MAKAN ENAK, TERGANTUNG SELERA DAN DANA
9 mins read

MAKAN ENAK, TERGANTUNG SELERA DAN DANA

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Ini foto sebagian trid yang rame di twitter kemarin ya. Saya tertawa membaca komen yang beragam. Sesekali mengangguk membenarkan. Iya, saya orang Jawa yang sejak 1998 merantau ke pulau Sumatra. Tahun pertama, hidup di kompleks perumahan di tengah ribuan hekar kebun kelapa sawit di Sumatra Selatan. Sebagian besar penduduk bersuku Batak, Semendo dan Padang.

Benar. Mereka terbiasa makan dengan hamparan lauk enak, bermacam-macam. Maka ketika saya belanja ke tukang sayur yang tran trin di kompleks, saya mendapat tatapan aneh dari banyak orang. Sawi dua iket, tempe satu, tahu sebungkus, kawanan cabe tomat trasi, dan telor setengah kilo. Udah. Sawi dibobor, tempe tahu digoreng dan telor disambel. Hari ke-lima, sepaket bayam, taoge dan kol. Rencana, mau dipecel. Peyek teri dan sambel goreng tempe.

“Ini untuk sarapan ya, Bu?”, tanya satu tetangga. Saya mengangguk, tersenyum maniiiis.

“Makan siang dan malam menunya apa, Bu?”

“Ya, sama. Ini juga, Bu. Satu menu untuk seharian. Kadang, kalau malam saya menggoreng nasi, tapi kami lebih sering makan pepaya atau pisang.”

Oooh, saya mendapat tatapan iba dari tiga penonton. Sebagian mencureng heran.

“Kasihan Bapak lho, Bu. Kerja keras, harusnya diberi makan dengan lauk enak bermacam gitu. Ikan, daging, seafood. Lagian, gaji Bapak untuk apa, Bu? Dikirim ke Jawa? Atau untuk beli tambang emas?”

Semua tertawa.

Saya tersenyum lagi. Senyum yang agak pahit. Mengucapkan terima kasih. Terburu pamit. Meletakkan kresek di dapur, masuk kamar, lalu tengkurep di bantal. Yak, betul. Saya menangis tersedu. Gini amat ya. Pengantin baru, masih penyesuaian segalanya, sudah kehantam ini itu. Huhuhu. Nangis lagi, lagi. Dih, drama banget ya.

Jam istirahat, Kangmas suami pulang untuk makan siang. Saya salim, lalu menemani dhahar. “Maturnuwun nggih, Ning,” kami belum punya anak, beloi masih manggil saya dengan Ning waktu itu.

Ohya, kami juga terbiasa berkomunikasi dalam Bahasa Jawa kromo inggil, sampai sekarang. Beliau mengucapkan alhamdulillah terima kasih, memuji makanan di meja. Begitulah upacara beliau sebelum makan haha.

Saya diam. Padahal biasanya, langsung cicit cuit bercerita tentang apaaa saja. Mulai isi majalah Gatra yang harusnya sampai kebun Selasa, tapi karena jalanan yang amboi rusaknya, baru bisa saya baca Jumat sore. Cerita anak-anak karyawan kebun di kompleks sebelah, sampai biawak yang nyasar masuk rumah.

Hening. Krik krik. Aneh ya. Anak mertua menengok. Melihat mata saya bengep, terbitlah sesi wawancara. Tralala.

::

Dan sesudah itu, beliau ngendikan panjang kali lebar, “Ngapunten Ning. Makan itu soal selera. Kalau dengan sayur bening dan tempe goreng aja kita sudah bisa makan lahap, mengapa harus selalu pake ikan, udang, ayam atau daging sapi. Sesekali boleh, tapi nggak harus tiap hari. Yang penting bergizi kan? Toh makan itu aslinya kebutuhan perut, bukan semata memanjakan mulut. Kita mau milih makanan enak tapi nggak enak makan, atau enak makan meski lauk sederhana?

Apalagi lidah kita nggak terbiasa dengan santan atau yang berbumbu berat. Lebih baik belanja buah saja. Pepaya dan pisang. Sekalian biar makin lancar ngoceh haha.”

Saya mulai bisa tertawa.

“Kedua, makan enak tergantung dana. Harus berapa rupiah yang kita keluarkan untuk makanan mewah tiap hari? Kita belum punya rumah, Ning. Rumah yang sekarang kita tempati ini, berikut isinya, ART dan tukang kebun, semua milik perusahaan. Suatu saat, kita harus pindah dari sini. Jadi kita harus menabung agar punya rumah di daerah yang dekat sekolah atau kampus. Kita sudah sepakat tidak akan menjadi pegawai negeri, jadi kita harus jaga-jaga agar saat pensiun tidak ngenes gedubrakan. Kita ingin punya kebun sawit dan karet. Kita ingin umroh dan haji. Suatu saat, jika kita punya anak, dan mereka ingin sekolah sampai tinggi, kita bisa support. Sekolah sambil mondok, biayanya tidak sedikit. Kita berdua juga ingin kuliah lagi, kan? Kita ingin berlibur kemana atau kemana secara berkala, kan? Semua butuh biaya.

Ketiga, kita sama-sama ingin bisa bermanfaat untuk keluarga besar, untuk lingkungan. Seneng lho bisa membantu saudara. Bisa punya anak asuh. Bisa punya usaha yang melibatkan banyak orang. Persiapannya harus mulai sekarang kan?”

Tawa saya makin lebar. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih untuk karunia belahan hati yang sangat cerdas, sabar dan selalu mampu mengikat hati saya. Yang selalu mampu menuntun saya, membahagiakan saya, dan membuat semua baik-baik saja. Maturnuwun, Gusti Allah.

::

Beberapa bulan kemudian, saya hamil. Pindah kebun, masih di Sumatra Selatan. Tapi terjun bebas dalam kondisi sangat terpuruk. Pola makan kami nyungsep. Bahkan dengan lauk yang makin mbuh trilili, karena kami hidup di bawah garis kemiskinan haha.

Gubuk tanpa listrik, penerangan dengan lampu ublik. Kebutuhan air, bisa dipenuhi dengan harus menimba. Atap seng yang beberapa tempat bocor. Dinding kayu yang sebagian bolong.

Pernah hanya makan nasi, kerupuk dan sambel korek. Pernah lauk tumis isi perut ikan. Pernah hanya dengan rebusan pucuk daun ubi jalar, mengambil rambanan dari pinggir sungai. Pas ada uang, kami beli ikan teri agak banyak. Campur irisan cabe dan bawang putih dioseng, wuaaah mantab. Bisa disimpan dalam toples lama.

Menjelang anak pertama lahir, ada gonjang ganjing di perusahaan. Suami dan banyak karyawan di PHK. Alhamdulillah, sore mendapat surat pemutusan hubungan kerja, pagi sebelumnya ada tiga tawaran pekerjaan. Kami pindah propinsi. Ke Lampung. Mengontrak rumah.

Harapan hidup saya hampir padam. Saya mulai merasa lelah. Apalagi pas anak kedua akan lahir, rumah kontrakan di Pardasuka Lampung Selatan yang kami tempati, dijual pemiliknya diam-diam. Andai Abah dan Umik melihat nasib kami, mungkin juga akan bersedih. Dalam kondisi sefakir itu, kami tidak mungkin berpikir lauk enak. Bisa bertahan hidup saja, sudah luar biasa.

::

“Mohon beri waktu nggih. Sandang, pangan dan papan menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Semoga tak sampai lima tahun, kita sudah bisa punya rumah layak. Tapi dengan apapun kehidupan kita sekarang, mohon jangan putus asa ya. Ayo terus tersenyum dan berdoa,” suami dan ayah terbaik ini tak pernah putus menyemangati.

Anak kedua lahir. Setelah beberapa bulan ASI eksklusif, terpaksa diseling susu formula. Mulai kenal pisang ambon dan pepaya. Lalu bubur dengan sayur lauk rebusan. Disaring. Usia satu tahun, kedua anak kami baru mengenal rasa asin. Setelah itu, sayur bening jadi andalan. Tempe atau tahu, dan tambah sambel atau krupuk. Yang penting sehat dan bergizi masih jadi tageline. Sesekali aja makan di luar setelah gajian.

Kontrakan ke-lima. Bandar Lampung. Di tengah warga Sunda. Makanan rutin mereka lebih sederhana, bahkan lebih keren kalau tiap hari ada lalapan. Orang Sunda mah, daun apa aja bisa dilalap ya. Selain daun pintu haha. Makin hari, saya ketularan suka menyantap sayur asem, ikan asin dan sambel terasi.

Benar kok, ternyata makan enak sangat tergantung selera.

::

Tahun 2006, tak sampai lima tahun dari janji suami, kami bisa menempati rumah yang sekarang. Di Bataranila. Sederhana tapi luas. Saya suka karena masih banyak sisa tanah yang bisa ditanami berbagai macam pohon. Blimbing, Jambu Merah, Pisang, Kelapa Kopyor, Mangga, Jambu Jamaica, Durian, Jambu Air, Alpukat, Klengkeng, Jambu Kristal, Manggis dan lainnya.

Alhamdulillah. Anak kami bisa bersekolah di lembaga yang bagus dengan biaya yang lumayan. Makanan yang tersedia di meja makan mulai meningkat derajatnya. Kebetulan dekat pasar, harga sangat terjangkau. Saya pun mulai pinter masak cieeee.

Tapi, tetap saja nggak banyak macam. Sayur, gorengan dan ikan atau daging. Tambah sambel ding. Sudah. Pernah saya memasak lebih dari tiga lauk, nggak kemakan. Mubazir. Kata anak saya, bingung milih lauk kalau banyak pilihan haha.

Tapi saya mulai membedakan menu makanan pagi, siang dan malam. Kalau pagi tempe digoreng wajar, siangnya tempe goreng itu diiris kotak dan disambal. Malam, tempe sambal itu disantan atau ditambah kuah. Hahaha kasihan ya, satu bahan, tiga kali penyiksaan 😅

::

Alhamdulillah. Kini, kedua anak kami di Malang, tinggal di rumah kami yang mungil tapi menyenangkan. Ada dua anak asuh yang membersamai, sedang kuliah S2 di kampus berbeda. Tapi keempatnya sambil mengaji di pondok pesantren terdekat. Mereka mengelola rumah bersama. Termasuk mengatur menu makanan. Tiap pagi mosting foto masakan di group keluarga. Selalu ada sayur, tempe tahu atau perkedel dengan segala rupanya dan satu lauk berat lain. Samaaaa, hanya tiga macam tiap hari. Ples sambel. Tapi selalu ada buah potong dan juice. Kalau mau makan lain, tinggal klik tilp kakak atau gofood. Beres.

Anak sulung sambil mengajar, yang bungsu bisnis baju. Alhamdulillah. Tentang makanan, mereka tidak rewel. Bahkan jika kami sambang tiap bulan dan mengajak makan di luar, mereka bilang, “Wah ini sangat mewah. Sama dengan jatah makan kami sepekan, Um. Alhamdulillah.”

Rasa syukur mereka selalu membuncah. Terutama ketika hendak makan, dimanapun mereka makan dan apapun lauknya. Kebiasaan melafal alhamdulillah, memuji makanan dan berterima kasih pada yang menyiapkan makanan, masih spontan mereka lakukan. Terkadang mereka berbagi makanan ke panti asuhan. Alhamdulillah.

::

Alhamdulillah. Mimpi dan harapan yang kami rajut sejak awal pernikahan, telah tercapai, nyaris semuanya. Rumah yang nyaman, pendidikan, liburan, sekian banyak anak asuh, asrama pesantren, kebun, lahan pekerjaan bagi beberapa orang, dan rutin silaturrahim keluarga, sowan guru kyai, juga ziarah orang tua. Bagi kami, itulah prioritas.

Wokeeee. Udah ya. Apapun makanan kita, semoga kita selalu sehat, bahagia dan berlimpah berkah ❤️
.

  • Rajabasa, 14 September 2021 –

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *