Risalah Cinta Ning Evi Ghozaly

RUMAH

1

Penulis: Ning Evi Ghozaly

“Barang siapa yang masuk waktu pagi dengan merasa aman di rumahnya, sehat badannya, mempunyai makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya – HR. Tirmidzi –

Ketika saya membaca hadist tersebut saat mengaji di TPA Al Islah puluhan tahun silam, yang terbayang adalah rumah agak besar dengan beberapa kamar, di pinggir jalan lebar tapi tidak ramai kendaraan. Dekat dengan masjid dan sawah. Halaman luas dengan banyak pohon buah, teduh. Ada suara gemericik air dan kicau burung. Ada tanaman kesukaan Umik saya, Lidah Buaya, Kuping Gajah, Beras Kutah, Sri Rejeki, Melati, Mawar dan lainnya.

Entah mengapa, gambaran rumah sederhana tapi indah itu terus ada di kepala saya, hingga berhari-hari. Suatu malam, saya ceritakan rumah impian pada Umik. “Bacakan fatihah dan sholawat, Nak. Simpan rapat dalam hati dan doa. Semoga suatu saat terwujud nggih. Tapi jangan bilang siapapun ya,” bisiknya lembut di telinga saya. Iya, Umik tidak pernah mengatakan, “Nggak usah muluk bermimpi. Kita bukan orang kaya.” Untuk semua harapan anaknya, Umik selalu mendukung dengan semangat dan doa, bahkan untuk hal yang sangat mustahil dalam hidup kami. “Gusti Allah maha sugih ya, Nak,” selalu itu kalimat pamungkasnya. Ah Umik.

::

Empat ratus delapan purnama berlalu. Saya baru berani menceritakan ini. Setelah menikah 1998, pindah rumah lima kali. Anak dioyong ke sana kemari, kayak anak kucing haha. Dua rumah dinas perusahaan di tengah ribuan hektar kebun sawit, lalu menjadi kontraktor tiga kali mlumpat antar kota antar propinsi, jian AKAP wis. Tentang bagaimana miskinnya kami sudah sering tak ceritakan ya, paling njenengan mpun bosen bin waleh haha.

Iya, rumah pertama yang kami tempati milik perusahaan kelapa sawit. Kebun Mesuji, Sumatra Selatan. Dua kamar, lengkap isinya ples ART dan tukang kebun. Sederhana, tapi eksklusif dengan budaya kebun yang agak feodal. Saya malah kayak terkurung. Apalagi nggak ada kegiatan, boro-boro ada hiburan. Nderes Al Quran mulai Kamis pagi, malam Jumat berikutnya sudah khatam. Langganan tabloit Nova dan Gatra yang harusnya datang Selasa, sampai rumah kebun hari Sabtu. Itupun pake drama kurirnya kepater, rantai motor sampai putus saking amboinya berkilo jalanan merah becek yang harus dilalui. Saya sering main ke masjid atau rumah penduduk dan mess karyawan harian. Jadi bisa ngaji bareng anak-anak dan ibu-ibu. Alhamdulillah.

Beberapa bulan kemudian, pindah rumah kedua. Masih di tengah kebun kelapa sawit. Kebun Sari Indah, Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Karena perumahan karyawan setingkat Abi hanya ada satu, penghuni sebelumnya punya banyak anjing dan saya tidak sanggup membersihkan dalam waktu singkat, Abi meminta ijin pimpinan agar bisa tinggal di rumah milik desa. Saya sedang hamil tua, pasrah saja dengan kondisi rumah yang sering saya ceritakan tuh. Dinding papan kayu, atap dari seng, lantai semen berlubang, tak ada lampu listrik dan sumur. Jadi tiap pagi Abi nimba ke sumber air terdekat. Tiap sore menyalakan 5 lampu ublik dan satu petromak. Jangankan nyamuk dan kecoak, kambing dan biawak aja bisa masuk rumah karena dinding bolong-bolong dan pintu belakang yang rapuh tipis. Tapi saya sangat bahagia di sini. Banyak anak dan ibu mengaji di rumah. Saya ngajar abata, cara wudlu dan sholat. Meski banyak tantangan, tapi semangat luar biasa. Puncaknya pas menjelang kelahiran Mas Lavy, kami mengadakan peringatan Maulid Nabi dihadiri jamaah, lurah dan masyarakat hingga ratusan orang. Mas Lavy lahir di rumah ini, dibantu dukun bayi dan bidan desa tahun 1999. Sambutan masyarakat luar biasa, slametan akikah Mas Lavy ramai dan khidmah. Sebulan setelah itu, kami pamit. Diantar lurah dan 5 warga berikut keluarganya, kami menuju Lampung Selatan.

Iya. Rumah ketiga di desa Pardasuka, Lampung Selatan. Abi sedang menangani proyek pertanian MMC Jerman. Kami mengontrak rumah milik seorang warga yang saat itu tinggal di Tangerang. Rumah besar dengan tiga kamar. Tak ada masalah. Semua lebih mudah karena pasar depan rumah, tidak terlalu jauh dari akses jalan raya dan pelayanan publik. Tapi ada masalah besar yang akhirnya saya anggap sebagai ujian tak terlupakan. Saat itu saya hamil anak kedua, 9 bulan. Pas masa kontrak yang harusnya masih ada 4 bulan, pemilik menjual rumah yang saya tempati. Sesuai adab harusnya saya ditawari dulu kan? Minimal dikabarilah, karena saya masih tinggal di sana. Ternyata enggak. Semua berlangsung diam-diam. Belakangan, saya tahu yang akan membeli adalah pasangan yang sudah kami anggap sahabat karena sama-sama perantau: suaminya guru SMK dan istrinya bidan. Saya panik memikirkan hari kelahiran yang dekat, dalam kondisi lemah, dan harus pindah. Abi sempat berniat membeli rumah itu, cash, dana dibantu atasannya. Tapi ternyata sudah deal dengan Bu Bidan. Jujur saya sedih, kecewa dan marah. Segitunya ya memperlakukan kami. Sahabat lho. Setidaknya ngomonglah. Beri kesempatan kami menyiapkan semua sebelum pindah. Tapi ya sudahlah.

::

Ternyata rencana Allah jauh lebih baik. Justru kepindahan kami ke kota membuat segalanya lebih indah. Di rumah keempat dan kelima yang terletak di Kota Sepang, Bandar Lampung yang kami kontrak, kami mendapat banyak sahabat baru yang baik. Komunitas yang kereeen dan membaikkan. Anak-anak bisa sekolah di lembaga terbaik, kami bisa menabung dan sampai kami dimampukan membangun rumah. Adik Dany lahir ketika kami di Kota Sepang, tahun 2021. Diantar Pak Salim kakak pemilik rumah yang kami kontrak, menuju Betik Hati. Bidan Jamiah langsung yang menangani.

::

Tahun 2006 rumah yang kami bangun sempurna dalamnya. Isinya perabot serba jadi dan marmer, saya beli nyicil selama 2 tahun haha. Lama banget. Iya, kan saya nggak kerja, jadi menunggu sisa uang belanja. Alhamdulillah. Tapi tapi, yang sempurna hanya dalamnya ya. Luar masih apa adanya. Dinding batu bata belum dipoles, apalagi pagar. Terhenti karena saya mengalami kecelakaan dan operasi. Dana puluhan juta kesedot untuk biaya rumah sakit. Ya nggak papa. Tetep alhamdulillah.

Beneran, rumah ini sangat berkah. Di sini, kami mulai manabung kebun sawit dan karet. Bermula beli sehektar dua hektar sepuluh hektar terus sampai pada batas yang kami harapkan. Di sini juga, Abi bisa lanjut kuliah S2. Setelah wisuda, ganti saya S2 di Unila. Prioritas kami bukan lagi ngebagusin tampilan luar rumah, tapi menabung dan investasi. Pendidikan, tanah, kebun.

::

Tahun 2014, kami “terpaksa” membangun rumah kedua. Ceritanya di tulisan lain ya. Judulnya Wasiat. Bangunan dengan puluhan kamar ini akhirnya menjadi asrama untuk anak lelaki yang bersekolah di Global Madani. Biaya pembangunan, hutang. Untuk pertama kalinya kami berhutang di bank dalam jumlah fantastis. Cicilan dua dijit tiap bulannya, pokok tiap bulan September dalam nominal amboi. Sampe kami menggeh-menggeh. Alhamdulillah lunas dalam 6 tahun. Mpun kayaknya kapok hutang begitu haha.

Tahun 2018 kami membangun rumah ketiga, di Malang. Mas L kuliah di Univ Brawijaya dan Adik D di Univ Negeri Malang. Dari pada merela kost, kami memutuskan membangun rumah di atas tanah warisan. Lantai dua, sempurna. Sesuai harapan interior maupun tampilan luar dan pembagian ruangnya. Biayanya ampuuuun mahal poll karena berbagai sebab. Tapi alhamdulillah selesai.

Tahun 2021 kemarin baru kami renovasi rumah Bataranila. Rumah utama yang kami tempati dan sempat kami cuekin 15 tahun. Gara-garanya mau ada Muktamar NU dan saya akan menerima banyak tamu kyai ples pengurus NU. Kok kayaknya nggak pantes ya kalau kondisi rumah masih begini. Sat set wat wet, dalam tiga bulan bongkar rumah. Jadi, alhamdulillah. Benar-benar impian yang tertunda. Setelah 16 tahun, jadilah semua sudut. Pagar kokoh, kamar pas, lima taman, satu kolam luas dua aquarium besar, tujuh kandang burung. Bermacam tanaman buah, ada jambu jamaica, kelengkeng, mangga, pisang, rambutan, kelapa kopyor, belimbing, alpukat, manggis, anggur brazil, pisang dan durian. Ada gemericik air dan kibas ekor puluhan ikan Louhan. Ada kicau lima perkutut dan nyanyian dua Love Bird setiap hari. Ada bentangan rumput dan tanaman dinding. Ada bunga bakung, kuping gajah, sri rejeki, melati, bambu air, anggrek dan lainnya. Adem. Asri. Teduh. Persis seperti bayangan tentang rumah ideal di masa kecil saya. Alhamdulillah.

Setiap membangun rumah, saya membaca wirid yang diijazahkan oleh Abah, ” Robbi anzilni munzalan mubarokan wa anta khorul munzilin.”

::

Alhamdulillah. Tak henti kami bersyukur. Hampir semua yang kami lantunkan dalam doa telah dikabulkan Allah. Rumah selanjutnya menanti. Selanjutnya dan selanjutnya. Semoga rumah untuk kami sekeluarga di surga kelak lebih indah dan damai dari rumah-rumah kami di dunia. Bismillah, biidznillah.

  • Bataranila, 01 Januari 2022 –

📷 Teras, gazebo dan halaman belakang rumah.

Sholawat dan Dzikir Jama’i sebagai media dakwah Abuya Hayat

Previous article

PERJUANGAN YANG AMBOI

Next article

You may also like

1 Comment

  1. Alhamdulillah Allohumma kamar an’amta fazid…. Aamiin

Comments are closed.