Penulis: Ning Evi Ghozaly
Beberapa pekan ini ramai postingan tentang ungkapan “balas dendam” pada guru Bimbingan Konseling oleh seseorang yang mengenakan toga di hari wisudanya. Postingan ini banyak diikuti oleh yang lain, dengan berbagai versinya.
Saya jadi teringat pada apa yang dialami anak sulung saya, sekian tahun lalu. Berkali dikecewakan bahkan dibully oleh guru BK, justru pada saat dia datang untuk mengadukan masalahnya, yang masalah itu menjadi wewenang guru BK untuk menyelesaikannya. “Begini saja kok harus diadukan ke BK. Nggak bisa menyelesaikan sendiri, Lav? Lelaki kok cemen. Yang begini juga jangan diceritakan ke orang tuamu ya”.
Duh. Dan itu bukan yang pertama lho. Kecewa? Pasti. Sedih? Tentu.
Esoknya, saya berdiskusi panjang dengan dua anak saya tentang segala hal terkait guru. Saya biarkan mereka menyampaikan seluruh uneg-unegnya, “Um, kalau jadi guru jangan begitu ya. Nanti dapat doa jelek dari semua murid lho. Sama-sama menegur, mengapa tidak memilih kalimat positif ya Um? Ini akan diingat terus kan?”.
::
Maka setelah itu, selalu saya stabilo tema tentang “kekuatan kata-kata” pada setiap kesempatan saya memberi materi seminar atau pelatihan untuk para guru. Di manapun.
Bahwa kata-kata positif akan dapat terekam dalam memori jangka panjang anak kita. Menjadi penyemangat, menjadi doa. Pun sebaliknya, kalimat negatif akan bisa terus diingat oleh anak kita. Bukan hanya bisa melukai hati, tapi sangat mungkin akan menumbuhkan kebencian, yang pada akhirnya akan membuahkan “dendam”.
::
Oh ya. Saya pernah mempelajari kurikulum BK yang saya dapat dari seorang dosen. Saya berdiskusi tentang apa saja yang diberikan pada mahasiswa jurusan BK sampai mereka wisuda.
Kemudian saya menjadi sangat maklum jika sebagian guru BK yang saya temui menganggap tugas ke-BK-an adalah seperti pemadam kebakaran. Baru bertindak setelah ada masalah. Penyelesaian masalahnya pun menggunakan acuan standar seperti yang dipelajari dalam teori.
Padahal idealnya, guru BK tuh ya harus bisa menggali minat dan bakat anak. Mengurai cita-cita, membantu memetakan tantangan yang akan dihadapi anak, dan membersamai terus sampai anak yakin dengan cita-citanya. Guru BK tak boleh berhenti memantik potensi anak, dengan menggunakan berbagai alat ukur dan program berkala.
Setahu saya, guru BK juga harus bisa menangkap sinyal adanya masalah sebelum masalah benar-benar datang. Mencegahnya agar tak terjadi dan menyelesaikannya dengan baik jika terlanjur terjadi. Untuk itu, tak hanya dibutuhkan teori dan pengalaman, tapi juga kepekaan, empati, kebesaran hati dan cinta tanpa batas.
Panduan lain? Saya teringat maqalah Arab, “Ada tiga orang yang jika mereka berbicara di hadapanmu, dengarkan mereka, jangan disela dan jangan direspons buruk: kedua orang tua, anak-anak, dan yang sedang bersedih. Sebab hati merekalah yang sesungguhnya berbicara”.
Maka guru BK harus merangkul semua anak yang dengan atau tanpa masalah. Menjadi sahabat anak, meski tentu tak harus seperti sahabat. Guru BK harus menyediakan waktu dan hati yang luas ketika anak hendak curhat. Seremeh apapun masalah yang diceritakan anak, guru BK harus menganggapnya penting.
Bonus, guru BK juga sekaligus terapis. Maka tak hanya menjadi pendengar yang baik agar anak nyaman terbuka, tapi juga berkenan berdiskusi lalu membersamai anak mencari solusi. Jika diperlukan, BK bisa melakukan tindak lanjut dengan perlakuan tertentu.
Lalu, data masing-masing anak hendaknya tersimpan rapi. Setidaknya, inilah yang dilakukan di sekolah kami, termasuk di sekolah pelosok yang saya dampingi. Guru BK harus tahu masing-masing anak dekat dengan siapa, keadaan keluarganya bagaimana, sampai kondisi psychisnya seperti apa. Agar ringan, sebaiknya guru BK harus terus berkoordinasi dengan guru kelas atau homeroom teacher, dengan pimpinan, orang tua dan pembina asrama.
::
Kapan mulainya? Pada pekan pertama mereka sampai di sekolah. Maka sebaiknya orientasi murid baru tidak diisi dengan kegiatan perploncoan, meminta mereka mengenakan kaos kaki warna berbeda kanan kiri atau menempelkan sebelas pita di jilbab dengan wajah dicoret spidol.
Jadwal yang rapi dan terarah di pekan pertama akan membuat kita mengenal anak sebelum mereka benar-benar belajar. Pada pekan pertama itu, anak-anak secara terbuka harus diberi waktu untuk menyampaikan apa cita-citanya, apa hobinya, kekurangannya, kelebihannya, masalah apa saja yang pernah dihadapi, harapannya terhadap guru, teman, dan sekolah.
Data ini dipegang guru BK dan wali kelas, terus dikembangkan dan ditindaklanjuti sehingga semua anak merasa sekolah menjadi rumah kedua mereka. Ada orang tua di sekolah tempat mereka bisa bercerita apa saja sekaligus menyembuhkan luka-luka mereka.
::
Kini, telah banyak beredar buku tentang Bimbingan Konseling di Sekolah yang ditulis oleh para pakarnya. Ada beberapa buku yang sangat detail mengurai perencanaan materi hingga tindak lanjut. Maka, selain buku paket dari kementerian, kita bisa mendapat banyak ilmu dan pengetahuan dari buku-buku tersebut. Meski tentu, yang paling penting ialah bagaimana kita bisa melakukan semuanya dengan hati, dengan cinta.
Berat? Pasti. Jadi, kalau Mas Nadiem mengatakan tugas guru lebih berat dari menteri, seratus persen benar. Apalagi guru BK kan? Maka menjadi guru BK harus kuat riyadlohnya. Karena pahalanya juga sangat banyaaaak, insyaAllah.
::
“Um, nilai IP dalem segini. Kemarin dua tulisan juga lolos. Ujian pondok sudah selesai”, Mas L mengirim WA.
Alhamdulillah. Apa yang akan panjenengan lakukan, Nak?
“Ziarah makam mbah dan kyai, mengirim WA ucapan terima kasih pada guru, wali kelas, dan guru BK”.
Alhamdulillah. Selayaknya rasa hormat pada guru tak luntur, oleh apapun. Rasa kecewa pada siapapun atas kata-kata tak enak yang pernah kita dengar dan baca ternyata bisa kita ubah menjadi ucapan terima kasih. Dan sungguh, ini jauh lebih meneduhkan. Lebih melegakan.
Anak saya telah mengajarkannya pada saya. Dan saya mulai mencobanya pekan lalu.
::
Apa kabar, guru BK?Salam ta’zhim dan sayang saya senantiasa. Terima kasih untuk telah mendidik saya dengan cinta ???
- Bataranila, 18.11.2019 –
Comments