
BIJAK BERMEDSOS
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Jika yang kau tulis di media sosialmu adalah benar dan bermanfaat, maka engkau telah berdakwah.
Materi benar dan bermanfaat insya Allah akan jadi pahala. Namun bila salah satu satu dari keduanya tak ada maka akan menjadi dosa.
Karena materi benar tapi tak bermanfaat adalah ghibah; materi bermanfaat tapi tak benar adalah fitnah,” Ust Faris membuka pembicaraan.
Wakil ketua Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur ini berkali menekankan bahwa ukuran membuat dan menyebarkan berita adalah benar dan bermanfaat.
Standar ini akan mudah dilaksanakan dengan diawali niat bermedia sosial.
“Muchlis M Hanafi dalam makalahnya Cara Cerdas Menggunakan Media Sosial Berdasarkan Petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah mengingatkan, jangan sampai media sosial menjadi sarana menyebut-nyebut amal kebaikan, sehingga terjebak dalam riya.”
Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Faqih Malang – yang sejak awal berdiri saya dipaksa menjadi Ketua Dewan Penjamin Mutunya – ini juga menyampaikan bahwa semakin banyak yang memberi komentar atau me-like status kita, rasa bangga semakin menjadi. Tak terasa amal yang tidak seberapa itu pun hilang pahalanya, “Boleh jadi niat semula sebagai syiar, tetapi sering kali batasan antara syiar dan riya sangat tipis sekali, bahkan samar-samar.”
Maka Nabi menyebutnya sebagai syirik kecil yang amat tersembunyi lagi ditakuti. Rasulullah bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ” قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” الرِّيَاءُ.
“Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik terkecil. Mereka (para sahabat) bertanya, apa itu syirik terkecil, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, riya.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, jilid 39, hal 39)
Dalam hadits lain, Abu Sa’id meriwayatkan:
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ، فَقَالَ: «أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ؟» قَالَ: قُلْنَا: بَلَى، فَقَالَ: «الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ»
“Suatu ketika Rasulullah mendatangi kami di saat sedang berdiskusi soal al-Masih al-Dajjal. Beliau bersabda, maukah kamu aku beri tahu tentang sesuatu yang paling aku takuti terjadi pada kamu melebihi al-Masih al-Dajjal? Kami menjawab, ya, tentu. Lalu beliau bersabda, itulah syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang melaksanakan salat, memperbagus salatnya karena melihat ada yang sedang memperhatikannya.” (HR. Ibnu Majah). “
::
Memang, di dunia media sosial, potensi untuk memamerkan kebaikan itu makin tinggi, “Salah satu golongan yang akan mendapatkan naungan di pada mahsyar adalah orang yang sedekah sembunyi-sembunyi, diibaratkan dengan tangan kanan sedekah, tangan kiri tidak tahu.”
Ini juga berlaku di dunia media sosial, “Sekarang bisa saja tangan kanan sedekah, tangan kiri selfi,” pungkasnya.
::
Jujur, beberapa kali saya nyengir saat wawancara dengan salah satu dosen Universitas Negeri Malang yang sejak dulu saya panggil “Dik Ustadz” ini. Serasa kesentil rek, karena cara bermedsos saya masih embuh.
Meski tiap akan membuka fesbuk saya membaca basmalah dan shalawat, tapi tak jarang saya terpancing menulis komen amboi dan kesulitan mengendalikan nafsu gelud. Haduh. Nggak apa, memperbaiki diri kan bisa bertahap ya, pelan-pelan.