Penulis: Ning Evi Ghozaly
“The happiness you feel is in direct proportion with the love you give”.
“Kebahagiaan yang kamu rasakan berbanding lurus dengan banyaknya cinta yang kamu berikan”.
- Oprah Winfrey –
Seorang sahabat lama mengunjungi saya beberapa hari lalu. Cerita mengalir lancar, tentang beberapa teman sekelas yang dulu sangat populer. Ada anak tokoh terkenal. Ada yang dulu kaya raya, ada yang sangat pintar dan berprestasi. Berujung pada tanya, “Apa kabar mereka sekarang ya? Dengan semua yang dimiliki, mereka pasti bahagia. Apakah saya bisa sebahagia mereka? Bagaimana agar bisa meniru kebahagiaan mereka?”
Saya hanya terseyum. Sampai dia pamit pulang, saya tak berniat menanggapi dengan jawaban apa pun.
::
Tapi hari ini, ijinkan saya menyampaikan kisah Sisyphus ya. Kisah ini ditulis oleh J. Rana yang saya baca sekian tahun lalu, dan saya contek pleg di sini.
Di suatu bagian dunia yang mati, begitu ditulis oleh Homerous dalam The Iliad dan Odyssey, ada sebuah gunung yang tinggi. Gunung yang berasal dari Yunani. Di lerengnya yang terjal dan curam, bebatu dan penuh kerikil tajam, berliku dan kelam, mudah longsor dan seram; seorang lelaki berotot kuat, berkulit liat, bermandi keringat, dengan mata membeliak dan kaki terhentak-hentak menghela sebuah batu raksasa, mendorongnya ke puncak yang runcing menusuk langit.
Ini entah sudah kali keberapa, dan tiap kali ia menyelesaikan kerjanya, batu itu menggelinding kembali ke bawah dengan mudah. Lalu, ia harus memulai dari awal; menyungkah batu itu menyusur tebing menuju puncak, terluka dan pedih, lelah dan perih, getir dan sedih; untuk kemudian batu bergegas turun, memintanya mengulang kutukannya yang abadi.
Lelaki itu, Sisyphus namanya.
Selama berabad-abad dalam peradaban Barat, nama dan kisah ini menjadi lambang perjalanan hidup manusia yang nirhasil dan tanpa makna. Lelah menyiksa sekaligus tak berguna. Harapan yang setapak-tapak sampai ke puncak, lalu sekejap sirna. Sia-sia sekaligus mengerikan.
Dalam cerita ini, sang gunung merasa menjadi yang paling tersiksa. Maka ia pun berkata, “Betapa bahagia menjadi Sisyphus yang berjalan-jalan antara kaki dan puncakku. Batapa bahagia menjadi batu yang memiliki Sisyphus untuk membantunya naik agar bisa menggelinding dengan ceria. Bagaimana dengan aku yang diinjak-injak nista oleh mereka berdua?”
Namun, sang batu juga merasa menjadi yang paling merana, “Betapa bahagia menjadi Sisyphus yang tubuhnya terlatih, kian kuat dan perkasa tiap kali mendorongku ke puncak sana. Betapa bahagia menjadi gunung yang berdiam anggun dalam rehatnya saat kami kepayahan mendakinya. Bagaimana dengan diriku yang dibawa ke atas hanya untuk terbanting kesakitan setiap waktu?”
Demikian pula Sisyphus merasa menjadi yang paling nestapa. “Betapa bahagia menjadi batu yang tiap saat harus kuhela, dan tiap jatuh harus kusangga. Betapa bahagia menjadi gunung yang besar dan perkasa, kakinya di bumi dan puncaknya di angkasa. Bagaimana dengan diriku yang tanpa jeda harus mendorong batu dan mendaki lerengnya?”
::
Bahagia adalah kata yang paling menyihir dalam hidup manusia. Jiwa merinduinya. Akal mengharapinya. Tapi kebahagiaan adalah goda dan tega. Ia bayangan yang melipir jika difikir, lari jika dicari, tak tentu jika diburu, melesat jika ditangkap, menghilang jika dihadang. Di nanar mata yang tak menjumpa bahagia, insan lain tampak lebih cerah. Di denging telinga yang tak menyimak bahagia; insan lain terdengar lebih ceria. Di gerisik hati yang tak merasa bahagia, insan lain berkilau bercahaya.
::
Maka, sungguh, tak ada panduan khusus untuk bagaimana menjadi bahagia. Meski banyak trik dan tips tersebar di sekitar kita, tetap saja tak ada yang bisa dicontek sepenuhnya.
Menjadi kaya bisa ditiru, tapi berbahagia karena harta, belum tentu. Menjadi pintar bisa dikejar, tapi berbahagia lantaran ilmu, tak ada jaminan. Menjadi terkenal bisa diupayakan, tapi berbahagia sebab nama tenar, tak dapat dipastikan.
Lalu, harus bagaimana?
Kata guru saya, dengan bersyukur. Iya, dengan bersyukur. Tentang caranya, kita sendiri yang tahu. Saya juga masih terus belajar untuk itu.
Kapan kita merasakan bahagia, di mana, mengapa dan dengan bagaimana, tentu saja tak bisa sama. Tapi yang bisa diupayakan, “Jangan membandingkan kondisi diri dengan orang lain. Nrima ing pandum saja. Nikmati apa yang telah menjadi bagian kita, apa yang sedang di hadapan kita, hasil dari ikhtiar kita”, begitu ngendikan beliau yang saya ta’dzimi.
Masih bisa bercengkrama dengan keluarga, masih bisa melihat bunga, kupu-kupu, air mengalir atau undur-undur hewan kecil yang sudah langka adalah kemewahan yang patut disyukuri. Meski mungkin kepala nyut-nyutan karena ketiban koper dan usai dibantai netizen dari negara berflower sampai harus tutup akun sepekan hahaha *curcol ini mah 😅🤭
::
Kemudian, membagi kebahagiaan pada sesama. Melakukan dan memberikan kebaikan, sekecil apapun. Menebar senyum dan cinta semampu kita. Menyapa sahabat, bertanya kabar pada tetangga. Semua gratis, kan?
“Happiness is only real when shared”
“Kebahagiaan menjadi nyata hanya jika kebahagiaan tersebut dibagikan”
- Jon Krakaur –
::
Ssst, saya hanya menulis, belum bisa menerapkan semua. Tapi saya mau kok mencobanya bersama panjenengan. Yuk, yuk. Bismillah.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”.
(Surah al-Qashash [28]:77).
- Salam senyum semangat penuh cinta dari kota Malang, 30.12.2019 –
Comments