Risalah Cinta Ning Evi Ghozaly

ANAK KEHIDUPAN

0

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Orang tua mana yang tidak menaruh harapan pada anaknya? Kami juga begitu. Tapi ada banyak harapan terhadap kedua anak kami yang tidak bisa (atau belum?) kami sampaikan langsung. Tiap kami akan minta agar anak-anak bagaimana atau ngapain, selalu ketahan di lidah karena ngerasa duh mereka lho sudah jadi anak baik.

Pernah kami pengin anak-anak memiliki prestasi di bidang apa dan menempuh apa. Tapi lalu mikir, mereka kan sudah berusaha taat pada Gusti Allah, sebaik versi mereka. Mereka sudah menjadi anak berbakti yang menyenangkan hati. Apa adil kalau kami meminta ini dan menuntut itu?

Kadang kalau kepepet cuma kasih kode aja, nggak pengin kuliah di UIN, Nak? Baik, kami daftar ya Umi di UIN niat birrul walidain. Tapi kalau pengumuman di kampus lain lebih dulu, boleh ya kami ambil yang duluan? Krik-krik ๐Ÿ˜…

Yasudelah. Wong memang sebagian besar harapan ke mereka tuh, tibaknya ambisi kami yang belum kecape kok. Jadi abaikanlah. Yang penting mereka tetep mau ngaji dan selesai madrasah diniyah di pondok pesantren, karena ini wasiat kakek neneknya. Bisa jadi imam, mimpin tahlil dan nyimak setoran juz amma anak-anak Al Ghozaly. Bagian ini yang tanpa pilihan, tak ada negosiasi. Selebihnya, monggo mawon mau apa kemana. Asal dengan cara baik dan tidak menyakiti orang lain. Bismillah.

::

Wong iyes, sejak kecil mereka berdua keukeuh bercita-cita. Pilihan sekolah, jurusan kuliah, bidang profesi, sejak kecil konsisten. Alhamdulillah mereka tahu harus bagaimana untuk mencapai harapannya. Maka untuk keputusan besar dalam hidupnya, kami tak ingin intervensi. Meski tentu tetap mengarahkan, membantu istiharah jika dibutuhkan, mendampingi daaan mendoakan.

Nah salah satu manfaat dari kegigihan ini, mereka jadi bertanggungjawab pada dampak atau resiko keputusannya. Kalau ada masalah, nggak menye-menye ngadu. Diskusi dengan Abinya, sekedar minta saran ke emaknya. Selebihnya, hanya minta doa dan ridla kami aja.

Si sulung ini, sejak dulu pengin lanjut Es dua setelah Es satu. Alhamdulillah ada kesempatan bekerja sebelum wisuda. Pekerjaan yang sangat dia sukai karena di bidangnya. Apalagi berkala ada bonus bekerja di luar sambil mengenal kota yang belum pernah dikunjungi. Dalam waktu singkat bisa mandiri, bahkan bisa rutin tiap bulan mengirim uang jajan dan bensin ke adiknya, ples bayarin nge-gym dan skincare. Emak dan Abinya juga sering kecipratan ditraktir. Alhamdulillah. Terima kasih untuk kantor dan perusahaannya ๐Ÿ˜€โค๏ธ

::

Pekan lalu dia pulang, niat kumpul lengkap dengan keluarga. Adik dan emaknya yang sedang di Malang dipaksa pulang. Alhamdulillah bisa barengan cukup taneg. Tak ada yang aneh. Hanya sehari menjelang balik, dia tegas matur, “Abi Umi, Mas tetep ingin Es dua di kota X. Tolong ridla nggih. Mohon doakan agar lancar.”

Owalah arek iki masih kekeuh tibaknya. Sempat saya ingin nanya atau nawar apa gitu. Tapi urung. Semendal liat binar mata dan wajah antusiasnya. Apa tega saya memutus semangatnya? Lagian masih beberapa bulan lagi.

“Tenang, Umi Abi. Sebelum benar-benar jauh, Mas akan upayakan sering pulang kok. Tetep ingin maksimal birrul walidain, dengan apapun caranya. Tapi mohon ridlai pilihan ini ya.” Udah. Masuk bis Damri, dadah.

::

Lha kok. Semalam dia tilp. Mbarep yang tidak mudah goyah lurus utun ini, jadi berubah ngepot nguing belok tanpa nyalain lampu sein. Saya menyimak diskusi dengan Abinya. Lalu mendengarkan keputusannya, “Sepertinya Mas ingin belajar hal baru dulu. Sambil nyiapin diri untuk cita-cita lama, Abi.”

Lah, doi mendadak ngrubah rencana. Bahkan dia tidak meminta saran saya ih. Mungkin karena sadar emaknya suka baper dan mudah getun. Yalalu harus bagaimana lagi? Menjadi orang tua tidak ada sekolahnya. Belajarnya terus menerus, ujiannya pas seperti ini. Harus tenang dan siap ketika ada jedug-jedug ya, Vie. Saya puk-puk diri sendiri, meski aslinya pengin mbuh.

Siapkan hati Vie, bahkan jika pekan setelahnya anakmu membuat keputusan yang berbeda lagi. Siapkan mental Vie, bahkan ketika resiko keputusan ini adalah kegagalan. Ikhlaskan anakmu belajar dan memperjuangkan hidupnya ya. Toh seperti kata Kahlil Gibran, “Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah anak kehidupan. Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu. Dan, meski mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.”

“Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu. Sebab mereka memiliki pikiran sendiri. Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka. Sebab jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang tak kan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu. Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu. Sebab kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.”

::

Eh saya lebay banget ya. Kayak mau dipamiti kemana lho. Padahal si sulung cuman ngrubah rencananya dikit. Legowo aja ya. Teringat ngendikan Gus Baha di tema pengajian tentang mendidik anak, “Anak itu sudah orang lain. Mukallafnya sudah beda.”

ุงู†ุช ู„ู… ุชุฌุฏ ู…ู† ู†ูุณูƒ ูƒู„ู…ุง
ููƒูŠู ุชุฑูŠุฏ ู…ู† ุบูŠุฑูƒ ูƒู„ู…ุง

“Jika kamu tidak bisa memenuhi semua keinginanmu, bagaimana kau minta orang lain untuk memenuhi semua keinginanmu.”

Kalau ada keinginanmu yang tidak bisa tercapai, ya jangan timpakan pada orang lain untuk memenuhinya. Bahkan ketika orang lain itu adalah anakmu, tetep nggak berhak memaksa.

::

Di akhir tilp Mas Lavy nglende, “Mohon ridla nggih, Um. Mohon istiharahkan sekali lagi ya. Agar semakin mantab.”

Iya, Nak. Kami ridla. Semoga Allah juga ridla untuk semua harapan baik panjenengan ya. Bismillah. Mudah. Indah. Berkah.
.

๐Ÿ“ท Emak bersama si sulung, di bukit karet berbunga kau mengajak aku ke sanaโ€ฆ ๐ŸŽผ
.

  • Bataranila, 07.01.2023 –

PERJUANGAN YANG AMBOI

Previous article

Safari Religi: YPP MU Ajak Para Santri Kunjungi Makam Wali Lima

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.