Penulis: Ahmad Wadud al-Umam*
Ilmu menjadi landasan penting dalam menjalani kehidupan. Seseorang yang hidup tanpa dibekali ilmu, akan tergilas zaman seiring cepatnya roda yang berputar. Ilmu sebagai penerang dalam kegelapan, menuntun si empunya mencapai segala hal yang diinginkan tak terkecuali keluhuran dan kemuliaan. Kemuliaan itu dipahat dengan segala upaya, kemuliaan itu juga hanya teruntuk para pemberani yang bersedia menelusuri kegelapan di dalam ketidaktahuan. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya bahwa setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan mendapat kewajiban untuk belajar dan menuntut ilmu.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim pada sub-bab fashl: fii mahiyatil ‘ilm wal fiqh wa fadhlih karya Imam Az-Zarnuji, Rasulullah SAW bersabda:
“طلبُ العلمِ فريضةٌ على كلِّ مسلمٍ و مسلمةٍ”
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib hukumnya atas setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Urgensi ilmu perlu dipahami betul, mengingat ilmu tidak hanya sebagai kewajiban semata, tetapi juga sebagai faktor paling fundamental dalam meraih kemuliaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Kemuliaan yang Allah janjikan bagi setiap hambanya yang mau bersusah payah menggeluti dan menuntut ilmu-Nya, termaktub dalam hadis Rasulullah SAW
“ومن سَلكَ طريقاً يَلتمسُ فيه عِلماً سَهَّلَ اللهُ له به طريقًا إلى الجنّةِ”
Artinya: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah SWT akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim no. 2699).
Namun di zaman ini, masih banyak kita temui orang-orang yang tidak memahami dengan betul spirit daripada pentingnya “Tholabul Ilmi”. Tanpa bersusah payah menuntut ilmu tetapi ingin mendapatkan kemuliaan hidup secara instan. Sebagian mereka begitu mengandalkan nasab (keturunan) dari ayah dan kakek buyutnya. Anggapannya, kemuliaan orang tua akan terus mengiringinya hingga akhir sehingga tak perlu bersusah payah menuntut substansi ilmu untuk meraih kemuliaan tersebut. “Untuk apa harus memeras keringat mencari ilmu bila kemuliaan itu sendiri sudah ada dalam genggaman sedari awal?”. Begitu kiranya yang sering kita dengar dari mereka yang sudah digandrungi kehormatan dan kemuliaan sejak lahir. Hal ini jelas tidak sejalan dengan maqolah Sayyid Ali bin Abi Thalib mengatakan,
“ليسَ الفتَى مَن يقُولُ هذَا أبِي لكِنَّ الفتَى مَن يقُولُ هأنَاذَا”
“Bukanlah seorang pemuda yang berkata inilah ayahku, tetapi pemuda itu yang berkata inilah aku”
Perlu ditegaskan bahwa kemuliaan yang didapat dari nasab keturunan orang tua atau kakek buyutnya tidaklah akan bertahan lama. Mengapa demikian? Karena dikala mereka wafat, maka secara otomatis kemuliaan mereka akan dibawanya ke dalam liang lahat. Lantas kemudian bagaimana nasib anak dan cucunya yang mengandalkan kemuliaan orang tua atau kakek buyutnya? Jelas kemuliaan itu tak lagi dapat ia peroleh bila ia tak memiliki ilmu yang mencukupi sebagaimana pendahulunya, ia tak akan mendapatkan kemuliaan yang serupa. Dari sinilah peran kesungguhan benar-benar dirasa penting dalam menuntut ilmu, karena kemuliaan hidup akan dapat diperolehnya. Hal ini sesuai dengan syair dalam Kitab Ta’limul Muta’allim yang berbunyi,
بجِدٍّ لا بجَدٍّ كُلَّ مَجْدٍ # فهَلْ جَدٌّ بلا جِدٍّ بِمُجْدٍ
“setiap kemuliaan itu diraih berkat kesungguhan bukan disebabkan nasab keturunan kakek buyut # maka apakah dahulu kakek buyutmu memperoleh kemuliaan tanpa sungguh-sungguh?”
Dari syair tersebut sangat jelas menyampaikan kesungguhan dalam mencari ilmu tidak bisa dianggap remeh. Orang-orang terdahulu bisa menjadi sangat mulia di mata Allah SWT dan manusia disebabkan kesungguhannya di masa lalu dalam menuntut ilmu. Sehingga, dengan kesungguhannya ia mendapatkan ilmu yang melimpah meliputi barokah dan manfaatnya. Sudah seyogyanya kita sebagai hamba Allah SWT yang taat, sungguh rasanya tidak cukup jika hanya sekedar merealisasikan kewajiban thalabul ilmi semata tanpa memedulikan kesungguhan dalam menuntutnya. Tanpa kesungguhan, thalabul ilmi hanyalah sekedar aktivitas mencari ilmu belaka, sehingga keberkahan dan kemuliaan tidak akan benar-benar diperolehnya secara nyata.
Refleksi
Ikhtiar kesungguhan dalam menuntut ilmu adalah satu peranan penting dalam memperoleh kemuliaan itu sendiri. Antara kesungguhan dan ilmu menjadi dua hal yang saling bertalian, integral (tak terpisahkan). Ilmu tanpa kesungguhan adalah kebodohan, sedangkan kesungguhan tanpa ilmu adalah kesia-sian.
Mengutip dari Imam Malik semasa hidupnya pernah berkata, “bukan ilmu yang sepatutnya mendatangimu tetapi kalianlah yang sepatutnya mendatangi ilmu.” Hal ini mengindikasikan bahwa kesungguhan saat mencari ilmu dalam pandangan Imam Malik sebagai sebuah keharusan untuk tercapainya ilmu yang berkah dan manfaat yang nantinya akan menempatkan pencarinya pada posisi paling tinggi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ilmulah yang akan mengantarkanmu pada kemuliaan bukan oleh nasab keturunan. Oleh karena itu, perlu dimengerti bahwa tidak cukup bilamana hanya bangga dengan nasab yang dimiliki, tapi juga harus betul-betul berupaya agar berilmu sehingga dengannya Allah SWT berkenan menganugerahi kita kehidupan yang baik. Maka sempurnakanlah kemuliaan itu dengan kesungguhan dalam menuntutnya.
*Alumnus MI Miftahul Ulum Bengkak; Mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakulta Ushuluddin PTIQ Jakarta
Comments