Kita ini Musafir bukan Pemukim
2 mins read

Kita ini Musafir bukan Pemukim

Oleh: Moh. Syadili*)

Suatu malam yang dipenuhi ketenangan, saya masih berada di teras rumah sembari meneguk secangkir kopi panas di temani beberapa buku yang mengkaji tentang apa itu hidup? Untuk apa kita hidup? dan kemana kita setelah hidup?

Sembari membaca dengan penuh khidmat, tiba-tiba pandangan saya tertuju pada satu bait pepatah Jawa yang bertuliskan “urip mung mampir ngombe” artinya hidup hanya mampir untuk minum. Dari satu bait itu, bacaan saya terhenti sejenak untuk memahami makna dari pepatah tersebut.

setelah saya urai satu demi satu, saya memahami bahwa kita hidup hanyalah sejenak layaknya musafir yang sedang dalam perjalanan. Kita tidak sedang bermukim karena apapun yang ada di dunia ini hanyalah bersifat sementara. Segalanya akan sirna dan lenyap dari pandangan kita.

Pemahaman ini saya dapat dari suatu musibah yang menimpa teman karib. Saya memiliki teman yang keluarganya mempunyai ekonomi di atas rata-rata dibanding teman-teman yang lain, sebut saja Rafi. Suatu ketika orangtua Rafi meninggal akibat kecelakaan. Saya pun ikut dalam pemakaman sembari memberi penghiburan atas kesedihan Rafi. Dalam momen pemakaman yang diliputi kekecewaan dan duka tersebut saya hanya melihat mayit dengan bungkusan kain kafan, saya pun terheran-heran dan bertanya, kemana perhiasan yang biasanya di pakai? Di mana mobil mewah yang selalu di kendarai? Dan kemana seluruh harta yang melimpah itu?

Dari kejadian itu lah saya kembali memahami dan sadar bahwa sekaya apapun seseorang pastilah akan sampai kepada ujung kehidupan dunia yakni maut. Ketika ruh sudah dicabut dari jasad maka tiada berarti segala sesuatu yang bersifat materi kecuali amal.

Kita ini hanyalah musafir yang mampir hanya untuk minum seteguk air maka jangan sampai lalai dan malah menetap nyaman di tempat minum tersebut. Perjalanan yang akan kita lalui masih teramat panjang sekali. Mulai dari alam barzah hingga alam penentuan apakah kita akan dimasukkan ke dalam surga atau neraka.

Salah satu bukti nyata bahwa kita hanya sebentar di dunia ini adalah waktu yang sangat cepat sekali berlalu, seperti yang sering kita alami. “Seperti baru kemarin main layang-layang bersama teman, eh tahu-tahu sudah harus bekerja dan berkeluarga.” Seperti baru kemarin, rasanya, kayaknya, tetapi nyatanya waktu telah berlalu hingga membuat lalai dan lupa. Kesadaran kita menghilang akibat terlalu menikmati seteguk air hingga lupa bahwa perjalanan masihlah sangat panjang.

Dari pepatah tersebut pula saya menganalogikan bahwa dunia itu adalah sebuah jembatan, apakah patut kita membangun istana di atas jembatan? Tentu tidak masuk akal, ‘kan? Bangunlah istana di tempat selayaknya istana itu dibangun, dimana itu?

Ya, tidak lain adalah di alam akhirat kelak. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang selamat dan bisa membangun istana di surga. Aamiin aamiin ya rabbal ‘alamiin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *