PERJUANGAN YANG AMBOI
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Lima hari sebelum anak pertama lahir, Abi dapat kabar akan di-PHK oleh perusahaan kelapa sawit, Tania Selatan, Sumatra Selatan. Inget banget, menjelang HPL saya masih ngotot minta ikut demo besar di kota bersama ratusan pegawai tetap. Pas usai USG terakhir tuh, sebelum balik ke rumah kebun. Jiwa aktipis 98 saya meronta. Bahkan sempat berniat memberi nama anak pertama ini dengan Gempur Tania. Tapi langsung dihuss keras oleh Mbah-nya lewat tilpun wartel hahaha.
Abah Umik ngendikan, “Masa’ nggak percaya dengan kasih sayang Gusti Allah. Rasah nderek demo, nanti masuk koran dibaca wong sak hohah. Uwisin. Sampun talah. Rizki sudah tertakar, dan nggak akan tertukar. “
Jadilah nama Lavy yang panjangnya berarti, “Yekti bakal teka pitulung Gusti Allah.”
::
Bener, ternyata pertolongan Allah cepet wuss. Sehari setelah nama disematkan, Abi dapat panggilan dari perusahaan lain. Jadi sebelum benar-benar dapat surat cinta dari perusahaan, kami sudah bersiap pindah ke Lampung Selatan.
Cerita selanjutnya kayak kuwilah. Sempat naik derajat dari miskin banget ke keluarga PKH. Yang lalu terusir karena rumah kontrakan dijual pemiliknya diam-diam haha. Anak kedua lahir setelah drama hawer-hawer ini. Dapat pesen dari Romoyai, “Huruf depannya D nggih.” Maka Dany kami panjangin namanya yang berarti, “Ingkang tansah caket maring keleresan.”
Di Bandar Lampung mulai bisa nabung meski sak srit-srit. Meski begitu, kami upayakan banget ngasih makanan bergizi untuk anak-anak. Gaji Abi 800 ribu, harus nduluin beli gas dan susu. Dana beli sayur dan lauk sehat disisihkan. Alhamdulillah bisa ngirit, malah bisa ngentit sisa belanja. Betapa besar jasa pasar murah sebelah PP. Al Hikmah. Asli, dapat main sulapan, uang sekian dapat kebutuhan dapur sepekan😅
Setelah itu, bisa nyicil bikin rumah dan tanah. Bisa nyisihin untuk orang tua dan mertua masing-masing 25 ribu per bulan, lalu naik 200 ribu. Dikumpulkan, nanti diberikan pas menjelang lebaran agar jumlahnya pantes. Memang Abah Umik nggak butuh duit kami, tapi masa sih kami nggak pernah ngirim. Dan kalau ngirim orang tua, ya harus sama dengan mertua. Adil. Minimal agar tidak ketahuan kalau kami belum masuk golongan berada haha. Iya, tiga tahun nggak beli baju mungkin nggak terlihat, tapi tiga tahun nggak mudik ke Jawa kan bikin semua curiga. Sangking sibuk banget atau nggak punya ongkos?
::
Kami tetep ikhtiar agar anak-anak bisa sekolah di lembaga terbaik. Sekolah yang bukan hanya kereeen prestasi akademiknya, yang terpenting mendidik dengan agama dan karakter bagus, Sekolah Permata Bunda. Matur nuwun sanget kagem Abi M Haris Sukamto yang telah mengajarkan membuat prioritas dan berjuang mewujudkan harapan. Saranghaeyo ❤️
Pokok kami lakoni semua, hayuk aja. Uang bulanannya mahal. Ongkos transpot pulang pergi nggak sedikit. Pagi disusul abondemen. Selama nunggu anak-anak sekolah, saya ngajar ngaji ibu-ibu di masjid. Pulangnya, saya nuntun L dan nggendong D. Timik-timik ke jalan raya, naik angkot lalu sambung becak. Dari play group, TK sampe kelas satu SD lho. Jian, shalihah bener saya. Tapi kalau disuruh ngulang, ya emoh terorejing 😅
Saat itulah, anak-anak mulai paham tentang kaya dan miskin. Teman-temannya diantar jemput mobil bagus, bekalnya yahud, cerita liburannya amboi. Saya pernah mergoki Mas Lavy ndomblong nelen ludah liat temennya makan udang tempura dan tangan kirinya megang Citato. Adik Dany yang sering resah dengan status sosialnya sempat nanya, “Umi, sekarang kita masih miskin atau sudah kaya?” Tenaaang, kita sudah menjelang sugih, Nak. Dikit lagi kaya beneran haha. Iya kami pede aja. Uang kami memang belum banyak, tapi ketutup dengan kreatif lincahnya Adik Dany dan cerdas cerianya Mas Lavy. Jadi, selalu ada alasan untuk bersyukur. Eh ada kepsek SD dan ortu teman-teman L & D di efbi ini. Salim satu-satu 😀
::
Sungguh kami bersyukur anak-anak tidak pernah protes meski beberapa tahun hidup dalam keterbatasan. Mereka ridla, bahkan tetap riang dan menjadi anak yang menyenangkan. InsyaAllah mugi ibadah dan akhlak mereka lebih baik dari kami, orang tuanya. Berlimpah terima kasih yang kami ucapkan, belum berarti apa-apa untuk mengimbangi bakti mereka. Jadi ketika kami mendapat banyak kenikmatan, mereka lah yang utama kami pikirkan.
Ngendikan Gus Baha, “Orang-orang pertama yang berhak mendapat kebaikan dan kebahagiaan kita adalah anak-anak dan istri. Inget ya khoirukum khoirukum li ahli.”
Maka bismillah, beberapa waktu lalu kami mendaftarkan dua permata hati ini haji. Berharap mereka nampi dengan bahagia. Eh tibaknyah anak sulung justru gusar. Bergetar dia matur, “Ngapunten ini berlebihan, Abi Umi. Kami berdua sudah dewasa, bukan lagi tanggung jawab orang tua dalam hal materi. Apalagi untuk kewajiban haji.”
Tidak apa, Nak. Ini bagian dari rasa syukur kami pada Allah. Panjenengan berdua adalah anugrah terindah. Kami ingin mengantarkan tindak sujud ke rumahNya. Mohon diterima, Nak. Semoga Gusti ridla dan berkah. Sampaikan juga salam tadzim dan rindu kami pada Baginda Rasul yang kita cintai nggih.
Lalu mereka menangis terharu. Lalu kami berpelukan kayak teletabies. Lalu the end.
.
📷 Di bawah celengan sawit yang banyak tong geretnya. Itu, saudara gareng yang suaranya bisa sampe enam oktaf 😅