduanya merupakan warisan budaya yang memiliki kekayaan nilai sangat tinggi berkaitan dengan penanaman etika.

Kearifan lokal orang Madura yang dimaksud ialah teguh, hormat, dan berdedikasi. Madura juga mengenalkan adanya istilah nilai-nilai buppa’, babbu’, guru, dan rato (ayah, ibu, guru, dan pemimpin). Dalam istilah ini diajarkan pentingnya rasa hormat terhadap orangtua, guru, dan pemimpin. Nilai-nilai yang terkandung dalam istilah tersebut merupakan landasan utama dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam hal memberikan pendidikan pada murid, nilai tersebut dapat diterapkan dengan banyak cara atau pendekatan. Salah satunya dengan menyampaikan kisah inspiratif, guru dapat menceritakan tentang tokoh Madura yang sukses karena menghormati orangtua dan gurunya. Misalnya, menjadikan biografi Kiai Kholil Bangkalan sebagai teladan. Kiai Kholil dikenal sangat menghormati orangtua dan gurunya sehingga sukses menjadi ulama besar bahkan hingga kini masih dikenang dan makamnya tidak pernah sepi pengunjung.

Selain itu, latihan sehari-hari secara istiqamah juga dapat diterapkan dalam mendidik murid. Setiap murid diajak untuk rutin mendaraskan doa untuk orangtua dan gurunya. Sambil lalu kita ajarkan mereka tentang pentingnya berbakti.

Lebih lanjut, murid diajak melihat filosofi carok bukan dalam arti kekerasan. Namun, dalam semangat pemajuan kebenaran dan martabat secara bijak. Guru dapat mengaitkan hal ini dengan perjuangan menjaga moralitas dalam menghadapi godaan zaman.

Sedangkan, kearifan lokal Osing Banyuwangi merupakan harmoni dan keberagaman budaya Osing di Banyuwangi. Budaya tersebut menjadi pepiling untuk menguatkan karakter tetaken atau gotong royong tanpa pamrih.

Nilai tersebut sangat cocok diterapkan dalam dunia pendidikan apalagi di pondok pesantren. Misalnya, bentuk kerjasama santri dalam beberapa kegiatan berkelompok. Banyak hal yang biasa santri lakukan bersama-sama, seperti membersihkan kamar, ro’an, atau bahkan memperbaiki fasilitas pondok pesantren. Dari kebiasaan belajar dan beraktivitas bersama, para santri kemudian akan merasakan manisnya gotong-royong.

Selain itu, budaya Osing juga dapat dikenalkan lewat pertunjukan seni budaya. Memadukan seni dakwah dan seni osing, seperti pertunjukan gandrung modifikasi yang membawa pesan moral. Seni ini merupakan cara yang menyenangkan untuk mengajarkan nilai-nilai luhur secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Osing juga terkenal dengan konsep harmoni alam. Pesan ini diharapkan mampu membentuk murid yang awas terhadap perlindungan lingkungan sebagai bagian dari ritus terhadap ciptaan Allah.

Dapat dipastikan bahwa menggabungkan etika dan adab dengan kearifan lokal maka pendekatan ini akan menghasilkan hal yang luar biasa. Tidak sebatas mengajarkan nilai-nilai, tetapi juga mendekatkan murid dengan lingkungannya sehingga tertanam rasa bangga dengan jati dirinya.

Setiap tradisi mengandung hikmah moral yang dapat dikaitkan dengan ajaran Islam. Sebagaimana dituturkan oleh Abuya Sayyid Muhammad, “jika murid beradab maka ilmu yang diperoleh akan lebih bermakna.”

Adab atau moral yang diajarkan dengan mengenalkan kearifan lokal tentu tidak hanya relevan, tetapi juga terasa hidup dan menyentuh hati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *