Jadilah Santri Marfu’atul Asmai
5 mins read

Jadilah Santri Marfu’atul Asmai

Oleh: Abuya KH. Moh. Hayatul Ikhsan, M.Pd.I

Dalam kajian ilmu Nahwu atau gramatika Bahasa Arab, kalimat isim dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, mansubatul asmai yaitu isim-isim yang dibaca nasab. Kedua, mahfudhatul asmai artinya isim-isim yang dibaca jar. Terakhir, yang ketiga adalah marfu’atil asmai yaitu isim-isim yang dibaca rafa’.

Dalam bahasa Indonesia, rafa berarti tinggi atau kesuksesan. Di antara isim yang di-rafa’-kan tersebut terdapat beberapa yang memiliki kedudukan penting. Mubtada’, isim yang berada di awal kalimat. Khobar, isim yang dibaca rafa’ dan terletak setelah mubtada’. Adapula Fail, subjek atau pelaku dan Naib fa’il atau pengganti fail. Kemudian ada juga namanya Tawabi’, isim yang mengikuti dan mendukung isim-isim yang di-rafa’-kan.

Jika dianalogikan dalam kehidupan, mubtada’ artinya pelopor, inisiator, atau yang selalu terdepan. Jika seseorang atau santri ingin menjadi manusia yang sukses, jaya, dan Bahagia maka jadilah pelopor dan inisiator dalam kebaikan yang dapat menginspirasi banyak orang.

Kemudian khobar berarti berita atau informasi. Kuasai berita dan informasi sebab hal ini dapat melahirkan wawasan yang luas. Dengan wawasan yang luas dan mendalam, seseorang dapat menguasai keadaan dan dunia di sekelilingnya.

Fail, artinya pelaku atau pembuat sejarah. Sebagai seorang santri tidaklah patut hanya berdiam diri dan berpangku tangan saja. Sekurang-kurangnya santri patut berpartisipasi aktif dalam membentuk sejarah peradaban untuk kemajuan masa depan.

Selanjutnya adapula Naib fa’il posisinya sebagai pengganti fail. Jika para guru atau masyayikh telah tiada, uzur, atau telah meninggal maka santri haruslah mampu menjadi pengganti yang baik. Lanjutkan perjuangan dari para pendahulu untuk terus menebar kebaikan sepanjang masa hingga akan tiba waktu datangnya pengganti berikutnya.

Lalu Tawabi secara gramatika Arab artinya isim-isim yang mengikuti isim yang di-rafa’-kan, singkatnya adalah ikut atau mengikuti. Manakala seorang santri tidak mampu menjadi mubtada’, khobar, atau fa’il setidaknya harus tetap berada di garis lurus mengikuti para pendahulunya dalam hal kebaikan dan ketaatan. Dengan demikian diharapkan nantinya akan mampu mengantarkan pada tingkatan rafa’, yakni posisi tertinggi dalam kesuksesan dan kemuliaan di dunia hingga akhirat.

Perjuangan dan pengabdian yang dianalogikan dengan marfu’atul asmai  ini bukan hanya sekadar berlaku dalam hal agama, tetapi juga untuk bangsa dan negara. Hal ini menjadi salah satu kewajiban bagi santri untuk mengambil perannya dalam mencipta generasi yang berakhlak sekaligus berjiwa nasionalis sejati.

Mengabdi untuk agama dapat diwujudkan dengan pemahaman dan mengamalkan kebaikan sesuai ajaran syariat Islam sebaik-baiknya. Seyogyanya, seorang santri dapat dijadikan teladan dalam perilaku dan akhlaknya serta aktif menyebar dakwah untuk membawa kebaikan bagi masyarakat di sekitarnya.

Sementara itu, mengabdi pada bangsa dan negara dapat diwujudkan dalam bentuk kontribusi secara langsung ikut serta dalam pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Santri merupakan icon dari persatuan dan kesatuan tanpa memandang perbedaan. Selain itu, sebagai generasi berilmu wajib bagi santri untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kecintaan terhadap tanah air. Begitulah akhirnya santri dapat menjadi agent of change yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.

Penjabaran tersebut merupakan pesan dari Abuya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani, “Kita selamanya adalah santri. Maka dari itu, jadilah santri-santri marfu’atul asmai yang menjadi pelopor kebaikan, menguasai informasi, pelaku sejarah, dan senantiasa siap berjuang demi agama, bangsa, dan negara.” Mari terus wujudkan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh para pendahulu serta berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Selain Abuya, Abina KH. M. Ihya’ Ulumiddin juga merinci lima huruf hijaiyah yang membentuk kata santri. S (س), سالك إلى الآخرة bertujuan menuju akhirat. Akhirat selalu menjadi tujuan utama dan satu-satunya prioritas di atas semua kepentingan. N (ن), نائب عن المشايخ sebagai pengganti atau penerus perjuangan para ulama untuk melanjutkan dakwah dan mengajak pada kebaikan. T (ت), تارك عن المعاصى meninggalkan kemaksiatan atas dasar takut melanggar larangan Allah. R (ر), راغب فى الخيرات gemar melakukan kebaikan karena ketaatan bukan sekadar riya dan gila pujian. I (ي), يرجوالسلامة فى الدين والدنيا والآخرة senantiasa berharap untuk keselamatan dalam agama, dunia, dan akhiratnya. Inilah lima simbol yang tidak boleh dilupakan dan harus selalu melekat dalam diri seorang santri (سنتري).

Di sisi lain jika kata santri dapat diurai dengan huruf latin sebagaimana berikut; S (salik) artinya orang yang mempelajari ilmu dengan memperdalam spiritualitas untuk berjalan menuju Allah, A (ahlul) ilmi yang memiliki keahlian dalam bidang keagamaan, N (nadzir) seorang pengawas yang menjaga dirinya sendiri dan lingkungan sekitar darihal-hal negatif atau kemaksiatan, T (taalib) sebagai pencari ilmu yang senantiasa giat belajar dan meningkatkan pengetahuan, R (rabbani) orang berilmu yang mengamalkan ilmunya untuk meraih keridaan Tuhan dalam kehidupan sehari-harinya, dan I (ilmiah) berorientasi pada ilmu pengetahuan yang sistematis dari sumber-sumber yang sohih.

Dari semua uraian di atas menekankan bahwa peran santri bukan hanya sebatas belajar, tetapi juga harusmampu mengamalkan ajaran agama, memiliki komitmen kuat untuk senantiasa menebar kebaikan di mana saja serta ikut berperan aktif bersama masyarakat sekitar untuk kemajuan di masa depan. (Miful/AHy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *