
MENJAGA KOMUNIKASI DAN IKATAN DENGAN ANAK REMAJA
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Saat ini kita dan anak-anak berada pada tempat yang sama, tapi terkadang tidak ada ikatan yang erat dan hangat. Kita dan anak-anak berada di waktu yang sama, tapi bisa jadi ada jarak yang sangat jauh. Hati terpisah. Komunikasi tersendat. Doa tak tersambung.
Penyebabnya? Banyak. Diantaranya, ketika anak beranjak remaja, orang tua lebih sering menerapkan 12 gaya komunikasi populer, memerintah, meremehkan, membandingkan, menyalahkan, mengancam, mengecap, membohongi, menasehati, menghibur, menyindir, mengritik dan menganalisis.
“Halah gini aja nggak bisa.”
“Coba pikir, mengapa kakakmu berhasil tapi kamu enggak.”
“Nggak usah banyak omong, buktikan aja kalau kamu mampu.”
“Kamu salah. Salah kok terus-terusan.”
“Eh ternyata kamu cemen ya.”
“Oooh cuma segitu kemampuanmu. Rugi dong belajar di sekolah yang SPP mahal, jadinya cuma gini. Memalukan…”
Yuk kita bayangkan sejenak. Kata-kata negatif di atas, saat ditulis aja sudah nyeret perasaan jadi krik-krik. Ini sekalian saya introspeksi, mungkin saja saya pernah mengatakan itu pada anak-anak. Bagaimana jika kalimat tersebut ditujukan untuk kita? Diucapkan oleh orang lain, untuk kita langsung dengan tekanan emosi, dengan pandangan tak ramah, dengan amarah? Bagaimana perasaan kita? Padahal kalau kita mau, kalimat tersebut bisa kita ubah lebih enak dan nyaman dengan maksud yang sama kan?
::
“Lha, nggak masalah. Toh saya dulu juga dididik dengan cara begitu. Dunia ini keras, Bro Sis. Latihan menaklukkan tantangan di luar, biar anak kita tidak lemah.”
Nah ini, latar belakang hidup memang sangat berpengaruh ya. Pola asuh yang kita terima dari orang tua dulu, pengetahuan dan sistem pendidikan yang kita alami, contoh yang kita amati dari lingkungan, perlakuan yang kita dapatkan dari tempat bekerja setiap hari setiap saat dalam jangka panjang, tentu akan membentuk pribadi dan pola komunikasi kita.
Sebetulnya apa sih yang kita dapat dengan model komunikasi otoriter dan menekan gitu? Apa manfaat pilihan kata tegas tapi kasar? Jangan sampai lho niat kita memotivasi, tapi jadinya membully. Maksud hati ingin menasehati, tapi jadinya malah melukai.
::
Begini juga. Salah satu bagian otak kita bernama reptile. Terletak di batang otak, reptile ini menjadi pusat perilaku indrawi dan naluriah. Ssst permisi, bagian ini agak serius ya.
Ngendikan Kang Paul D. Maclean, otak reptile berfungsi mengatur gerak reflek dan keseimbangan tubuh manusia terutama ketika menghadapi bahaya. Bagian otak ini akan aktif jika merasa takut, stres, terancam, marah atau lelah. Nah lho. Pada saat reptile aktif itulah, orang tidak bisa berpikir dengan tenang, justru yang berperan insting untuk langsung bergerak. Angel wis.
Maaaka, jangan kita merasa puas ketika anak mengangguk iyes-iyes aja setelah kita tegur dengan keras, kita marahi dengan kata-kata nunjes. Semakin sering kita melontar kata pedes, otak reptile akan “membesar” lho. Akibatnya parah, anak nggak bisa mikir. Ngengleng.
“Sudah diingatkan berapa kali sih, kok masih bandel aja. Tetep berbuat salah,” ya emang gitu kan. Bagaimana bisa mikir kalau ngingetinnya dengan cara mengancam, menghina atau mencaci maki dengan kata kasar? Emang ada ya anak yang bangkit dari kesalahan setelah kita umpat dan kita jlebkan dengan kata tajem? Yang ada justru makin terpuruk, membenci dan tidak menerima dirinya sendiri.
Reaksi lanjutan katanya lebih gaswat: lari atau lawan. Pernah membaca anak putus asa lalu bunuh diri saat menemui masalah yang sebetulnya kita anggap “remeh” kan? Mungkin kita pernah mendengar anak tega menyakiti orang lain dengan sangat kejam hanya karena tersinggung, kemudian berniat membela diri atau balas dendam?
Baiklah. Dampak dan contoh poin ini insyaAllah bisa kita diskusikan Sabtu 11 Maret 2023 nanti ya.
::
Nuwun sewu dulu tapi. Untuk dapat menjalin komunikasi yang baik dengan anak, memang tak ada sekolahnya, namun sangat bisa kita upayakan. Menjaga ikatan indah antara orang tua dan anak, memang tidak ada panduan bakunya, tapi ada pilihan-pilihan cara yang sangat mungkin kita ikhtiarkan.
Belajar mendengarkan dan menyimak. Tenang. Bijaksana. Tidak kesusu menyimpulkan. Tidak menghakimi. Demokratis. Terbuka. Memilih kata terbaik. Membangun kepekaan. Memberi umpan balik. Memberi pujian. Mengapresiasi. Santun. Asertif.
Kata sesepuh nih, jika yang akan kita bicarakan adalah hal penting yang bersifat teguran, sebisa mungkin jangan di depan orang lain ya. Beri kesempatan anak menyampaikan pendapat dan pembelaan, tidak semua hal yang kita lihat salah adalah benar-benar salah. Bisa jadi anak mengaku salah karena melindungi orang lain, tidak paham, segan atau tidak ingin urusan panjang.
Pas mau bicara serius, baca fatihah dulu nggih. Minimal bismilllah dan sholawat dalam hati. Aduh, ribet banget? Emang begitu. Kalau mau komunikasi kita efektif, lakukan dengan hati, Vie. Agar pesan kita sampai ke hati. Sempurnakan dengan doa, karena hanya Allah yang punya kuasa menggerakkan lisan kita. Hanya Allah yang maha sayangNya mampu melembutkan hati kita, hati anak kita. Memahamkan kita. Mengikat hati kita, dengan cinta.
Bismillah ❤️
::
- Usai rapat yang asyik sore tadi, bersama para pimpinan GM yang kereeen. Saya menulis ini seperti sedang ngaca bercermin, iya kayak bicara dengan diri sendiri. Karena sungguh, saya belum bisa melakukan semua yang saya tulis. Jadi mohon maaf ya –