LIFESTYLE KEKINIAN (Muslimah Syar’i Bergaya Trendi)
5 mins read

LIFESTYLE KEKINIAN (Muslimah Syar’i Bergaya Trendi)

Oleh: Putri Nura Wati, S.Pd

Judul                                     : Muslimah Perkotaan, Globalizing Lifestyle, Religion and Identity

Tahun terbit                       : 2016

Penulis                                 : Abd. Aziz Faiz

Penerbit                              : SUKA- Press Yogyakarta

Cetakan Pertama             : Maret  2016

ISBN                                      : 978-602-1326-53-4

Abd. Aziz Faiz adalah peneliti muda di Institute of Southest Asian Islam (ISAIs) Yogyakarta. Minat penelitiannya meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan perkembangan sosial keagamaan kontemporer, khususnya yang berkenaan dengan konflik sosial keagamaan. Ia meraih gelar Magister Humaniora (M.Hum) dari Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Studi Agama dan Resolusi Konflik, dan S-1 Jurusan Sosiologi Agama di lembaga yang sama.

Salah satu karya bukunya berjudul “Muslimah Perkotaan, Globalizing Lifestyle, Religion and Identity”. Buku ini mejelaskan serta menganalisis konstruksi komodifikasi dalam keberagamaan muslimah perkotaan dengan komunitas hijabers yang telah menyebar di Indonesia. Konteks yang ditelusuri dalam buku ini mengenai simbol fashion yang dominan dalam ekspresi keberagamaan para muslimah tersebut. Sejatinya mereka memiliki ciri dan status khusus dengan menciptakan suatu komunitas yang otonom dengan paham keagamaan sesuai dengan selera mereka sendiri. 

Sejak tahun 2010-an banyak sekali bermunculan komunitas-komunitas pembaharu fashion dengan style yang sangat khas. Komunitas ini dikenal dengan komunitas Hijabers. Hal  ini merupakan tindak tanduk terkonstruknya muslimah-muslimah baru yang lebih trendi dan fashionable. Mereka membuat diri mereka tetap tertutup dengan style baru yang tetap modis tapi syar’i. Komunitas hijabers adalah sekelompok muslimah perkotaan yang menyatu dalam satu komunitas yang bercirikan hijab dengan gaya trendi, gaul dan stylish. Komunitas ini banyak berkembang dan berpusat di perkotaan. Inilah yang menjadikan alasan penulis untuk melakukan sebuah riset mengenai sekelompok muslimah pembaharu yang menjadi sebuah fenomena lifestyle yang telah terlegitimasi oleh identitas kelas sosial.

Dengan semakin berkembangnya style hijab ini, memunculkan banyak sekali berbagai macam cara  berpakaian muslimah, yang tadinya hijab hanya sebagai bentuk rupa dari pakaian islami bergeser sedikit menjadi pakaian yang trendi dan sesuai dengan tuntutan zaman. Dari hal itu, hijab tidak lagi dipandang secara fungsional-normatif  (hanya sebagai tuntutan ajaran agama) yang dahulunya dianggap sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslimah. Namun, bergeser menjadi pakaian yang mengikuti selera atas konsumsi budaya kelas dan identitas sosial yang bersifat komersial yang mengalami perkembangan sebagai komoditas. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam toko-toko pakaian yang menjual berbagai macam hijab maupun busana dengan gaya ala hijabers.

Pemahaman tentang modis, stylish, dan kekinian tapi tetap syar’i berpengaruh besar terhadap para muslimah khususnya kalangan muda. Dengan mengutamakan selera, trend  hijabers ini sangat disenangi oleh kalangan muslimah muda yang tetap ingin dianggap gaul namun syar’i. Sehingga dengan adanya komunitas hijabers ini, kalangan muslimah muda merasa diwadahi untuk mengekspresikan dan menyesuaikan antara ajaran agama dengan style fashion sesuai dengan gaya dan selera mereka sendiri.

Dalam sudut pandang penulis terdapat dua pengklasifikasian kata yang dikonotasikan pada pemakaiannya. Yaitu kata hijab dan kata jilbab. Yang pada saat ini lebih terkenal dengan istilah hijabers dan jilbabers. Penulis memaparkan bahwa kata hijabers itu diperuntukkan kepada kalangan muslimah muda yang lebih gaul dan fashionable. Golongan ini adalah muslimah yang memadukan hijab dengan berbagai hal seperti aksesoris yang menambah keeleganan dari hijab dan busana yang mereka kenakan. Dengan hal ini, keeksistensian mereka diwakilkan dengan adanya komunitas hijabers sebagai komunitas muslimah perkotaan. Namun, istilah jilbabers banyak diperuntukkan kepada muslimah kuno yang terkesan kaku yang tidak mengikuti perubahan zaman. Muslimah ini biasanya mengenakan pakaian lebar dan panjang, yang identik dengan kerudung panjang sampai menutup dada dan mengenakan busana yang sangat tertutup yang dianggapnya paling syar’i. Golongan ini bisa dianggap sebagai golongan yang menolak style-style baru dalam berhijab dan berbusana.

Kemunculan gaya hidup semacam ini menciptakan sebuah pemetaan dalam kehidupan sosial. Dimana terdapat golongan muslimah  yang mengekspresikan agama secara elit karena dilandasi pada proses kesesuaian selera kelas mereka sendiri. Jadi, tidak heran jika perilaku konsumtif sangat nampak dalam golongan ini  untuk bisa tampil secara religius di ruang publik menjadi salah satu hal penting yang harus difikirkan terkait dengan citra dan upaya konstruksi pada kelas di bawahnya. Sehingga tercipta juga sekelompok muslimah yang identik dengan gaya hidup yang biasa-biasa saja bahkan bisa dibilang sangat sederhana dengan tidak mengekspresikan agama secara elit dan tidak dilandasi dengan proses kesesuaian selera sendiri melainkan tetap konsisten kepada ajaran yang telah diajarkan dalam agama. Sehingga terlihat kuno dan tidap bisa menyesuaikan dengan zaman. Sebagaimana disampaikan oleh bapak Ahmad Muttaqin, Ph.D. Buku Muslimah Perkotaan ini penting karena memberikan wawasan kepada pembaca untuk bisa mengetahui tentang munculnya kelas sosial baru dalam beragama yang mencoba memadukan keinginan untuk tetap tampil syar’i namun juga tidak mau ketinggalan dengan trend moderenitas dan life style  perkotaan. Muslimah Perkotaan dengan segala pernak-perniknya menunjukkan betapa globalisasi beserta dinamika di dalamnya tidak serta merta mereka tolak, namun secara kreatif mereka manfaatkan untuk menawarkan identitas dan “cara beragama” hibrida ala mereka. (Miful/PNw)