BERSYUKUR ITU BUKAN KONVOI, APALAGI MAKING LOVE
Oleh : Ustd. Nur Hidayati *)
Tiga hari yang lalu (03 Mei 2018) bukan hanya di Madrasah Aliyah Miftahul Ulum (MA MU) Bengkak, di Kabupaten Banyuwangi sampai Provinsi Jawa Timur bahkan se-Indonesia, para pelajar tingkat SMA sedang bersuka cita dengan pengumuman kelulusan ujian akhir yang ditempuhnya pada tanggal 09-12 April 2018 lalu. Hati buncah oleh rasa bahagia. Tiga tahun belajar di balik bangunan gedung sekolah tuntas sudah. Para alumni SMA bergembira ria.
Sayangnya, ada satu hal yang kurang sedap dipandang. Banyak dari mereka yang salah mengekspresikan kebahagiaan. Bukannya mensyukuri kenikmatan yang didapatkan justru berhura-hura dengan kesia-siaan. Beberapa foto yang tersebar di media sosial (medsos) selama tiga hari terakhir ini sungguh sangat miris diperlihatkan. Beberapa dari mereka ada yang mencorat-coret seragam dengan spet sambil berkonvoi, “eeh, lo liat ini gue yang sudah lulus SMA,” begitu mungkin maksud konvoi mereka. Salah satu foto yang juga viral di medsos memperlihatkan beberapa lulusan SMA dengan baju seragam “macam” serbet dilengkapi background bendera merah putih yang sudah penuh dengan coretan-coretan spet. Sungguh meresahkan.
Lebih jauh, bahkan ada yang lebih miris jika tidak mau bilang ”sudah mau kiamat”. Beberapa lulusan UNBK-SMA 2018 merayakan kelulusannya dengan making love dengan pacar atau temen-temannya. Astaghfirullah!
Jika sudah begini, siapa hendak disalahkan? Mereka yang urakan? Guru yang tak berhasil mendidik muridnya? Sekolah/madrasah yang gagal memberi output sesuai idaman? Hal ini bukan tentang siapa yang harus disalahkan, tetapi lebih dari itu, siapa yang harus sadar dan segera bangkit berbenah.
Para calon mahasiswa yang seyogyanya sudah paham betul dengan baik-buruk, salah-benar, justru berhamburan tanpa aturan dan batasan. Bisa jadi mereka yang sedang asyik justru beranggapan semua yang terjadi adalah hal lumrah, sudah setiap tahun menjadi tradisi kakak-kakak tingkat mereka.
Di sinilah, tugas seorang guru dan orangtua untuk menanamkan pemahaman bahwa alangkah baiknya jika kelulusan dirayakan dengan hal-hal bermanfaat di antaranya dengan tasyakkuran, melungsurkan baju seragam pada yang membutuhkan (dari pada dicorang-coreng tak jelas), meningkatkan quality time bersama keluarga yang sebentar lagi akan ditinggal merantau, baik demi gelar sarjana maupun bekerja.
Dan juga, peran sekolah tak kalah pentingnya dalam mengantisipasi “tradisi” salah kaprah ini supaya tak berkepanjangan. Contoh saja, beberapa sekolah/madrasah tahun ini berkomitmen untuk tidak memberikan (menahan) ijazah peserta didiknya yang terlibat geng konvoi atau pesta bebas lainnya. Lembaga diharapkan dapat mengarahkan para peserta didiknya untuk mengisi hari kelulusan dengan pembacaan doa-doa sebagai bentuk rasa syukur.
Di saat ini juga, marilah kita bersama-sama berusaha menghapus segala jenis kesia-siaan dan menggantinya dengan melakukan hal-hal bermanfaat. Keep fight! Selamat untuk para lulusan SMA 2018.
*) Penulis adalah santri aktif Asrama Putri Pondok Pesantren Miftahul Ulum.