
MENOLAK BENCI
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Assalamualaikum. Selamat pagi. Salam senyum penuh cinta dari Lampung. Semoga semua sehat dan bahagia ya, agar kita bisa membagi kebahagiaan yang sama pada siapapun yang kita temui hari ini”.
“Yuk, yuk. Kita ciptakan keindahan hari ini dengan terus merawat rasa syukur ya. Saya tunggu kabar baik hari ini, kirimkan foto pembelajaran dan senyum ceria para santri di sini ya. Bismillah, tetap semangat”.
Seperti itulah pesan WA pagi yang saya kirimkan pada semua group pondok pesantren dan sekolah di pelosok yang tahun ini saya dampingi. Sebagai admin, saya bisa leluasa mengirimkan tulisan apapun di group. Tentang apapun. Tapi, saya memilih untuk selalu menyapa dengan riang di pagi hari, mengirimkan video shalawat atau lagu gembira.
Mengapa? Sudah terlalu banyak berita hoax, broadcash, dan narasi provokatif yang beredar dengan ringan dan luas. Siapapun bisa membacanya, kapanpun.
Padahal, menurut Dokter Spesialis Saraf Adre Mayza, dr., Sp.S(K), konten otak pembohong dan orang jujur itu berbeda. Seseorang yang gemar menyebar hoax sudah membuat sirkuit bohong di dalam otaknya. Jika bohong ya bohong terus. Permasalahannya adalah kita tidak tahu mana yang bohong dan mana yang benar. Harus dengan data”.
Repotnya, tak selalu kita mendapat data atau penjelasan dengan cepat, mana berita hoax dan mana yang bukan. Kadang, kita juga tidak tahu mana tulisan yang mengandung konten negatif dan mempengaruhi otak dan hati kita kan?
Tadi pagi, saya belajar bersama anak-anak kelas 8, saya memberikan materi tentang “Bijak Bersosmed”.
Pertanyaan yang saya ajukan di awal, “Nak, siapa di antara kalian yang main game lebih dari 5 jam sehari?”
“Siapa di antara kalian yang main media sosial (medsos) lebih dari 5 jam sehari?”
“Berita terakhir apa yang kalian ketahui dari medsos?”
Pertanyaan terakhir dijawab beragam. Beberapa di antaranya membuat saya tertawa geli.
“Iris Bella keguguran”
“Atta Halilintar dan pacarnya berantem”.
Yang paling banyak menjawab tentang, “Film Joker sedang booming”
“Menkopulhukam ditusuk teroris”, atau “Wiranto ditikam”.
Satu anak mengatakan, “Negara kita di ambang kehancuran”.
Saya terpaksa menjelaskan beberapa hal, agar mereka bisa mengklarifikasi dan mengkonfirmasi apa yang mereka baca.
Ya, ada banyak berita yang seharusnya tidak kita telan mentah-mentah. Ada banyak narasi mengandung kebencian yang butuh waktu mengunyahnya.
Lalu, saya menayangkan beberapa film akibat kecanduan game dan bahaya main gadget tanpa batas. Sebagian anak menjerit ketakutan, sebagian lagi menatap layar dengan penasaran.
“Apa yang kalian rasakan setelah menonton film terakhir, Nak?”
Takut. Lemes. Ngeri.
Begitulah. Apa yang kita lihat, kita dengar, kita amatiā¦akan sangat mempengaruhi hati dan pikiran kita. Bahkan jika terus menerus, akan membentuk karakter kita.
“We are what we allowed others do to us” – Grey’s Anatomy.
Kita adalah apa yang kita ijinkan untuk orang lain lakukan pada kita. Kita adalah apa yang kita baca. Kita adalah apa yang kita dengar. Kita adalah seperti lingkungan kita.
Maka pagi selanjutnya setelah hari ini, saya akan tetap menyapa riang semua WAG dengan menyertakan pesan agak berat, “Assalamualaikum, para pelopor kebaikan. Selalulah sehat dan bahagia ya. Hindari semua hal yang negatif nggih: su’udlon, prasangka, berita hoax, kabar mengerikan dan apapun yang membuat kita murung. Jikapun terpaksa bertemu atau terlanjur membacanya, bacalah fatihah dan shalawat. Semoga hanya hal baik yang masuk ke hati dan pikiran kita”.
Demikian juga saya akan menyapa panjenengan di sini dengan kalimat yang baik, meski kadang saya sedang tidak baik-baik saja hahaha.
Jadi, Gaes. Percayalah, negara kita akan tetap baik-baik saja, selama masih ada orang baik yang tak lelah menebar kebaikan. Seperti panjenengan. Iya, panjenengan. Salam senyum penuh cinta dari saya ??
- Golden Tulip, 11. 10. 2019 –