LAGU
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Apa yang panjenengan ingat ketika mendengar nama saya?”
Pagi ini, saya bertanya pada seorang sahabat. Spontan dia menjawab, “Dealova”.
“Apalagi?”
“Venus”.
Saya tersenyum. Ya, saya visual banget, lebih mudah memahami makna komunikasi atau konsep dengan melihat langsung, menatap gambar atau lewat simbol dan warna. Saya juga kinestetik, tak bisa diam, selalu ingin bergerak, baik tangan maupun mata saya. Senang menyampaikan materi atau mengerti sesuatu lewat gerakan. Tapi, kalau merujuk pada teori Howard Gadner tentang Multiple Intelligence (MI), saya mungkin masuk ke Interpersonal dan Musikal juga ya. Kok banyak? Ya, kan seseorang bisa memiliki beberapa MI sekaligus ya. Sok yakin ini mah, mohon maaf 🙂
Dari mana tahunya? Saya pernah mengikuti beberapa model tes jari-jarian dan MIR gitu. Meski pada akhirnya, saya tetap lebih percaya pada hasil pengamatan saya pada diri sendiri haha.
Nah. Tentang bagian MI yang Interpersonal dan Kinestetik atau Visual dan Musikal ini, kadang jadi kombinasi yang unik. Saya tidak bisa sendirian, saya suka bersahabat, saya selalu menandai momen kebersamaan dengan keluarga atau sahabat dengan satu tempat atau lagu. Iya, saya senang banget mendengarkan lagu meski saya tak pandai menyanyi.
Pada akhirnya, saya menjadikan lagu ini sebagai alat ukur untuk beberapa hal. Termasuk keakraban dan pola komunikasi dalam persahabatan.
“Berapa jauh jarak antara rumah panjenengan dan kampus?”, saya bertanya di awal pertemuan.
“Dekat, 15 menitan”.
“Oh, itu… tiga lagu sampai ya”.
Sekian detik kemudian kami tertawa bersama. Ditanya jarak, jawabannya bukan kilo atau meter, tapi menit. Dan saya konfirmasi dengan jumlah lagu haha.
Setelah empat puluh tujuh tahun, tentu saja banyak lagu kenangan di kepala dan hati saya. Dan begitulah, tiap masa, ada satu lagu favorit yang ketika saya mendengarnya, tiba-tiba saya akan mengingat sebuah tempat atau kejadian.
Lagu Suci Dalam Debu, saya tiba-tiba teringat bagaimana saya tertatih menerjemahkannya dalam bahasa Arab, agar bisa leluasa menyanyikannya. Santri PPA Nurul Huda Singosari angkatan 1995-1998 tentu masih ingat saat saya mengajarkannya di kelas dengan suasana ruang yang penuh dampar. Dan ketika Abah atau Romoyai nanya, “Bagus banget, qosidah baru nggih Ning? Apa judulnya?”
“Tayamum, Abah. Suci dalam debu”.
Tuh, kan. Nyaris segala hal detail yang terkait dengan sebuah lagu akan gampang diingat. Bahkan setelah saya mengalami gegar otak dan beberapa memori saya hilang, ternyata lagu menjadi pemantik yang keren untuk saya mengingat sesuatu.
“Masih ingat saya, Ning? Saya angkatan X, adik kelas panjenengan. Kita sering berangkat sekolah bersama dulu”.
“Aha, tahun itu…lagu Titip Rindu Buat Ayah-nya Ebiet G.Ade sering terdengar dari kantin sebelah aula, pas jam istirahat ya”.
Setiap presentasi apapun, saya juga selalu mengiringi tampilan slide dengan gambar dan musik instrumentalia. Saya ingin mengikat ingatan peserta seminar atau pelatihan saya pada materi dengan dua hal itu.
Bagaimana jika presentasi di pesantren? Beruntunglah saat ini, rata-rata pesantren telah mengijinkan santri mendengarkan musik. Bahkan di pesantren tertentu, saya akan ajak santri senam otak dengan musik rancak sebelum materi mulai. Tentu saja, atas ijin kyai dan bunyai ya.
Tapi dulu pun, para guru kyai ternyata telah memfasilitasi kebutuhan santri seperti saya ini dengan nadzam, melafalkan atau menghafal konsep dengan dilagukan. Mulai Alfiyah ibnu Malik dengan Qola Muhammadun sampai Alala dan Abda’u. Pesantren kereeen kan ya.
Oh ya, beberapa bulan terakhir ini, selain mendengarkan ngajinya Gus Baha’, saya punya banyak pilihan lagu.
Mulai dari Seniorita dan Lily-nya Via Vallen, Banyu Langit dan Sewu Kutho-nya Lord Didi, sampai Menunggumu-nya Anji.
Tapi sungguh, Dealova versi Once-lah yang menancap banget sekarang ini. Sebab, setiap saya mendengar lagu itu, saya merasa sedang berada di Venus. Sebuah planet kereeen yang saya bayangkan penuh dengan bunga mekar, kupu-kupu, gemericik air terjun, kicau burung, pohon rindang, rumput hijau. Sebuah tempat yang sejuk dan damai. Eit, jangan bilang Venus nggak gitu, ya.
Maka jika saya mengatakan, sedang ingin ke Venus, berati saya sedang ingin leyeh-leyeh sambil mendengarkan Dealova. Dalam kata Venus dan Dealova, segala hal indah ada di sana. Penuh cinta.
Ah, andai setiap orang yang ingin gelud mau mendengarkan satu lagu, lalu membayangkan sebuah tempat indah, mungkin caci maki dan hujatan akan berkurang kali ya?
Begitulah. Kalau menurut panjenengan, tempat dan lagu apa yang paling berkesan?
- Bataranila, 14.10.2019 –