IN MEMORIAM NYAI HJ. SITI ROMLAH Teladan dalam Ketegasan dan Keistiqomahan
12 mins read

IN MEMORIAM NYAI HJ. SITI ROMLAH Teladan dalam Ketegasan dan Keistiqomahan

Penulis: Ust. Rudi Hantono, S.Pd.I

Keluarga Besar Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum (YPP MU) Bengkak Wongsorejo Banyuwangi kembali diselimuti duka sangat mendalam. Setelah berapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2009, sang Pendiri dan Pengasuh I YPP MU, yakni almaghfurlah K.H. Achmad Djazari Marzuqi, wafat, kini istri beliau, Nyai Hj. Siti Romlah, berpulang ke rahmatullah. Sebuah kecelakaan yang melibatkan mobil yang beliau tumpangi pada Ahad petang (21/05/2017) menjadi sebab kembalinya beliau ke hadirat sang Khaliq. Sempat dirawat intensif selama empat hari di RS dr. Soebandi Patrang Jember, sosok yang akrab disapa Nyai Sepuh (Nyai Seppo) itu menghembuskan nafas terakhirnya pada Jumat Legi dini hari, pukul 00.30 WIB, tanggal 29 Sya’ban 1438/26 Mei 2017. Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un…

Siapa yang tak kenal Nyai Sepuh? Terutama bagi para santri dan alumni, beliau dikenal sebagai figur pengasuh yang sangat disiplin dan tegas dalam soal ibadah, khususnya shalat malam. Para santri dan alumni merasakan betapa tegas dan disiplinnya Nyai Sepuh saat mengingatkan mereka dalam soal ibadah. Selain itu, beliau juga dikenal sangat tegas, bahkan cenderung keras, bila menyangkut kebersihan, kerapian, dan keindahan lingkungan pesantren. Sejumlah pengurus yayasan, para putra, dan semua menantu beliau juga mengenang sosok almarhumah sebagai pribadi yang sangat berkomitmen dalam membantu penyiapan sarana fisik dan pendirian fasilitas bangunan di lingkungan YPP MU.

Dengan figur pribadi sedemikian, segenap keluarga besar YPP MU tentu merasa sangat kehilangan. Terutama para santri dan murid, wali murid dan wali santri, alumni, para guru, tenaga kependidikan, dan pengurus yayasan semua mengakui betapa YPP MU sangat merasa kehilangan dengan kepulangan Nyai Sepuh. Berbagai kenangan tentang beliau dari mereka yang sempat dekat semasa hidupnya itu terus bermunculan hingga menjelang momen 100 hari kewafatan yang rencananya akan dihelat di malam Jumat Wage besok, tepat pada malam hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1438/31 Agustus 2017.

Sejumlah kenangan tentang Nyai Sepuh diungkap, antara lain, oleh beberapa menantu beliau. Menurut penuturan salah satu menantu, Nyai Siti Mabruroh, beberapa waktu belakangan sebelum musibah itu terjadi, beliau tidak seperti biasanya selalu berkenan untuk ikut serta ke mana pun setiap kali para putra atau menantu berpamitan untuk bepergian. Dalam pada itu, kira-kira sebulan sebelumnya, sikap beliau terhadap para santri juga cenderung berbeda; tak seperti biasanya, beliau sesekali menyempatkan bercanda dengan para santri putri. Sehari sebelum musibah itu terjadi, beliau bahkan sempat meminta tolong beberapa santri untuk mengupas kacang tanah dan, tidak seperti biasanya, saat itu beliau turut langsung menemani mereka sambil sesekali memberi nasihat dan bercanda. Padahal, biasanya, beliau hanya menyuruh santri untuk melakukan ini-itu, lalu pergi melakukan aktivitas lain.

Penulis sendiri yang pada hari sebelum musibah sempat dipanggil ke kediaman beliau (dhalem pengasuh) untuk membantu memperbaiki beberapa alat elektronik juga memiliki sejumlah kenangan tak terlupakan.Bagi penulis, beliau adalah sosok yang penuh perhatian layaknya seorang ibu; penulis merasa dekat dengan beliau, bahkan dalam beberapa kesempatan penulis sering curhat, menyampaikan keluh-kesah, sembari memohon beliau untuk selalu mendoakan penulis.

Nyai Hj. Siti Romlah yang akrab disapa Nyai Sepuh adalah putri kedua dari K. Shobura dan Nyai Haniyah. Beliau lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat kuat memegang teguh tradisi keagamaan dan selalu istiqomah dalam mengajarkan al-Qur’an. Beliau adalah istri dari Pendiri dan Pengasuh I YPP MU, yakni almaghfurlah K.H. Achmad Djazari Marzuqi. Merujuk penuturan salah satu putra beliau, K.H. Moh. Hayatul Ikhsan, M.Pd.I yang juga Pengasuh II YPP MU, beliau merupakan sosok istri yang selalu setia menemani perjuangan sang suami dalam merintis dan memajukan YPP MU sejak awal-awal pernikahan keduanya pada tahun 1960-an. Pada saat itu, beliau yang merupakan alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo juga turut membantu sang suami mengajar dengan menjadi guru ngaji di langgar (musholla) sekaligus merangkap guru di Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Ulum (MI MU), lembaga pendidikan pertama dan satu-satunya yang ada di YPP MU kala itu.

Di mata para pengurus YPP MU, Nyai Sepuh juga dikenal sebagai sosok pengasuh yang tidak segan mengambil bagian turut serta dalam pembangunan aneka sarana fisik di lingkungan YPP MU. Sementara di kalangan santri, beliau juga diketahui terampil dalam tata busana dan juga tata boga. Dalam soal tata busana, misalnya, beliau buktikan dengan terlibat penuh dalam pembuatan seragam santri putri yang langsung beliau tangani sendiri. Di tengah-tengah berbagai kesibukan sebagai pengasuh, beliau juga masih rutin menyempatkan diri menyimak dan membimbing para santri putri dalam mengaji Al-Qur’an setiap ba’da Maghrib. Sementara dalam kenangan putra dan menantu, beliau diakui sebagai sosok yang istiqomah membaca amalan surat majemuk, yakni kumpulan 7 surah al-Qur’an, di setiap usai shalat lima waktu; beliau sering menasihati para santri, juga putra dan para menantu, untuk juga mengamalkan secara istiqomah amalan tersebut.

Nyai Umi Nadhiroh, S.Ag., salah seorang menantu, menuturkan bahwa Nyai Sepuh sangat sering menganjurkan kepada anak, menantu, para cucu, dan juga para santri untuk tidak sekali-kali meninggalkan shalat malam (Qiyamul lail, seperti shalat tahajjud, shalat hajat, dan lain-lain). Mengutip nasihat beliau, jika seseorang istiqomah melakukan shalat malam, maka hidupnya akan mulia dan bahagia dunia-akhirat. Disebutkan pula bahwa beliau sering tanpa sungkan menunjukkan sikap dhuka (marah), kalau sampai keluarga atau santri tidak mengerjakan hal itu; setiap sepertiga malam, beliau selalu menyempatkan diri membangunkan putra-putri dan cucu-cucunya serta para santri untuk melaksanakan shalat malam. “Bahkan dalam keadaan koma, usai kecelakaan itu, beliau tanpa sadar masih sempat mengingatkan kita untuk shalat malam,” ujar Nyai Umi. Diceritakan bahwa ketika koma, lewat alam bawah sadarnya, beliau mengucapkan berkali-kali apa yang biasa beliau teriakkan pada pukul tiga dini hari saat membangunkan para santri, “Ayo, jegheh, jengheh kabbi, duli abhejeng!” (Ayo, bangun, bangun semua, segera sholat!). Di samping itu, beliau juga sangat memperhatikan dan begitu peduli dengan kebersihan lingkungan pesantren. “Salah satu hal yg paling tidak disenangi oleh beliau ialah ketika lingkungan pesantren dalam keadaan kotor. Hal itu yang sering membuat beliau dhuka (bhs. Madura: marah besar) kepada para santri, bahkan juga kepada para guru dan putra-putrinya,” cerita Nyai Umi, mengenang.

Sementara itu, menantu Nyai Sepuh yang lain, Nyai Hj. Nur Mahmudah, S.Ag. juga menuturkan bahwa beliau selalu tegas dalam mendidik para santri untuk secara istiqomah melaksanakan shalat jama’ah, tahajjud, dan dhuha sebagai bekal mereka kelak ketika kembali ke masyarakat. “Bahkan cucu-cucu beliau sudah dilatih shalat berjama’ah sejak dini; beliau sangat dhuka jika ada cucu beliau yang diketahui tidak shalat lima waktu berjama’ah di masjid,” kenang Mik Nung, panggilan akrab Nyai Hj. Nur Mahmudah. Selain itu, mengutip Mik Nung, beliau juga selalu menekankan kepada para santri untuk selalu menjaga kesucian dan kebersihan lingkungan pesantren. Lebih dari itu, beliau dikenal sangat suka berkorban demi kemaslahatan YPP MU, misalnya dalam membantu pembangunan sarana fisik pesantren. “Beliau juga dikenal tegas dalam mengambil keputusan, khususnya terkait pengembangan pesantren,” imbuh Mik Nung dengan mata berkaca-kaca.

Kenangan tentang Nyai Sepuh yang menarik untuk diteladani juga datang dari para alumni dan simpatisan YPP MU. Menurut penuturan beberapa alumni dan simpatisan, beliau merupakan sosok yang sangat disiplin dalam segala hal. Beliau sangat peduli dan memperhatikan semua prilaku keseharian santri, mulai dari hal-hal sangat kecil hingga hal-hal terkait ‘ubudiyah. “Bahkan Nyai Sepuh begitu telaten mengajari kami banyak hal, mulai dari cara berpakaian yang menutup aurat, cara memasak, dan juga cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mengaplikasikan hadis nabi Annadhofatu minal iman (kebersihan itu adalah sebagian dari iman) dalam kehidupan sehari-hari,” tutur seorang alumni.

Menyangkut pentingnya kebersihan, seorang santri yang juga pengurus asrama santri banat (putri) menuturkan bahwa satu pesan yang tidak pernah ia lupa hingga kini ialah pesan beliau “Jek agendu’en najis, oreng se agendhu’ najis, maksiat, jeuh deri kabegusen” (jangan suka membiarkan najis pada badan dan pakaian kita, itu berarti melakukan maksiat dan itu bakal membuat kita jauh dari kebaikan). “Begitulah yang selalu beliau sampaikan tiap kali kami lalai menjaga kebersihan dan kesucian. Hingga kini pesan itu tidak pernah lepas dari ingatan saya, bahkan selalu jadi pedoman dalam tiap langkah dan ubudiyah saya,” ucapnya saat penulis wawancarai.

Beberapa santri juga mengungkapkan bahwa Nyai Sepuh itu “wonder women”, figur pengasuh terbaik dan terhebat yang pernah mereka kenal. Menurut mereka, beliau melihat dan memikirkan kebaikan santrinya, keluarganya, bahkan masyarakat sekitar dalam segala aspek. Mereka mengakui, yang paling membuat mereka terkenang ialah teladan beliau menyangkut kebersihan lingkungan karena menurut beliau itu pertanda kebersihan hati. Selain itu, kata mereka, yang juga membuat takjub ialah kegigihan beliau dalam mendidik akhlak para santri, bahkan sering kali beliau berkenan mengontrol langsung kegiatan santri tanpa kenal lelah.

Menyimak seluruh penuturan santri, alumni, simpatisan, juga putra dan menantu tentang Nyai Sepuh, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat setidaknya dua hal terpenting dalam diri beliau yang patut kita teladani. Pertama, karakter penyayang. Melihat kepedulian Nyai Sepuh terhadap para santri dapatlah dikatakan bahwa beliau tiada duanya dalam menyayangi santri-santrinya. Banyak alumni dan santri, terutama yang dekat dan mengenal baik sosok beliau, mengatakan bahwa sepintas beliau itu pemarah, tetapi jika dicermati lebih jauh sebenarnya tidak. Ketika ada santri yang terlambat pengajian ba’da shubuh, misalnya, atau ketika ada sampah yang berserakan tak terurus, biasanya beliau langsung dhuka. Sejatinya, itu cuma cara beliau mengekspresikan kepedulian dan kasih-sayang terhadap para santri. Dalam sejumlah kesempatan beliau kerap menyatakan bahwa beliau sengaja marah semata-mata karena sayang; beliau sangat menyayangi para santri dan sangat menginginkan mereka menjadi insan yang baik, berakhlaq dan sukses menjalani hidup.

Hal kedua dalam diri Nyai Sepuh yang patut diteladani ialah keteguhan beliau memegang prinsip. Semua yang mengenal beliau mengakui bahwa beliau terkenal sangat teguh dalam berprinsip; setiap hal yang menjadi dawuh dan keputusan beliau selalu beliau jalankan dengan konsisten. Demikian juga dalam mendidik keluarga dan para santri, beliau dikenal tegas dan tidak kenal kompromi bila menyangkut hal prinsip yang sudah beliau yakini benar. Dalam satu kesempatan, penulis pernah mendengar beliau berujar tegas, “Adidik santri teka’a sakonek tak apa, se penting atorok ocak, ikhlas ben sabber ebelei, etimbang santri benyak tape tak atorok ocak, tak endek ebelei” (mendidik santri yang ikhlas dan sabar menerima arahan, sekalipun jumlahnya sedikit, itu lebih baik dari pada mengajari banyak santri, tetapi tidak menggubris nasihat).

Nyai Sepuh memang sosok figur yang sangat luar biasa, menampak dalam sikap kesehariannya mendidik dan membentuk karakter santri, terutama soal kedisiplinan dan kepeduliannya terhadap kerapian atau kebersihan. Bagi penulis sendiri, beliau adalah murobbi sekaligus orangtua yang selalu setia membimbing serta mengantarkan penulis agar tetap semangat dalam menjalankan kehidupan di tengah masyarakat. Beliau adalah sosok yang sangat berjasa yang bahkan pernah berkenan serius membantu memilihkan jodoh bagi penulis. Tidak hanya pada penulis, beliau memang sering berkenan pula membantu mencarikan jodoh bagi santri-santri lain yang dinilai sudah cukup usia untuk menikah. Ini juga sisi lain dari cara beliau mengungkapkan rasa kasih dan sayang kepada para santri.

Kini, Nyai Sepuh telah berpulang, menyusul sang suami tercinta, K.H. Achmad Djazari Marzuqi. Beliau berdua telah mewariskan sebuah amanah besar untuk terus kita rawat dan kembangkan, yakni YPP MU. Semoga Allah SWT memudahkan jalan kita untuk mengembangkan amanah besar tersebut sehingga senantiasa bisa memberi manfaat bagi masyarakat sekaligus menjadi amal jariyah tiada putus bagi beliau berdua.

Demikianlah, Nyai Sepuh telah kembali menemui sang Khaliq dan malam Jumat besok adalah momen peringatan 100 hari kewafatan beliau. Teriring doa untuk beliau, mudah-mudahan Allah SWT mengampuni semua dosa dan menerima semua amal ibadahnya. Kita juga berbesar harap mudah-mudahan seluruh keluarga besar YPP MU, kita semua, mampu meneladani kiprah beliau dalam berjuang membesarkan pesantren ini serta selalu sabar, istiqomah, dan ikhlas dalam mendidik dan mengayomi santri, alumni, dan masyarakat sebagaimana yang beliau contohkan. Aamiin…[]

*) Guru Madrasah Diniyah YPP MU
dan Sekretaris Umum IKSSAMU
(Ikatan Silaturrahim Santri dan Alumni Miftahul Ulum)

2 thoughts on “IN MEMORIAM NYAI HJ. SITI ROMLAH Teladan dalam Ketegasan dan Keistiqomahan

Comments are closed.