Artikel

HAUL

0

Penulis: Dr. Fawaizul Umam, M.Ag*

Hidup itu perjalanan. Dan setiap perjalanan pasti menyisakan jejak. Dari situlah kenangan dibangun.

Sebagaimana perjalanan, yang terpenting bukan seberapa panjang jarak atau seberapa lama durasi kita hidup, melainkan seberapa bermakna jejak yang kita tinggalkan. Dari jejak itu orang-orang di masa depan menemukan alasan untuk mengenang atau sebaliknya melupakan kita.

Hidup adalah perjalanan mencipta jejak dan setiap orang bebas memilih jejak seperti apakah yang hendak ditinggalkan. Kita bisa menorehkan jejak samar seperti guratan jemari di pasir pantai yang seketika sirna begitu debur ombak datang menjilatnya atau memilih mengguratkan jejak mendalam seperti pahatan berulir di tebing bebatuan yang tak dilekangkan panas dan dilapukkan hujan. Melalui jejak itulah orang-orang di masa mendatang tahu bahwa kita pernah hidup di masa kini.

Tentu kita tidak ingin hanya sekedar dikenang orang-orang di masa depan. Kita ingin dikenang mereka dalam kebaikan. Dan itu hanya bisa dituai jika kita menyematkan kebaikan di setiap jejak yang kita torehkan. Jadi, bukan asal bikin jejak, melainkan jejak yang baik, jejak yang pantas dikenang. Itulah yang perlu  diikhtiari terus menerus tanpa henti hingga tiba saat Tuhan berbisik, “waktunya pulang”.

Kematian itu niscaya. Tak terhindarkan. Keberpulangan hanya soal waktu. Ia bukan cuma fase transisi menuju keabadian, tetapi juga momen apakah setelah itu kita dengan cepat terlupakan ataukah justru terus abadi dalam kenangan mereka yang masih hidup. Things end but memories last forever, begitu sebuah quote masyhur berujar. Semuanya berakhir, tetapi kenangan bertahan selamanya…

Untunglah kita punya tradisi haul. Ini kearifan spiritual yang memungkinkan kenangan itu terpelihara. Ia menjadi even menelusuri jejak sekaligus momen mengkhidmati kenangan. Melaluinya, kita mengambil ibrah dari jejak para pendahulu. Lewat doa-doa yang terpanjatkan, kita menghayati setiap detail kenangan tentang mereka.

Haul, dengan demikian, adalah momen kebersamaan antara yang hidup dan yang telah wafat. Kenangan menjadi pengikatnya. Seluruh kebaikan yang mengejawantah dalam jejak mereka yang wafat menuai kebermaknaannya dalam ingatan mereka yang masih hidup. Itulah mengapa haul dilangsungkan dengan merujuk momen kematian dan bukan kelahiran.

Mengapa kematian, bukan kelahiran? Karena mereka yang telah wafat, orangtua atau guru atau saudara atau istri/suami, itu bukan Nabi Muhammad SAW. Nabi bukanlah manusia biasa sehingga kenangan kita terhadapnya dirayakan melalui momen kelahiran. Nabi ma’shum, terbebas dari dosa dan kesalahan, mulai sejak kelahiran hingga kewafatannya.

Adapun kita berbeda. Kita hanyalah manusia biasa yang justru tidak pernah luput dari salah dan suci dari gelimang dosa. Karena itu, kepada selain Nabi, kita setiap tahun merayakan haul kematiannya, bukan kelahirannya. Sebab, kepada selain Nabi, kita cenderung menunggu dulu hingga mereka mati, hingga halaman terakhir buku hidupnya. Melihat dulu jejak yang mereka tinggalkan, penuh kebaikan ataukah sebaliknya justru sarat akan keburukan. Rupa jejak cenderung menjadi alasan bagi kita untuk mengenang mereka ataukah melupakannya sama sekali tanpa perayaan haul.

Hanya kepada mereka yang wafat mewariskan jejak kebaikanlah kita dengan sukacita menghidupkan kenangan dalam rupa haul. Oleh karena itu, teruslah berbuat baik dan melakukan perbaikan. Jejak kebaikan itulah yang hendak kita wariskan. Agar kita terus hidup dalam kenangan orang-orang terkasih yang kita tinggalkan. Semoga![]

*)Penulis adalah Wakil Pengasuh/Ketua I YPP Miftahul Ulum

LIFESTYLE KEKINIAN (Muslimah Syar’i Bergaya Trendi)

Previous article

CITA-CITA BUTUH USAHA BUKAN KAYA

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Artikel