Oleh: Ustadzah Nur Hidayati, S.Pd.I*)
Cinta. Hm. Ia bukanlah sebuah kesalahan. Terciptanya makhluk di muka bumi ini sebab cinta Sang Ilahi. Kelahiran umat manusia juga diawali adanya cinta kedua orangtua. Akan tetapi, kawula muda masa kini justru sering melakukan maksiat mengatasnamakan cinta. Pacaran, ber-khalwat, bahkan kebablasan making love (ML) dengan alasan cinta. Sangat disayangkan.
Dalam hal cinta, santri tak punya banyak pilihan. Hanya satu, mengembalikan cinta ke fitrahnya. Mencintai hanya pada-Nya. Mencintai pada kekasih Sang Maha Cinta. Mencintai orangtua yang begitu berharga. Mencintai hanya pada kekasih halal untuk meraih surga. Yang mampu mencintai seperti ini, dialah santri.
Banyak nian para santri yang bertemu jodoh di pesantren. Akan tetapi, yang demikian bukan berarti pesantren menjadi biro jodoh apalagi menjadi sarang pacaran. Hanya saja, para santri sangat pandai mencintai tanpa bermaksiat dengan ber-khalwat.
Bila kita ambil sample dari mereka yang berjodoh dari kalangan santri, kisahnya sungguh unik. Ada yang tak pernah kenal langsung ketemu di pelaminan sebab sang murobbi yang menjodohkan. Ada pula yang memantapkan hati untuk memantaskan diri sebab merasa senasib dan seperjuangan. Para santri putra percaya bahwa santri putri merupakan sebaik-baiknya calon istri yang mandiri. Begitupun santri putri, mereka yakin segenap hati kalau santri putra calon yang pas untuk menjadi imam demi meraih ridho ilahi.
Kemungkinan besar juga hal tersebut terjadi secara alamiah. Cinta para santri tumbuh sebab kesamaan dalam pemahaman agamanya. Merasa se-kufu dalam hal keilmuan yang dimilikinya. “Pernikahan sesama santri merupakan hal yang wajar, kebersamaan di pesantren bisa menimbulkan perasaan di antara mereka,” ungkap Abuya KH. Moh. Hayatul Ikhsan, M.Pd.I, Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum (YPP MU) Bengkak Wongsorejo Banyuwangi. Mungkin inilah maksud pepatah jawa, “witing trisna jalaran saka kulina”.
Berikut beberapa ungkapan pasangan santri (suami-istri alumni pesantren) saat ditanyakan oleh penulis. “Alhamdulillah, senada seirama. Insya Allah”. “Jodohku santri, mantab Bro!”. “Senang dan bahagia bisa tetap istiqomah mengaji setelah menikah”. Ungkapan-ungkapan penuh syukur lainnya terus terucap disertai wajah sumringah mereka.
Namun demikian, berjodoh sesama santri tidaklah menjadi jaminan bahagia. Untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah warahmah tetaplah dibutuhkan usaha, kesabaran, dan kepercayaan antara keduanya. Hanya saja, bagi seorang santri yang sudah dibekali ilmu agama, mengamalkan hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga akan lebih terasa mudah. Itulah nilai plus untuk para santri.
*) Penulis masih aktif nyantri di Asrama Putri Miftahul Ulum Bengkak Wongsorejo Banyuwangi.
Comments