TAK ADA RUMUS DALAM MENDIDIK ANAK
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Sebelum aku menikah, aku punya enam teori tentang mengasuh dan mendidik anak. Kini aku punya enam anak, dan tak ada teori” – John Wilmot –
Saya menyitir kalimat tersebut dan meletakkannya pada halaman pertama buku kuning Mendidik Dengan Cinta. Mengapa? Ya memang tak ada rumus dalam mendidik anak. Sekian banyak ahli parenting telah menyusun berbagai tips dan pedoman untuk mendidik anak, tetapi seringkali penerapannya tak semudah yang kita bayangkan.
Maka setiap kali saya mengisi materi tentang parenting selalu saya mengawali dengan kalimat, “Bapak Ibu, saya hanya mendongeng lho ya. Nuwunsewu, saya akan lebih banyak bercerita saja tentang pengalaman saya yang tentu akan sangat berbeda dengan pengalaman bapak ibu. Tapi, semoga dari contoh cerita yang saya sampaikan, ada satu dua poin yang bisa jadi pemantik rasa syukur terhadap apapun kondisi anak kita, apapun kondisi keluarga kita”.
Iya, rasa syukur. Karena sesungguhnya, anak kita itu baik-baik saja sebelum kita membandingkan dengan anak orang lain kan? Keluarga kita baik-baik saja sebelum kita melirik tetangga atau keluarga yang lain. Maka ketika kita menemukan satu dua alasan untuk kecewa terhadap kekurangan anak kita, sebaiknya segera kita mencari alasan sebanyak mungkin untuk mensyukuri potensi atau kebaikan lain yang dimiliki anak kita.
::
Nyaris tiap seminar saya meminta seorang ibu untuk ke depan, “Permisi, ibu bisa menceritakan tentang anak ibu?”
“Nama anak saya X, usia Y. Anak saya itu…”
Bisa dipastikan, cerita selanjutnya ialah tentang kejelekan dan kekurangan putra putrinya, “Anak saya itu suka grasa grusu, semaunya sendiri, kalau punya mau harus dituruti, kalau marah bisa banting pintu, keras, suka jajan, main game melulu…”
Kalau tidak saya stop, masih mengalir panjang daftarnya.
Begitu saya tanya, “Sekarang…mohon sebutkan kelebihan putra ibu, enam hal saja”.
Macet. Au au. Paling banter, hanya bisa menyebutkan satu dua. Lebih sering tentang akademik dan penampilan. Yang lucu bahkan ada yang hanya menyebutkan, “Kelebihan anak saya apa ya…berat badan kali”. Tertawa.
See?
Apakah itu salah? No. Saya tidak mau bicara salah dan benar tiap seminar. Apalagi bicara tentang surga dan neraka, enggak kok.
Sebab, setiap anak dilahirkan dengan sifat, ciri-ciri, dan karakter yang unik. Setiap orang tua juga punya visi dan konsep mendidik yang berbeda satu sama lain. Apalagi kondisi lingkungan masing-masing, juga pasti tak sama.
Jadi, ketika peserta telah menyadari bahwa tugas menjadi orang tua itu berlaku seumur hidup dan harus dimulai dari rasa syukur, itu sudah cukup.
::
Kenyataannya, banyak dari kita yang belajar menjadi ayah dan ibu setelah anak pertama kita lahir kan ya. Maka, yang terjadi ya trial and error. Jatuh bangun.
Kita cari berbagai buku pengasuhan, banyak bertanya pada orang tua cara menggendong, memberi ASI dan sebagainya… sampai nglothok. Pokok persiapan semateng mungkin karena anak pertama adalah anugrah terindah yang pernah kumiliki ? *nyanyi ?
Eh begitu anak lahir, semua teori itu ambyar.
Pas tengah malam anak bangun nangis dan nggak mau tidur lagi sampe subuh, hari-hari pertama kita masih sabar. Niat jihadlah. Tapi saat menjelang 30 hari masih begitu terus, yang nangis justru kita. Stresslah.
Anak pertama gedhe, kita siap hamil lagi. Merasa sudah pengalaman, agak santai saja ya. Sudah tahulah rasanya melahirkan bagaimana, ngadepi anak balita seperti apa.
Dan begitu anak kedua lahir… taraaa, segalanya kok beda?
Terlebih ketika mulai bisa berantem, sangat aktif dan banyak keinginan. Pasal pertama dalam buku suci parenting yang kita baca bahwa orang tua tak boleh berkata negatif, terlupakan sudah. Mungkin masih diawali kata ya Allah atau astaghfirullah, tapi selanjutnya amboi.
“Astagfirullah Nak….kamu kok bandel banget siiiih. Sudah berapa kali ibu bilaaaang jangan begitu. Nggak dengar ya, apa guna telingaaa. Kamu itu makin lama makin kayak anaknya seee….tan”.
Ahaha. Salah? Enggak. Jadi orang tua itu tak mudah. Berat, saudara. Apalagi seorang ibu yang waktu kerjanya 24 jam. Mengurus anak, menyelesaikan urusan rumah, belum lagi jika terpaksa harus bekerja di luar. Maka wajar jika saat lelah dan kemudian ada masalah, rasanya seperti “melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi, terlelap dalam lautan emosi” ?
Sangat wajar. Bedanya hanya cara kita mengungkap kekesalan itu. Ada yang teriak histeris, ada yang menangis. Tentang ini, kita sendiri yang tahu ukuran dan bentuk pas-nya ya ?
::
Baiklah. Anak bapak dan ibu saya sembilan. Saya anak keenam. Iya, sembilan. Bapak saya hanya kepala KUA. Ibu saya hanya lulusan SD. Tak tahu ilmu parenting babar blas.
Anak saya dua. Anak panjenengan ada yang empat, tujuh atau bahkan delapan. Tentu kita punya cerita unik dan drama mendayu yang berbeda. Lantas, apa yang membuat kita bertahan menjalani semua, tetap waras sebagai orang tua?
Jawabannya ialah cinta dan kasih sayang.
Modal cinta dan kasih sayang ini telah diberikan oleh Tuhan kita secara gratis. Semua manusia memiliki cinta. Inilah yang tak boleh ditinggal selama mendidik anak. Karena cinta jualah, rasa syukur kita bisa tumbuh.
Maka… sungguh, tak perlu teori khusus mendidik anak, selama kita mampu terus merawat cinta ?
- Bataranila, 18.10.2019 –
luar biasa. benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada. memang kadang-kadang teori tdak sesuai dengan kenyataannya.
mantabbbb
Enggih pak