“Kutitipkan Pesantren Ini Kepadamu”*
6 mins read

“Kutitipkan Pesantren Ini Kepadamu”*

Penulis: Fawaizul Umam**

Beberapa bulan sebelum wafat, kira-kira di paruh akhir 2008, KH Achmad Djazari Marzuqi menerima kunjungan Drs. KH Hasan Basri, Lc, salah satu pembina Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum (YPP MU). Beliau aktif membina sejak almaghfurlahu KH As’ad Syamsul Arifin masih hidup yang kemudian di-SK-an secara berkala oleh sang putra, almaghfurlahu KH Achmad Fawaid As’ad. Beliau sendiri wafat pada 6 November 2015 di Situbondo dan dimakamkan di lingkungan maqbarah Pondok Pesantren Sukorejo.

Saat itu, Kiai Djazari tengah terbaring lemah oleh sakit yang diidapnya sejak akhir 2006 sehingga perjumpaan keduanya menjadi perjamuan yang tak biasa karena berlangsung bukan di ruang tamu melainkan di kamar tidur. Kiai Djazari bersandar lemah di ujung dipan, sementara Kiai Hasan duduk di sisi pembaringan. Sambil berbincang, sesekali keduanya saling menyentuhkan tangan. Kunjungan tersebut ternyata menjadi momen perjumpaan terakhir kedua kiai karena beberapa bulan setelah itu, tepatnya pada 31 Maret 2009, Kiai Djazari berpulang ke rahmatullah.

Dengan tubuh yang kian ringkih melemah, Kiai Djazari berusaha menegakkan duduknya. Terlihat gembira dikunjungi Kiai Hasan, yang juga masih saudara sepupu sang istri, almarhumah Nyai Hj. Siti Romlah. Keduanya saling berbicara pelan dan akhirnya saling mendoakan. Di ujung pertemuan, saat Kiai Hasan memohon diri, Kiai Djazari merengkuh tangannya erat dan membuat Kiai Hasan kembali duduk. Sambil menangis dan suara tergetar, beliau menyampaikan permohonan, menitipkan Pesantren MU ke Kiai Hasan. “Kaule matoroka pesantren…,” ujarnya tersedu. Diulangnya beberapa kali. Kiai Hasan mengiyakan, mengangguk-anggukkan kepala. Tangannya menepuk pelan tangan Kiai Djazari, berusaha meyakinkan.

Kiai Hasan menghela nafas. “Area wasiat berrek, Cong. Du’aagi ngkok koat (Ini wasiat yang berat, Nak. Doakan saya kuat mampu [mengembannya]),” ujar beliau sambil menatap kami, sejumlah anak dan menantu Kiai Djazari, yang ikut menemani kala itu. Kami tertunduk mengamini. Lalu, Kiai Hasan beranjak memohon diri. Setelah berpelukan lama dengan Kiai Djazari, kami pun melepasnya hingga ke halaman pesantren, sampai beliau memasuki mobil.

Bagi Kiai Hasan, kunjungan itu tampaknya sangat berkesan. Dalam sejumlah kesempatan, beliau kerap mengisahkan ulang perjumpaan terakhir itu. Kisah ini berkali-kali diceritakan oleh Kiai Hasan dalam banyak forum, baik dalam setiap pembinaan di hadapan para guru dan pengurus YPP MU maupun saat memberi sambutan pada sejumlah pengajian di lingkungan MU. Kepada kami, setiap bersua atau saat nyabis ke dalem-nya, beliau sering mengingatkan kami untuk istiqamah dan ikhlas menjaga MU seraya mengingatkan kami akan pesan Kiai Djazari tersebut.

“Ingatlah, bukan anak atau istri yang Kiai Djazari titipkan, tetapi pesantren ini! Aslina rea tak perak wasiat ka ngkok (sejatinya wasiat ini bukan hanya untuk saya), tapi juga kepada anak-anaknya, istrinya, seluruh santri dan muridnya, para alumni, juga muhibbin (simpatisan) pesantren ini. Itu wasiat kepada kita semua, ka kabbin oreng se peduli ka aghemana Allah swt (kepada semua yang punya kepedulian kepada agama Islam)…,” kurang-lebih demikianlah ungkapan Kiai Hasan setiap kali memungkasi kisah tersebut.

Penegasan Kiai Hasan itu sepenuhnya benar. Karena memang beliau bukan satu-satunya yang diamanahi pesan serupa oleh Kiai Djazari. Sejumlah guru dan juga beberapa santri atau alumni senior mengaku menerimanya, seperti almarhum Ust. Abdul Jalal, almarhum Ust. Sunari, Ust. Kasidin, dan Ust. H. Abdul Rozzaq. Pesan senada juga disampaikan beliau kepada teman-teman seperjuangan yang berkesempatan menjenguknya, seperti almarhum KH Najmuddin (Kiai Jatim).

Dengan redaksi ucapan berbeda tapi berspirit sama, pesan tersebut juga diungkapkan Kiai Djazari kepada anak-anaknya. Semakin sering disampaikan, terutama setelah beliau mulai sering sakit. Dalam beberapa kesempatan, beliau cenderung mengulang pesan tersebut dengan tambahan pesan bernada warning (peringatan) berikut ini:

“Mun tak endhek berkhidmah ka Miftahul Ulum, jek neng e dieh. Teka’a tang anak atao kompoy, mun tak endhek ngabdih ben aberrik manfaat ka Miftahul Ulum, tak olle nengneng e dieh” (Kalau tidak bersedia mengabdi pada Miftahul Ulum, jangan tinggal di sini. Meskipun anak atau cucuku, jika tidak mau mengabdi dan memberi manfaat ke Miftahul Ulum maka terlarang tinggal berdiam di sini).

Pada saat yang sama, Kiai Djazari juga acap menyitir pesan almaghfurlahu Kiai As’ad Syamsul Arifin, sosok ulama kharismatik yang menempatkan beliau di Bengkak dan kemudian mengamanahi beliau untuk mendirikan dan mengembangkan YPP MU: “Mun anakna bekna tak ngajar, tak norok esto ka pesantren rea, misalla deddi polisi, maka haram neng e dieh. Area tanah wakaf!” (Kalau anakmu tidak mau mengajar, tidak ikut peduli terhadap pesantren ini, misalnya jadi polisi, maka haram bertempat tinggal di lokasi pesantren ini. Ini tanah wakaf!).

Pesan tersebut juga kerap diulang oleh istri beliau, Nyai Hj. Siti Romlah, setiap kali mengingatkan putra-putrinya untuk istiqamah mengabdi di pesantren (YPP MU). “Sapa bei, tang anak atao guru, mun la tak endhek aberik manfaat ka pesantren rea, tak olle neng e dieh. Haram, pokokna kodu angkat kaki!” (Siapa saja, anak saya atau guru, kalau sudah tidak mau memberi manfaat terhadap pesantren ini, terlarang tinggal di sini. Haram, pokoknya harus pergi!).

Apa hikmah terpenting dari pesan atau wasiat Kiai Djazari tersebut? Melalui pesan itu, beliau tidak hanya ingin menegaskan agar pesantren MU dijaga dan dikembangkan, tetapi juga agar kita menjadikan pesantren ini sebagai fokus utama pengabdian. Hal ini memang sejalan dengan komitmen pengabdian beliau sendiri semasa hidup yang senantiasa mendahulukan pesantren dan masyarakat tinimbang istri dan anak-anaknya. Pesan itu bukan hanya agar pesantren yang beliau rintis ini bisa terus ada dan berkembang maju, melainkan juga untuk meyakinkan kita bahwa pendidikan adalah lahan pengabdian terbaik dan pesantren ini media terbaik bagi kita untuk mengabdi, menebar kerahmatan Islam sekaligus mencari ridlo Allah.

Kita? Iya, kita. Sebagaimana ditegaskan Kiai Hasan, pesan atau wasiat Kiai Djazari itu sejatinya untuk kita semua. Bukan hanya wasiat untuk anak-cucunya, tetapi juga untuk seluruh santri/murid, wali santri/murid, para guru, pengurus, alumni, dan simpatisan Pesantren Miftahul Ulum.

Semoga Allah menguatkan kita, meridloi pengabdian kita.[]

*Diambil dari final draft biografi KH Achmad Djazari Marzuqi, “Pengabdian Tiada Akhir”, pada bagian “Iftitah”.

**Penulis adalah Wakil Pengasuh/Ketua I YPP MU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *