TEPA SALIRA
6 mins read

TEPA SALIRA

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Dalam hidup ini… gunakan dua cermin. Satu untuk melihat kekuranganmu dan satu lagi untuk melihat kelebihan orang lain.

-Gus Mus-

Pernah nggak panjenengan mengirim pesan WA dan tak terbalas pada seseorang yang justru mengajarkan pada panjenengan agar cepat membalas WA? Ucapan salam panjenengan pun tak terjawab. Salam, assalamualaikum lho. Pernah nggak panjenengan mendapati seseorang yang kalimatnya pedes menyakiti, begitu dijelaskan tak sudi minta maaf karena merasa benar? Eh, penjelasannya kemudian justru membuat panjenengan berada di posisi yang salah. Pernah?

Saya pernah. Kejadiannya kemarin, dan tadi malam saya bertemu beliau langsung, di hadapan saya haha. Piye perasaanmu, Gaes?

Sekitar tiga menit, saya merasa sangat ilfil dan jengah tiada tara. Kok bisa, beliau yang mengajarkan banyak hal baik pada saya, kini justru menabrak semuanya?

Tapi, saya tidak mau kehilangan rasa ta’zhim pada beliau, sedikitpun. Untuk itu, saya memaksa diri menemukan alasan sebanyak mungkin agar saya bisa memaklumi yang beliau lakukan. Beliau, kakak kandung saya. Guru saya.

Ya, ada banyak orang yang saya meletakkan di atas kepala saya. Menjadi langit yang harus saya ikuti katanya, saya taati ajarannya, saya jaga perasaannya, saya tutupi kekurangannya, dan selalu saya upayakan bahagia di hadapan saya. Siapa saja? Orang tua, suami saya, guru, kakak, pimpinan, saudara, sahabat. Untuk para beliau ini, saya bahkan rela mengaku salah meski tak salah. Di hadapan beliau ini, saya bisa otomatis tersenyum menunduk ta’zhim dan membuang keinginan protes dengan ringan dan riang.

Kok bisa? Ya harus dibisain, meski awalnya sangat sowulit, sulit lit. Kalau dulu ketaatan mutlak ini diajarkan orang tua atas dasar dalil naqli dan silsilah umur, ternyata menyisakan rasa tak rela di hati saya. Tiap ada konflik, memang iya saya memilih diam, tapi tak ikhlas. Tiap ada perselisihan pasti saya memilih mengalah, tapi masih menyimpan kekesalan. Semata karena hormat dan takut kualat.

Lalu, apa yang saya dapat? Rugi aja, hati saya jadi cenut-cenut.

Nah, benar. Memang harus ada alasan lain selain dalil dan usia itu. Salah satu upaya memaksa diri agar legowo ialah dengan memahami keseluruhan kondisinya. Jenis kelamin, kepribadian, karakter, sampai masa lalunya. Ahaha, niat amat saya mengamati begini yak. Tapi ya biar lega aja lho.

Begini. Berdasarkan belahan otak dominan, orang dengan neocortex kiri memiliki “kesulitan” meminta maaf. Kemungkinan, kakak saya termasuk yang ini, kata teori sih masuk type Thingking.

Type thingking ini sangat rasional. Apa-apa ya ukurannya rasio, “Lha kan saya nggak salah. Mengapa harus minta maaf?”.

Sementara orang dengan type Feeling kayak saya, yang dominan adalah belahan Limbik Kanan, suka main perasaan, sering menilai sesuatu dengan hati sehingga sensitif memahami respons. Maka sering banget type Feeling merasa aneh ketika berhadapan dengan type Thingking, “Kok bisa ya orang sulit minta maaf gitu. Meski nggak salah, kan nggak rugi toh minta maaf?”

See? Kalau diterusin, kapan ketemunya dua orang ini? Orang Thingking sering “merasa dengan pikiran” dan orang Feeling “berpikir dengan perasaan”. Ahaha, bainas sama’ wa sumur bor. Jauh… jauh… darimu ?

Benar. Dari hanya satu poin perbedaan ini saja, saya menemukan banyak kelucuan. Yang pada akhirnya saya bisa memaklumi semua hal menyebalkan yang beliau lakukan.

Sahabat saya, Mbak Ana, yang paham type-typean pada bab ini selalu bilang, “Ning Evi ini Feeling ekstrofet. Jadi, gampang baper, tapi mudah memaafkan. Perasa, tapi penyayang. Selalu ingin membahagiakan orang lain, selalu ingin membantu orang lain agar sukses”.

Ahaha… indah banget pujiannya yak. Amboi dah. Meski saya tidak suka dengan vonis Mbak Ana ini pada saya, meski saya belum percaya seluruhnya model ukuran type manusia berdasar otak dominan, tapi saat seperti ini saya membutuhkannya agar saya rela mengalah haha… ups. Manusiawi ya, kita akan menyetujui teori yang cocok dengan hati kita. Kita senang mendengar apa yang ingin kita dengar saja, bukan yang sebenarnya keseluruhan.

Pada menit keempat, saya sudah bisa meminta maaf dengan enteng. Tertawa mengakui kesalahan dan kekonyolan diri. Memuji kebaikan dan kelebihan kakak. Mendukung semua harapannya.

“Itu namanya tepa salira, Dik. Selalu ada alasan untuk memahami perbedaan. Hingga yang ada hanya pemakluman dan pemaafan”, ngendikan kakak saya satunya, yang terkaget menyadari adik manisnya ini semakin bijak bestari ??

Ehem. Nanya Mbah Gugel. Toleransi adalah cara kita menjaga perasaan terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara kita menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita. Tepa salira adalah toleransi + tenggang rasa. Wuaaaah kereeen ini mah.

Andai ketika pilpres lalu tepa salira ini saya kedepankan, pasti saya tak pernah marah membaca kiriman pesan WA yang mengandung hoax dan ujaran kebencian. Selow aja beliau membela capres siapa dan saya mendukung capres yang mana. Wong pada akhirnya Pakdhe Jkw dan Om Prab ya berpelukan makan sate bareng, mengapa kita gelud sampai ajur?

Andai saya menggunakan dua cermin, satu untuk melihat kekurangan saya dan satunya untuk melihat kelebihan orang lain, saya akan lebih legowo mendapati orang dengan segala paket karakternya, apa adanya. Ah, ternyata sungguh, saya masih harus banyak belajar.

“Adik dan Mas sudah tiga hari tak saling bicara, Um. Kami berantem, tapi diem-dieman. Eh, tapi tenang Um, bentar lagi baikan kok,” si bungsu mengadu.

“Umy jangan banyak pikiran ya. Biarkan kami menyelesaikan masalah kami sendiri. Ini bagian dari proses kami saling memahami,” sang sulung menjelaskan dengan santai.

Saya menatap kedua lelaki hebat ini dengan takjub. Dua anak yang pernah sembilan bulan dalam rahim saya, kini jauh lebih dewasa dari emaknya. Lebih bisa menahan diri, lebih pandai mengelola emosi.

“Monggo saja, Nak. Kita hanya bertemu sebulan sekali sekarang. Umy percaya, hati kalian selalu penuh cinta. Separah apapun kalian berselisih, tetap ada tepa salira kan, sayang?”.

Lalu, keduanya memeluk saya, mencium saya. Saya menyuwuk mereka. Adik salim sungkem pada mas-nya, tapi masih diam tak bicara apapun. Ahaha, tepa salira yang unik ?

  • Malang, 25.10.2019 –

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *