MENJADI GURU BAHAGIA
4 mins read

MENJADI GURU BAHAGIA

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Pada sebuah pelatihan pendidikan awal Juli 2019 lalu, seperti biasa saya menanyakan beberapa hal pada para peserta. Jawabannya saya baca acak, diskusi sebentar dan materi selanjutnya akan kami pilih alternatif solusinya.

Ada satu kertas dengan tulisan bersambung miring, persis tulisan bapak saya dulu. Unik. Menarik. Pertanyaan yang saya sampaikan ditulis ulang, rapi. Saat ice breaking saya mencermatinya.

Bapak X. Guru sejarah. Sudah mengajar 40 tahun. Masalah yang sering dihadapi selama menjadi guru: bla bla bla.

Apa rencana setahun ke depan? Menikmati masa pensiun.

Target 5 tahun ke depan? Menjaga kesehatan dan ingatan. Makin rajin ke gereja.

Buku apa yang ingin dibaca selama setahun ke depan? Kitab suci Injil.

Krik krik. Tiba-tiba saya ingat mati, pemirsa.

Lalu, saya meminta beliau maju, bercerita tentang pengalamannya menghadapi satu anak paling ‘aneh’ selama menjadi guru, dan bagaimana beliau mengubahnya menjadi lebih baik.

“Dulu ada satu anak bernama Y, sering bolos, pimpinan genk. Kalau masuk sekolah, suka ngacau. Jika ditegur, gurunya ditantang berantem. Sepeda saya pernah digembosi, kursi saya pernah ditempeli permen karet, sepatu temannya pernah dicuri dan dijual untuk membeli minuman keras. Semua upaya sudah saya lakukan, karena saya wali kelasnya. Sampai akhirnya saya pasrah. Dan hanya bisa mendoakannya setiap saat. Tapi, justru setelah itu dia membaik. Ternyata benar, kadang tuntutan kita pada murid kita yang terlalu tinggi dan cepat hanya akan membuat mereka tersiksa dan makin bengal. Dampingi saja, beri teladan, dan doakan terus. Sekarang sang anak menjadi anggota DPR Kabupaten sini,” beliau mengusap muka. Ada rasa syukur membuncah pada tatap matanya.

Ya. Beri teladan, dampingi, dan doakan. Noted.

Saya salut pada beliau. Tahun depan beliau pensiun, tapi masih berkenan ikut pelatihan saya, duduk di depan anteng sampai selesai. Luar biasa.

“Apa saja yang membuat bapak bahagia selama menjadi guru?”

“Ketika saya bisa melihat murid saya sehat, lulus, dan mandiri. Ketika melihat mereka tersenyum. Ketika saya bisa membahagiakan mereka”.

Saya tercekat. Saya yakin, rata-rata guru akan menjawab sama. Bahagia ketika bisa membahagiakan murid kita.

Dan panjenengan tahu kan, hanya orang bahagia yang mampu membahagiakan orang lain.

Maka jadilah guru yang berbahagia ya. Caranya? Selalulah bersyukur. Ini nasehat klise, tapi cocok sepanjang masa. Ketika panjenengan mulai jenuh, mulai bosan, mulai sedih: carilah alasan sebanyak mungkin untuk kembali bergembira. Dengan bersyukur.

Di hadapan anak murid yang sulit menerima satu pelajaran, ingatlah saat mereka bisa menyelesaikan soal-soal pada kesempatan lain. Ketika mereka berulah dan ngeles dengan alasan-alasan yang absurd, ingatlah saat mereka membuat kita tertawa riang. Sesekali, pandanglah ke luar kelas. Kita masih bisa menatap langit biru, daun jambu, bunga bougenvile atau kupu-kupu.

Syukuri apapun kondisi anak murid kita. Sebagaimana anak kandung, murid kita adalah amanah dan anugrah dariNya. Kita tak bisa memilih, seperti apa anak dan murid yang dikirimkan Allah pada kita. Yakinlah, sebanyak apapun kekurangan mereka, tentu masih lebih banyak kelebihannya. Tugas kita memantik potensi terbaik mereka, membersamai tumbuh kembangnya dan mendidik mereka dengan cinta. Selebihnya, pasrahkan semua pada sang Maha Kuasa.

“Jangan berharap engkau bisa memintarkan muridmu, sebab engkau akan kesal jika muridmu tak pintar. Lakukan saja tugas mendidik dengan baik. Lalu, bayangkan salah satu dari mereka, kelak akan menarik tangan kita ke surga”, demikian ngendikan Mbah Yai Maimoen Zubair.

Bagaimana jika gaji kita sebagai guru kecil? Ada konflik dengan teman sejawat? Diprotes orang tua murid? Mendapat teguran dari atasan? Kondisi sekolah yang membuat gerah?

Percayalah, selalu ada masalah di manapun kita bekerja, apapun profesi kita. Namun, juga akan selalu ada solusi. Apalagi tentang rizqi, semua sudah tertakar bukan? Dan yang sudah tertakar, tak akan pernah tertukar.

Ya, tak semua orang mendapat kesempatan menjadi guru. Maka jadikan setiap tantangan di kelas sebagai tiket kita ke surga. Selamat menjadi guru yang berbahagia ya. Ciptakan keindahan setiap hari. Dengan terus merawat rasa syukur.

“If you want to hold the beautiful one, hold yourself to yourself” ~Rumi

2 thoughts on “MENJADI GURU BAHAGIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *