Risalah Cinta Ning Evi Ghozaly

BELAJAR SABAR (1)

0

Penulis: Ning Evi Ghozaly

“Umi, si A berlaku tidak sopan tadi malam. Kencing di botol aqua, lalu diletakkan di depan kamar Ust X,” lapor pimpinan musyrif Al Ghozaly.

Saya menghela napas panjaaaang (dengan huruf ‘a’ berderet). Kesel sundul langit, tapi beberapa detik kemudian pengin letawa. Duh jian, kok ada aja tho Nak keusilan kalian ini. Mbuh kah 😅

Ananda A ini sebetulnya baik, tapi memang kadang bikin ampun. Pas orang tuanya mendaftar dua tahun lalu, hasil istikharahnya lumayan. Iya, untuk anak-anak dengan catatan amboi, saya butuh penguat sebelum memutuskan. Istikharah, bukan semata untuk menolak atau menerima titipan anak. Tapi lebih untuk mengukur saya kuat atau enggak mendidik mereka. Melibatkan Allah dalam keputusan besar, insyaAllah akan memperingan langkah. Percaya kata hati, biasanya akan lebih siap menerima resiko.

::

Saya menuju Al Ghozaly. Menyapa anak-anak dengan pertanyaan atau memberi kabar baru tentang hal yang mereka minati.

“Apa kabar futsal terakhir, Nak? Bisa nahan berapa gol, kiper idola ini ya.”

“Eh tahu info terbaru kasus Ferdi Sambo nggak?”

“Bagaiman hasil temuan kasus Kanjuruhan, Nak?”

Ananda A lewat. Mengangguk sebentar, lalu buru-buru akan beranjak. Saya mendekat. Sengaja saya tidak memanggilnya, tapi saya mendatangi. Dalam banyak upaya pendekatan, mendatangi jauh lebih baik dibanding memanggil. Komunikasi lebih efektif.

“Hai, apa kabar, Nak?” Tak menjawab, hanya menatap datar ke saya. Lalu menunduk.

“Umi mau marahin saya ya?” Enggak, Nak. Cuma mau nanya aja, apa cerita kemarin?

“Saya kesel aja. Jadi mau nyoba bikin Abi X KO, Umi.”

“Naruh air seni di botol lalu ditaruh depan kamar Ust X gitu, apa bisa menang secara fair, Nak? Kenapa nggak ngajak futsal aja, adu terbanyak masukin gol?”

“Oke Um. Wiken kita main futsal. Saya boleh nendang kakinya Ust X kan?”

Saya tertawa. Apa nendang kaki juga fair, Nak?

Tapi saya kesel, Umi. Karena bla bla bala.

::

Nah, kan. Selalu ada alasan untuk tiap perilaku anak-anak. Kadang hanya iseng, gabut, sebel, mencari perhatian, kesel bahkan benci dan dendam.

Dulu, saya sering kaget bin schok dengan tingkah amboi para lelaki remaja seperti ini. Kepala langsung cluing, ngapal ini pelanggaran aturan poin berapa ini, konsekuensinya apa itu. Kecewa iya, pengin marah iya. Tapi setelah tua, saya lebih kalem. Cie. Belajar sabar gitu.

Yang penting ajak bicara dulu ya. Dengarkan. Hindari kata seharusnya begini atau tidak boleh begitu, Nak. Wong anak-anak kita tuh sudah tahu bagaimana seharusnya. Sudah pinter memilah dan memilih mana yang baik dan tidak. Sudah tahu semua perbuatan ada konsekuensi. Tapi kadang mereka pengin coba-coba. Mau nantang abece. Jadi, begitulah.

“Saya menyesal, Umi. Saya mau minta maaf pada Ust X. Abis itu mau nebus EA dengan membersihkan kamar mandi, nyapu, ngepel…” See, dia sudah tahu bagaimana seharusnya lho.

::

Dan aha…pengumuman pagi ini, kamar ananda A menjadi kamar terbersih, paling rapi. Adzan subuh tanpa diminta, setelah itu jamaah di baris paling depan. Berangkat sekolah paling pagi. Duh manis banget, Nak. Jempol dua. Semoga istiqomah ya.

📷 Menemani anak-anak yang maunya sarapan di teras sambil cerita ngalor ngidul ðŸ˜…

TIGA BULAN YANG AMBOI

Previous article

RAIH JUARA, Al-Mabrur Unjuk Taring di Festival Hadrah

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.