TIGA BULAN YANG AMBOI
4 mins read

TIGA BULAN YANG AMBOI

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Tiga bulan ini saya kembali melakukan hal rutin yang saya mulai sejak belum menikah dan tinggal di guthe’an.

“Nuwunsewu, sebaiknya njenengan tidak keluar kota kalau selama di Bandar Lampung tidak ngopeni santri Al Ghozaly,” begitu pesan adik dan kakak berulang.

Baiklah. Setelah 25 tahun berlalu, saya kembali ngopeni anak-anak usia SMP dan SMA secara langsung. Tiap hari. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh, mendampingi mereka sarapan dan melepas mereka berangkat sekolah sambil merapal fatihah dan sholawat. Kemudian saya pulang, ke sekolah ini atau ke pesantren itu.

Sore kembali ke Al Ghozaly. Menemani mereka ngobrol apa saja atau mengerjakan tugas sekolah. Mengajar mengaji langsung dari alif ba ta sampai menyimak murojaah hapalan juz amma mereka. Biasanya bada maghrib anak SMP dan abis Isya anak SMA. Menjelaskan tentang kitab akhlaqul banin lagi. Menjlentrehkan ta’lim mutaallim lagi. Mendampingi yasin tahlil atau Al Kahfi lagi.

Memang sebulan terakhir ada tambahan musyrif, lebih ringan. Tapi saya tetap tidak bebas dari amanah harian ini. Nggak boleh lagi hanya menerima laporan. Nderek cawe-cawe langsung saben ndina rek. Benar-benar kepater haha.

Hasilnya alhamdulillah. Setelah tiga bulan, akhir Oktober 2022 ini ada 10 anak yang siap mengikuti tasmi’ di Al Ghozaly. Hapalan satu juz dan dua juz, insyaAllah biidznillah. Kami mengundang orang tua mereka untuk ikut menyimak langsung hapalan anak-anaknya, pada saat sambangan. Terima kasih ya untuk para Ustadz Ustadzah.

::

“Ngopeni anak ratusan atau ribuan bisa. Masak mendampingi anak sepuluh dua puluh mengeluh?” tegur kakak kalau saya sambat. Ya mpun.

Beragam masalah saya hadapi lagi. Sembarang kalir. Anak menyembunyikan novel porno, merokok diam-diam, kabur dan menghilang tanpa ijin, menyembunyikan hape di bawah kasur. Jian, hidup saya makin indah dan lebih berwarna lagi haha. Eh saya jadi sering menerima ucapan terima kasih lewat WA dari para orang tua. Nyaris setiap hari, usai laporan pagi di group. Jadi ngerasa sedikit bermanfaat gitu 😅

Pekan lalu saya bahkan harus keluar malam dalam kondisi flu berat. Ada tiga anak belum kembali tanpa kabar. Melewati jam malam wiken. Begitu bisa kontak, ternyata di kosan temannya.

“Ayo pulang ya, Nak. Atau mau Umi jemput?”

Sunyi. Mode pesawat. Krik krik.

“Meski tidak mau kasih alamat sedang dimana, kayaknya radar Umi bisa menemukan kalian deh.”

Buru-buru dibalas, “Kami tunggu di pinggir jalan Gunter saja, Umi.”

Pkl 12 malam teeeet mereka masuk mobil. Tegang. Bau rokok. Saya tertawa menyapa mereka, “Mau nyoba kulineran malam, Nak? Cari jagung bakar dan bandrek yuk.”

::

Benar-benar saya tidak menyinggung kesalahan mereka. Sama sekali. Ngapain, kapan, kamu dimana, dengan siapa semalam berbuat apaaaa 🎼 Ada apaaaa denganmu 🎼 Enggak nanya babar blas.

Bertahun-tahun saya melihat Ibu menghadapi kenakalan Was Wahid, membuat saya memiliki peta menghadapi anak lelaki remaja yang suka nabrak garis.

Sampai. Pkl satu, “Wudlu yuk, Nak. Sholat dua rokaat aja. Lalu boleh tidur di kamar Umi atau musholla, supaya tidak telat jamaah subuh ya.”

“Jangan beritahu orang tua kami ya, Umi. Jangan. Nanti orang tua kami sedih.”

Anak baik. Masih sayang orang tua dan tidak mau orang tuanya sedih.

::

Begitulah. Tadi pagi saya melihat anak-anak tidur usai jamaah subuh. Saya ketuk pintu kamar dan membangunkan mereka satu persatu. Mandi antri, khawatir telat. Ada satu kamar tergrendel rangkap, kapan masangnya coba. Wong setiap hari dicek lho.

Saya temukan laptop di meja, padahal tidak ada tugas dari sekolah. Hape dan laptop boleh digunakan saat wiken. Atau ketika ekskul IT dan ada tugas. Nonton apa semalam, Nak? Sampai pkl berapa? Ayo mandi ya, segera ke sekolah, Nak. Puk-puk dua kali pundaknya.

Saya ijin “meminjam” laptopnya dan keluar kamar. Sang anak memukul tembok sambil misuh. Kata-kata kotor dan kebun binatang. Saya mendengarnya jelas, tapi pura-pura nuli aja. Jangan reaktif, Vie. Sobaaaar. Tarik napas panjang, hembuskan. Fuuuuh.

Kalau dulu, saya pasti sudah mendelik kaget. Lalu mengajak ke ruang pembinaan. Sekarang enggak, santai aja. Saya hubungi orang tuanya. Mengajak kompakan untuk tidak marah, tidak menegur sekarang.

::

Entah bagaimana pas kami ketemu bada maghrib nanti. Semoga saya tak perlu menjelaskan tentang konsekuensi atau ceramah ita itu.

Fatihah saja. Sholawat. Karena saya tak punya kuasa apa-apa. Saya hanya berusaha mendidik mereka sebaik yang saya bisa, sesuai amanah orang tua mereka. Karena saya yakin, cinta dan doa lebih dahsyat pengaruhnya dari kata-kata.

Waduh, makin tua kok saya makin bijak dan baik ya. Rehan aja kalah nih haha. Mohon doa ya, Sob.
.
.

📷 Sebagian anak ganteng sholeh Al Ghozaly yang rajin sekolah dan mengaji tapi belum rajin menabung 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *