Agar Santri Tidak Merokok
5 mins read

Agar Santri Tidak Merokok

Oleh: Fawaizul Umam*

Di banyak pesantren tradisional yang secara ideologis berafiliasi ke NU, santri merokok adalah hal lumrah. Hanya sedikit pesantren yang melarang total santrinya menghisap rokok. Kebanyakan pesantren justru membolehkan para santri merokok.

Tentu pembolehan itu dengan sejumlah batasan. Misalnya, rokok hanya boleh dihisap untuk mereka yang sudah ustadz atau santri senior atau yang telah mencapai level pendidikan tertentu. Di luar mereka, larangan diberlakukan sangat ketat.

Alasan belum “dewasa” lazim dilekatkan di balik pelarangan. Jadi, santri dilarang merokok karena belum “dewasa”, bukan karena merokok berbahaya bagi kesehatan atau bentuk pemborosan. Pengenaan alasan itu kurang-lebih bertemali erat dengan basis keilmuan utama pesantren tradisional sendiri, yakni fiqh.

Dalam fiqh, kriteria “dewasa” umumnya terefleksi lewat nomenklatur aqil-baligh dan tamyiz yang dikaitkan dengan konteks pembebanan hukum syariat (taklif). Mereka yang mencapai aqil-baligh dan diandaikan telah tamyiz (mumayyiz) otomatis terpanggul baginya kewajiban syariat (mukallaf).

Tamyiz lazim diartikan sebagai fase kematangan tertentu di mana seseorang dipandang telah mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Dari sisi umur, sebagian ulama menyebut kriterianya kira-kira usia anak sekolah, di atas balita. Adapun aqil-baligh dimaknai sebagai kategori dewasa. Hanya saja ulama tak memberi kriteria pasti dari sisi rentang umur, kecuali terpenuhinya kriteria mimpi basah (ihtilam) bagi lelaki atau mengalami menstruasi (haidl) bagi perempuan.

Beda pandang tentang rokok dan perlakuan beda terhadap tradisi merokok di kalangan santri di satu sisi merefleksikan betapa keilmuan fiqh di dunia pesantren begitu dinamis, tetapi di sisi lain juga mengisyaratkan pesan serius alangkah sulitnya menjauhkan mereka dari tradisi merokok. Sikap mereka umumya merepresentasikan sikap keagamaan NU terhadap rokok, yakni merokok terhukum makruh. Jika distatusi haram sebagaimana difatwakan MUI dan Majlis Tarjih Muhammadiyah, sudah pasti para santri berikut ustadz bahkan kiai mereka bakal sontak tertawa atau minimal tersenyum geli sembari manthuk-manthuk.

Berbeda dengan MUI atau Majlis Tarjih Muhammadiyah, berbagai forum Bahtsul Masail yang dihelat NU dan sejumlah pesantren sejauh ini memang cenderung menghukumi merokok sebatas makruh. Perbedaan itu terjadi berkait rekat dengan diferensi metodologis bagaimana status hukum atas suatu perkara ditetapkan (istinbath al-ahkam).

Uniknya, dalam banyak hal, proses penetapan hukum lebih sering menumpukan pada faktor niat dan kemashlahatan. Subjektivitas pun mengejawantah. Relativitas alasan diketengahkan sebagai dalil sekaligus dalih. Penentuan illat bagi penetapan suatu hukum dalam konteks ushul fiqh (legal theory) atau qawaid al-fiqhiyah (legal maxims) memang begitu. Cenderung “liar”. Maka, wajar bila dalam proses istinbath al-hukm setiap orang cenderung bebas berselancar di antara berbagai konteks; mereka merdeka memilih konteks mana yang hendak dijadikan illat hukum.

Oleh karena  itu tak perlu kaget bila MUI, misalnya, mengenakan faktor resiko buruk (mafsadat) bagi kesehatan sebagai alasan utama mengharamkan (me)rokok, sedangkan NU dalam memakruhkannya cenderung lebih mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi sebagai alasan utama, bahkan sebagian kalangan pesantren cenderung “welcome” terhadap rokok dengan menunjuk “kemanfaatan”-nya. Kalangan terakhir kerap menunjuk kemanfaatan rokok pada efek psikologis yang ditimbulkannya, seperti “tak konsentrasi saat ngajar kitab bila tanpa disertai kepulan asap rokok” atau “bukankah mudharat bila gara-gara tak merokok dakwah islamiyah jadi mandeg…”

Bila demikian halnya, memfatwa rokok haram jelas tidak efektif menumbuhkan kesadaran teologis santri untuk segera mencampakkan rokok. Menyadarkan mereka untuk berhenti merokok lewat fatwa jelas tidak tepat, bahkan bisa kontraproduktif. Bisa-bisa malah direspons dengan debat hukum tak berkesudahan.

Lalu, bagaimana cara melindungi santri dari bahaya rokok? Mereka mengabaikan fatwa “haram rokok” jelas bukan karena tak paham agama atau karena menyepelekan beratnya konsekuensi teologis (dosa, neraka) dari suatu perbuatan yang diharamkan. Mereka secara epistemologis jelas sangat mampu memberi status hukum tandingan tentang merokok, baik makruh atau malah wajib.

Sangat mungkin resistensi itu lebih karena mereka tidak terlalu paham bahaya rokok bagi kesehatan. Rasanya mereka bakal berpikir berkali-kali untuk merokok bila sadar betul bahaya besar yang mengintai diri dalam setiap hisapan rokok.

Oleh karena itu upaya menyadarkan santri agar berhenti merokok haruslah dilakukan terutama melalui aspek medis, daripada lewat aspek teologis macam fatwa itu. Ketika wacana rokok dibawa ke ranah agama, berbagai ajuan illat pengharaman atau penghalalan rokok sungguh debatable. Sangat mudah dibantah. Sementara jika ditarik ke aspek medis, efek buruk rokok bagi kesehatan jelas mustahil dibantah. Jalan ini tentu lebih produktif untuk menaklukkan kesadaran mereka ketimbang sekedar menakut-nakuti dengan neraka atau mengiming-imingi dengan surga lewat fatwa.

Oleh karena itu proyek penyadaran harus digeser locus-nya dari soal haram-tidak menjadi berpotensi merusak kesehatan atau tidak. Bila lokus penyadaran digeser ke penekanan aspek medis, sesungguhnya kita tengah menusuk langsung aspek yang tidak mereka kuasai secara keilmuan. Melalui pengayaan di aspek medis, himbauan untuk membuang rokok akan lebih mudah landing dalam kesadaran mereka. Tentu ini lebih produktif tinimbang memaksakan fatwa hukum yang justru mudah mereka kritisi atau bahkan tertawakan tiada henti.

Memang cara demikian butuh banyak waktu dan juga sulit, tidak semudah membalik telapak tangan. Logis, karena mengakhiri kebiasaan merokok pada dasarnya adalah ikhtiar menghentikan “peradaban”, yakni peradaban boros dan tak menghargai anugerah kesehatan!

*Wakil Pengasuh YPP Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *