Penulis: Ning Evi Ghozaly
Pernahkah panjenengan berbeda pendapat dengan anak kandung untuk urusan yang kita anggap prinsip? Pernahkah panjenengan berbeda jalan dengan anak, dalam hal yang kita anggap sangat penting?
Ibu dan Bapak saya pernah. Kakak saya, Mas Wahid Ghozaly pernah jauh berjalan hingga kesasar. Pencarian jati diri, membawa Mas Wahid pergi ke banyak tempat, pada beragam pemikiran dan ideologi. Hingga bukan saja Mas Wahid yang menuai tuduhan sesat, tapi bahkan kami sekeluarga harus menerima hujatan, “Yak apa seh cara didiknya. Bapak ibunya bagus, kok anaknya sampai mblenyong begitu?”
Sayapun, saat-saat itu, merasa sangat jengkel pada Mas Wahid. Menganggap dia telah menodai nama baik keluarga. Saya bukan hanya menyangka, tapi fix, saya pernah menyematkan kata perusak tradisi beragama pada kakak diatas saya pas ini.
Sungguh, bertahun-tahun itu adalah masa yang berat buat kami. Bukan saja kami harus menghadapi gunjingan orang jauh, tapi juga pertanyaan dari keluarga dekat.
::
Apa yang dilakukan Abah, bapak saya dan Umi, ibu saya saat itu?
Memarahi kakak saya? Enggak. Alih-alih membenci, ibu bapak saya justru merangkul Mas Wahid lebih erat. Menghujani perhatian dan menderaskan doa setiap saat. Tak henti.
Saya ingat betul kisah ini, yang belakangan sering diceritakan Mas Wahid saat berceramah, hingga menjelang wafatnya. Kisah saat dia masih berseragam putih biru, dengan kenakalannya yang amboi tralala. Setiap hari, usai terpaksa ikut menyimak Abah mengaji kitab, dia plencing ke luar rumah. Menuju teman genk-nya yang pasti sudah menunggu. Sarung dilepas, kopyah dilempar. Ganti celana sobek di lutut, hem dilinting. Begadang semalaman, mengamen, lalu ngopi dan ngobrol ngalor ngidul.
Menjelang subuh, saat Umi masih wirid usai berkali sujud, diam-diam Mas Wahid saya membuka pintu, mundhuk-mundhuk. Dengan lembut Umi menyapa, “Eh anakku sudah bangun. Pasti mau sholat tahajud juga ya. Monggo sini, sholat barengan nggih. Kalau lelah, tidur mriki, Nak. Supaya umi bisa mijiti panjenengan”.
Padahal Umi tahu Mas Wahid dari mana dan mau kemana, “Dua rakaat saja, sudah dahsyat lho Nak. Doa kita menjelang fajar, lebih baik dari seisi bumi. Monggo yuk”.
Bagaimana mungkin Mas Wahid menolak ajakan penuh cinta dari perempuan agung yang dari rahim garbanya, kami bersembilan lahir tanpa bantuan dokter kandungan? Bagaimana mampu Mas Wahid menolak tawaran merebahkan kepala di pangkuan perempuan mulia yang penuh kasih?
Dua rakaat saja. Kemudian Umi merapal lafal terindah sambil sesekali meniupkan suwuk pada kening Mas Wahid. Membaluri sekujur tubuh Mas Wahid dengan doa, sambil memijit bahu dan kepalanya dengan telapak tangan yang agak kasar karena sekian tahun tak henti melayani kami dengan memasak, mencuci, mengepel dan melakukan semua pekerjaan rumah.
Ah. Saya menangis ketika menuliskan ini π’
::
Selanjutnya, cerita yang juga berkali disampaikan kakak pada beberapa kesempatan. Suatu saat Mas Wahid main bola bersama teman-teman. Bola tertendang masuk halaman orang, menyenggol kaca jendela. Saat mengambil bola, salah satu teman ditampar pemilik rumah. Mengadu. Mas Wahid pulang, mengambil pisau.
Adu mulut, Mas Wahid menikam punggung pemilik rumah. Rasa setia kawannya memang sundul langit. Mas Wahid bisa mengorbankan diri untuk yang dianggap perlu dibela. Selalu, seumur hidupnya.
Dilaporkan polisi. Abah tegas ngendikan, “Monggo jika anak kami harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saya tak akan membela”.
Umi hanya mengintip dari balik horden ruang tamu. Terisak tanpa suara. Terburu mengambil wudlu, mengenakan mukena, lalu sujud meluapkan tangis.
“Allah, terima kasih untuk telah menganugrahkan anak-anak yang baik pada kami. Kuatkan kami agar dapat melaksanakan amanah, mendidik mereka sebagaimana seharusnya. Tapi ijinkan kami mengeluh hari ini ya Allah. Anak kami melakukan tindakan yang kami yakin dalam kehendakMU. Maka tolong, luaskan hati kami untuk tetap menerima apapun kondisinya. Beri petunjuk kami ya Allah, bagaimana menghadapi peristiwa ini. Beri hidayah Gusti, agar anak kami menjadi bermanfaat untuk sesama”.
Saya mendengar jelas doa yang dirapal dalam bahasa Jawa halus itu. Ya, saya berada di belakang Umi, duduk terpekur menahan air mata, meletakkan kepala pada lutut yang saya tangkup dengan kedua tangan. Saya malu. Bermaksud mengadu agar Umi memarahi Mas Wahid, tapi yang saya dengar justru doa Umi yang mengguncang hati. Saya lungkrah.
Kejadian ini menjadi salah satu pemicu Mas Wahid sadar. Sekian tahun kemudian, Mas Wahid justru menjadi mitra kepolisian. Rutin mengisi pengajian untuk para perwira berseragam coklat, mendirikan dan membina pondok pesantren dalam Lapas, dan keliling mendidik anak-anak jalanan. Saya yakin, ini karena ridla Allah. Karena doa-doa Umi.
Kemudian Mas Wahid meninggalkan rumah, mukim di pondok pesantren Karang Ploso. Cerita ini jadi bagian tersendiri ya. Kapan-kapan saya lanjutkan, insyaAllah. Unik, sangat menarik buat saya. Menjadi contoh buat saya mendidik dua anak lelaki remaja.
::
Pernah saya bertanya pada Umi,”Dospundi perasaan Umi setiap mendengar Mas Wahid melakukan kesalahan. Dospundi perasaan Umi ketika Mas Wahid dihujat banyak orang?”
Umi balik bertanya, “Kalau panjenengan, dospundi, Nak?”
Saya menjawab lirih, “Sedih”.
“Sama, Nak. Perasaan Umi juga remuk. Mungkin bedanya, kalian saudara Mas Wahid, sedih bercampur benci. Tapi Umi, sedihnya sedikit saja. Ada setitik kasihan karena Mas Wahid sendirian menempuh jalannya, sendirian menghadapi semua masalahnya. Tapi jauh lebih banyak rasa sayang Umi, Nak”.
Saya tercekat. Lamaπ’
::
Setelah Mas Wahid lebih dewasa, dia kembali mengambil jalan berbeda. Mengaji pada banyak guru dengan bermacam latar belakang. Membaca beragam literatur dan sumber entah apa dari mana. Kakak tercinta ini berganti jenis pakaian mulai celana cingkrang sampai gamis putih dan udeng melambai.
“Yang penting syahadatnya sama, masih istiqomah sholat, masih mau yasin dan tahlil. Jangan dibenci kakakmu nggih, Nak. Jangan menyimpan prasangka. Doakan saja. Setiap usai sholat, setiap ingat dia, bacakan fatihah dan sholawat nggih”.
Selalu itu yang dikatakan Umi pada kami, pada saya. Wajah teduh dan mata penuh kasih Umi tak pernah berubah. Intonasi kalimatnya selalu sama, hingga kami tak pernah tahu kapan Umi sedih dan marah. Selalu tenang. Tanpa gelombang.
Abah lebih tegas, “Mas Wahid itu hanya sedang mengambil jalan kiri, kadang juga lewat kanan. Tapi tujuan kita sama kok. Jarno wae sak kemenge. Disenyumi aja. Nanti lak ya mbalik. Masak sih doa dan tirakat kita sekeluarga nggak dikabulkan Gusti Allah”.
Kadang saya protes. Karena saya juga tukang ngluyur, jadi bisaaa aja mendengar komentar orang.
“Kita merasa benar boleh, Nduk. Tapi belum tentu di mata Allah kakakmu salah. Jika kita bisa benar, suatu saat kita bisa salah. Jika orang lain salah, ada kalanya juga benar. Wis rasah ngotot. Yang paling benar siapa, yang tahu hanya Gusti Allah”.
::
Saya yakin Abah dan Umi juga jedug-jedug, tapi yang nampak ya hanya sikap adem itu.
Apa yang harus kita katakan atas pendapat orang lain, Umi?
“Diam, Nak. Semakin kita bersuara, bisa jadi akan salah. Dan sangat mungkin akan menyakiti liyan, kakakmu, atau orang lain”.
Tapi kita dicaci, Abah. Kita dimaki.
“Ya nggak papa tho, Nduk. Dosa kita berkurang kalau sabar. Kalau sabar terus, pahala orang yang menggunjing dan memaki akan diberikan ke kita. Nah, udah dosa kita berkurang, pahala kita makin banyak kan”, Abah ngendikan sambil tertawa.
::
Begitulah, Gaes. Saya pernah berjanji menuliskan sebagian pola asuh Abah dan Umi, Bapak dan Ibu saya pada Mas Wahid kan? Sudah banyak yang nagih. Dan ini, janji saya sudah saya tepati lho, ya. Masih bersambung sih, kapan-kapan kalau sempat saya tulis ya. Utamanya, ini akan jadi contoh untuk saya dan anak-anak kami.
Agar kami tak mudah berprasangka, tak gampang mencaci dan tak ringan menuduh ketika berbeda. Meski pada darah daging sendiri, apalagi pada orang lain yang membuat kita akan sulit meminta maaf. Doakan saja terus, terus. Karena akhir hidup manusia tak ada yang tahu ya. Yang kita minta adalah husnul khatimah. Dan itu, bisa kita raih dengan ridla orang tua, doa ayah ibu, kerelaan semua orang. InsyaAllah.
::
Ohya, ini masih tentang Mas Wahid ya, orang biasa, bukan siapa-siapa. Saya membayangkan bagaimana perasaan orang terdekat para guru mulia. Gus Ulil Absar Abdalla misalnya, yang hingga hari ini, ada yang masih menuduh dan memaki sebagai tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal). Ada juga Gus Dur, yang sangat sering dicaci dan dihujat karena beberapa pemikirannya yang berbeda.
Saya pernah bertanya juga pada Ning Ienas Tsuraya, istri tercinta Gus Ulil, “Bagaimana rasanya terus menerima tuduhan Gus Ulil sebagai tokoh JIL. Meski yang kita tahu Gus Ulil saat ini justru sangat nyufi?”
Saya juga pernah bertanya pada Ning Alissa Wahid, putri Gus Dur, “Tidakkah ada keinginan untuk tabayyun ketika Gus Dur dihujat kanan kiri untuk beberapa sikap yang dianggap berbeda?”
Jawabannya, kapan-kapan ya Gaes. Saya akan menuliskan nanti, insyaAllah. Mpun, yang penting kita menjauhkan hati dari prasangka ya. Tidak sepakat boleh, tapi jangan memaki tho. Banyak membaca, agar kita tak sembarang menuduh. Nanti panjenengan getun lho π
.
- Bandar Lampung, 28 Juli 2020 –
Foto: Kami bersama dua buah hati yang mulai beranjak dewasa. Terkadang kami juga berbeda pendapat. Sudah 5 bulan kami tak bertemu karena pandemi. Rindu, sangat. Doakan kami ya πππ
Comments