Penulis: Ust. Rudi Hantono, S.Pd.I
Zaman dulu, guru disebut sebagai ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Sebutan itu melekat berkat dedikasi mereka terhadap dunia pendidikan. Produk yang dikeluarkan dari dunia pendidikan itulah tidak sedikit orang yang menjadi pintar, kaya, bermoral, dan bertanggungjawab. Tidak bisa dibayangkan jika dalam dunia pendidikan itu tanpa peran guru, sangat mustahil bisa mencetak sosok generasi bangsa yang berkualitas.
Dunia sudah berubah. Begitu juga dengan nasib guru. Label ”pahlawan tanpa tanda jasa” yang dulu disandang oleh guru mempunyai makna sangat mendalam. Guru berjuang bukan untuk tujuan materi. Namun, merupakan panggilan hati untuk mendidik anak terbebas dari kebodohan. Risiko perjuangan ini berdampak pada kehidupan guru dan keluarganya. Hal ini bisa kita lihat perbandingan ekonomi guru zaman now (di era sertifikasi) dan tempo doeloe (sebelum sertifikasi).
Sangat jelas bahwa di masa lalu, gaji yang diperoleh guru tidak cukup dan pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ironis, sementara orientasi guru tidak lebih hanya sekedar mengajar dan berupaya mencerdaskan anak didiknya. Karakteristik itu terlihat sangat murni. Oleh sebab itu, guru di masa lalu tidak banyak mendapat kecaman, cacian, atau bahkan kritikan. Guru masa lalu dianggap punya jiwa murni sebagai pengajar sekaligus pendidik. Sangat wajar bila dia diberi gelar ”pahlawan tanpa tanda jasa.”
Lantas, bagaimana dengan kehidupan sosok guru sekarang? Guru di era sekarang identik dengan sertifikasi. Sertifikasi merupakan program pemerintah yang berupaya meningkatkan kesejahteraan guru dengan sejumlah tunjangan. Artinya, di masa sekarang, profesi guru sangat diperhatikan oleh pemerintah. Nasib guru sudah berubah, lebih baik dibandingkan dengan zaman dulu sehingga dalam konteks ini terkadang terjadi kontroversi mengenai profesi guru..
Bagi yang kontra, profesi guru dianggap sangat sakral dan mulia. Ia tidak boleh disusupi kepentingan-kepentingan lain yang bisa menghilangkan kemuliaan profesi itu. Sebagaimana yang terjadi di desa-desa, profesi guru mengalahkan status orang-orang kaya. Guru sangat dihormati dan disegani. Walaupun tidak mempunyai harta banyak, masyarakat menempatkan mereka dalam posisi terhormat dan mulia. Bisa dikatakan, orang miskin yang dihormati dan disegani ialah seorang guru.
Di sini, paradigma masyarakat tentang profesi guru melebihi pejabat. Sebab, dari tangan guru itulah, anak-anak mereka bisa menjadi anak sukses, pintar, dan jadi orang kaya. Selain itu, profesi guru juga sebagai simbol moralitas yang berjalan. Artinya, guru itu sudah diklaim selalu mengajarkan kebaikan-kebaikan melalui perbuatannya.
Pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari” sebagai justifikasi guru yang seharusnya mencerminkan kepribadian apik terhadap anak didiknya dan masyarakat. Tidak heran apabila guru di tengah masyarakat menjadi pusat perhatian karena dianggap sebagai sosok yang bermoral. Apalagi kosa kata guru sendiri memiliki arti positif dalam bahasa Jawa, yakni “sing digugu lan sing ditiru” (yang didengar dan dicontoh).
Dengan begitu, guru masa lalu dianggap tidak memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Yang terlintas di benak mereka hanya menjadi pendidik sejati. Hal ini dikarenakan tidak adanya tunjangan fungsional dari pemerintah, sehingga memantapkan hati dan pikiran mereka untuk lebih fokus pada pengabdian pendidikan.
Berbeda setelah adanya program sertifikasi guru. Profesi guru dianggap sangat menjanjikan. Minat masyarakat, terutama lulusan perguruan tinggi, untuk menekuni profesi guru kian besar. Hal ini tidak lepas dari segudang tunjangan yang diberikan pemerintah. Bisa dikatakan, penghasilan guru bisa berlipat-lipat, yakni antara gaji pokok guru dan tunjangan-tunjangan. Hingga akhirnya, pendidikan jurusan guru dianggap memiliki masa depan jelas yang lebih menjanjikan bagi kesejahteraan.
Tentunya pemberian tunjangan itu idealnya, harus diimbangi dengan semangat pengabdian dan peningkatan kualitas dari para guru itu sendiri. Demikian juga kedisiplinan perlu ditingkatkan, di samping kejelasan sistem pengajaran.
Namun demikian, ada satu hal yang mengganjal di hati publik bahwa tunjangan profesi berupa sertifikasi cenderung telah membuat para guru berorientasi pada materi. Ini patut menjadi bahan renungan para guru. Secara naluriah, setiap orang yang hidup pasti membutuhkan materi untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya. Akan tetapi, orientasi tersebut tidak boleh menghilangkan jiwa kepahlawanan seorang guru sebagai pengabdi untuk masyarakat di bidang pendidikan karena setumpuk materi yang dikejar. Kalau orientasi ini kian menguat maka bisa menjadi problem sosial karena yang dituju guru bukanlah mengajar, tapi mencari uang.
Tidak dapat dipungkiri, program sertifikasi semata-mata berasal dari pihak pemerintah yang hendak menjadikan kualitas hidup guru bisa lebih sejahtera. Niat baik itu tidak bisa disalahkan. Yang perlu diluruskan adalah pihak-pihak yang sudah keliru memaknai tujuan itu. Pofesi guru yang dianggap pahlawan (hero) bagi masyarakat, jangan sampai berubah seiring biasnya orientasi gegara tunjangan sertifikasi.
Dengan begitu, harus terjadi keseimbangan niat antara berjuang dan mencari nafkah. Berjuang merepresentasikan bahwa guru memang benar-benar hendak menciptakan anak didiknya agar terbebas dari kebodohan dan menjadi manusia yang bermoral. Nilai ini perlu dipelihara. Sebab, kepahlawanan guru, menurut publik, terletak pada posisi ini. Orang sudah yakin bahwa dengan memasukkan anak didiknya ke dalam dunia pendidikan, baik formal maupun non formal, diharapkan dapat terbentuk manusia-manusia pintar yang utuh dan bermoral. Hal ini harus betul-betul dihayati oleh para guru, ditubuhkna ke dalam diri sebagai komitmen utama dari pilihan mereka menjadi guru.[]
Comments