Menuju Kebaikan Melalui Jalan Kemunafikan
Penulis: Ibnu Sulaim
Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang ingin dinilai buruk, meskipun pernah berkata ‘Aku tidak munafik menjalaninya’, tetap saja ada yang disembunyikan di balik itu. Seperti yang dialami Wiwit, seorang gadis yang masih menempuh perjalanan meniti kehidupannya, berperang melawan sifat munafiknya dengan bercadar. Hanya orang yang pernah dekat, yang tahu seluk beluk kehidupannya.
“Sudah, jangan sok suci. Selama menjadi bangkai, ke mana-mana akan terbau juga.”
Wiwit berusaha tegar, setiap menerima umpatan demi umpatan dari orang sekitar. Meskipun terdengar bising setiap kali Wiwit melangkahkan kakinya, tetapi Wiwit harus menerima risiko apa yang pernah dilakukan sebelumnya.
Manusia hanya bisa menilai dari apa yang pernah dilakukan, tanpa ada kemauan untuk mencari alasan, apa dan bagaimana kisah selanjutnya. Semua perjuangan tidak akan ternilai, jika belum ada buktinya. Begitulah yang dirasakan oleh Wiwit akhir-akhir ini. Cadar yang dikenakan saat ini, dengan niat meninggalkan apa yang pernah dilakukan beberapa minggu yang lalu. Sulit memang menghadapi orang sekitar yang terlanjur tahu kisah demi kisah keburukan, semua Ibadah seakan terasa hampa, tatkala berbagai macam gunjingan datang menyapa. Tanpa hati yang berpegang teguh, semua akan kembali runtuh.
“Cuih … najis, jijik, deh. Ada malaikat yang doyan maksiat. Sok-sok-an pakai cadar segala, padahal hati dan pikirannya tidak jauh dari dosa. Munafik sekali kamu, Wit!”
Wiwit hanya menunduk sewaktu berjalan di depan segerombolan lelaki yang pernah bermain dengannya. Meskipun apa yang diucapkan, Wiwit berupaya terus melangkah melawan semuanya. Inilah yang dimaksud bumbu dari kehidupan seseorang, kata ustaz Ali, waktu itu.
‘Semua orang memiliki cerita kelamnya masing-masing, tinggal sadar-tidaknya yang membedakan. Izinkan aku kembali ke jalanmu, ya Allah. Kuatkan aku melawan semuanya,’ gerutu Wiwit selalu melintas di setiap langkahnya. Bersikap telinga tak terpasang, bibir kian membisu, adalah salah satu cara untuk bisa kuat menghadapi masing-masing cobaan itu. Meski batinnya selalu mendorong untuk memberontak tindakan demi tindakan yang diterima. Namun, apalah guna dari cadar jika selalu mengikuti ego dan juga nafsu yang tidak pernah lepas menghantui perjalanan.
Empat hari berlangsung. Cadar yang melekat di wajah Wiwit masih terlihat begitu rapi, dan ternilai Solihah bagi orang asing yang baru mengenalnya. Cukup tenang, karena akhir-akhir ini yang biasa menggunjingnya sudah tutup mulut, memahami sikap dan niat yang dilakukan Wiwit, sehingga mau berpenampilan tertutup seperti anak pesantren.
Wiwit masih sedikit kaku, mau lewat di hadapan tongkrongan itu masih melirik dari jarak jauh. Trauma dengan perkataan-perkataan kotor waktu itu yang sampai sekarang masih teringat. Perlahan Wiwit melangkah, dan sontak tidak seperti kemarin. Teman lelakinya hanya fokus memainkan ponsel, meskipun sudah tahu kalau Wiwit lewat di depannya.
‘Alhamdulillah, hidayah Allah memang luar biasa. Mereka akhirnya bisa memaklumi, tidak seperti kemarin yang sangat menyakiti. Terima kasih, ya Allah,’ gumamnya menemani langkah melewati tempat tongkrongan temannya.
Musala adalah tujuan setiap paginya untuk mengkaji ilmu dari ustaz Ali. Sedikit demi sedikit apa yang belum diketahui, akhirnya bisa dipahami. Segala macam motivasi diterima, sampai mengubah sikapnya yang belum dipercaya oleh teman dekatnya. Karena, Wiwit terkenal perempuan paling nakal, dan berbagai macam maksiat sudah dilakukan, sebelumnya. Dengan itu, teman yang pernah dekat masih belum percaya dengan sikap Wiwit yang kian tertutup.
Sekitar pukul 09:15 WIB. Wiwit sudah stand by di Musala sambil menunggu ustaz dan yang lain datang.
“Kenapa laki-laki itu memandangku seperti itu?” ucap Wiwit lirih saat melihat ada lelaki yang melihatnya dari jauh. Berharap lelaki itu tidak mendekatinya agar tidak ada fitnah di tempat belajarnya, karena harus menguras tenaga untuk bisa bersahabat dengan sekitarnya. Belum lagi yang memuji kalau dirinya baik, Solihah dan berbagai macam pujian. Padahal, banyak cerita kelam yang entah dengan cara apa agar bisa mendapat ampunan Allah.
Mampukah aku untuk melangkah
Sekitarku berbondong mencercah
Hampir semua motivasi kian musnah
Jalan kebaikan sungguh membuatku lelah
*
Deg!
Wiwit tersipu melihat wajah lelaki yang gagah dengan pakaian yang rapi bak seorang Ustaz Ali. Wiwit terpanah dan menikmati kenyamanan yang diberikan Hadi, lelaki itu. Setelah empat hari kenal dan dimulai dari pertanyaan-pertanyaan tentang kepribadiannya masing-masing.
“jangan sungkan seperti itu, Kawan. Aku bukan Ustaz Ali, yang patut kamu segani,” kata Hadi saat Wiwit terlihat salting dengannya.
“Anu, e… e… Bukannya sungkan, tapi aku sedikit menjaga jarak,” jawabnya polos.
“Kalau kamu memberi jarak, kamu akan kesulitan untuk saling konsultasi, santai saja,” rayu Hadi dimulai.
Semakin dekat, Wiwit semakin terjerat. Perjalanan hidup tidak pernah lepas dari yang namanya cobaan, yang entah disadari atau tidaknya. Semakin kita terjun dalam kebaikan, cobaan akan semakin menjadi.
Wiwit tidak menyadari sikapnya sudah menyalahi niat awalnya, terjerat sudah dalam rayuan sang buaya yang berpenampilan alim, seperti halnya tidak pernah melakukan dosa. Padahal terlalu banyak wanita yang terkesima akan ketampanan dan sikapnya yang pendiam.
“Kamu rajin banget aku perhatikan, Kawan,” pesan Hadi setelah saling Save kontak.
“Aku tidak seperti yang kamu lihat, Had, aku masih berusaha untuk menjadi baik dan belajar menjadi seperti keinginan orang tuaku,” jawabnya dengan senang hati.
“Kebanyakan memang suka bilang seperti itu kalau mendapat pujian.” Hadi mengenalkan sikap buayanya yang tidak disadari oleh Wiwit. Banyak rayuan.
“Ih, aku jujur Had. Kamu masih belum tahu kepribadianku, kamu baru mengenalku.” Wiwit memberi kode agar Hadi bertanya balik tentang kepribadiannya lebih dalam.
Terlalu asyik, sampai tidak mengenal batas. Bukan karena Wiwit terlalu polos, karena memang Wiwit menanggapi Hadi agar bisa memberi motivasi yang dapat mengubah kehidupannya. Mungkin penjelasan dari Ustaz Ali kurang detail, ‘kalau akhwat tidak boleh berhubungan dengan ikhwan yang tidak ada hubungan nasab.’ Semua itu musnah terbawa angin.
Pagi-paginya, seperti biasa Wiwit lebih dulu sampai di Musala. Pertama, karena memang jadwalnya. Kedua, agar ada waktu untuk ngobrol dengan Hadi di area Musala.
Masih belum sadar, jika kehidupan belum menampar. Apa guna dari cadar, kalau maksiat masih diumbar. Bukan menyalahkan orang bercadar, setidaknya punya rasa malu kalau maksiat terus koar-koar di sekitar.
“Wiwit. Hadi. Kan sudah ada batasan antara akhwat dan ikhwan di sini. Kenapa kalian berdua masih menerjangnya? Kalian sudah saling kenal? Jangan menodai majelis yang susah-payah aku membangunnya,” tegur Ustaz Ali tanpa diketahui kedatangannya.
“Anu, Ustaz, Wiwit tadinya tanya masalah agama.” Hadi sudah membuka kebohongannya.
“Jangan menuruti nafsumu! Lebih baik mengakui apa yang sudah terjadi, daripada membohongi diri sendiri. Satu kali lagi aku mengetahui, jangan lagi hadir di majelis ini.”
Ustaz Ali meninggalkan keduanya tanpa basa-basi dan tidak menerima berbagai macam alasan. Tidak ada yang tersembunyi dari ustaz Ali, selama masih dalam lingkup majelisnya. Tidak bisa semuanya ditutup-tutupi.
Wiwit hanya menunduk setelah mendengar apa yang diungkapkan Ustaz Ali, menyesali apa yang sudah terjadi. Hari-hari sebelumnya Wiwit tidak pernah menyadari telah menerobos apa yang menjadi batasannya. Malu dengan apa yang dilakukan, dan merasa tidak pantas mau berhadapan dengan Ustaz Ali.
‘Ya Allah, betapa tidak berperaturan diri ini. Berpenampilan rapi, tapi terhadap larangan-Mu aku masih berani. Pantaskah aku dianggap baik? Sementara terhadap perintah-Mu aku tidak apik.’
Wiwit kian menangisi kehidupannya yang masih tidak terkontrol diri. Terpancing rayuan lelaki yang dianggapnya suci.
“Assalamualaikum, Kawan.” Pesan dari Hadi hanya diread. Malam ini Wiwit hanya ingin sendiri menghadapi apa yang sudah terjadi.
Air matanya terus menetes membasahi pipi, menyesali kebodohan diri yang masih lalu-lalang memperbaiki diri, malah terjerat di sarang buaya yang dianggapnya suci.
“Jangan terlalu dipikir, dibawa santai saja. Ustaz Ali pun memaklumi,” pesan Hadi masih memenuhi notifikasi Handphone Wiwit.
Wiwit hanya melirik malas terhadap handphone yang terus berdering panggilan dari Hadi. Terpuruk dengan rayuan demi rayuan yang dibumbuhi keagamaan, menjadikan kehidupan Wiwit terkapar, setelah dibuat sadar Ustaz Ali.
“Pesanku ‘tak kau balas, panggilanku ‘tak kau hiraukan. Kamu tidak akan bisa menyelesaikan masalahmu sendiri, kamu masih perlu bimbingan dari orang lain.”
Pesan yang kesekian kalinya dari Hadi masih belum ada respon sama sekali. Wiwit beranjak mengambil Handphone, langsung membuka kontak Hadi. Bukan bermaksud membalasnya, Wiwit langsung meng-klik tulisan blokir. Berharap tidak ada yang mengusik kehidupannya, sekarang dan selamanya.
‘Kamu yang membuat kehidupanku seperti awal lagi. Ternyata kamu tidak sebaik yang aku kira. Jangan ganggu aku lagi,’ lirih Wiwit ditemani isak tangisnya.
**
Embun-embun pagi kian membasahi dedaunan, disapa sang mentari yang bertugas menyinari bumi. Cuaca pagi ini sedikit panas, juga dingin sisa semalam. Namun, tidak dengan yang dirasa Wiwit, mulai semalam hingga menjelang pagi, keadaanya belum juga pulih. Meskipun di luar dingin, tapi yang di dalam terus menggebu.
Setelah semua aktivitas pagi selesai, Wiwit kebingungan. Antara berangkat berangkat ke Musala atau tidak pagi ini. Mau bersikap biasa-biasa saja, tapi batinnya tidak menerima.
“Apa bolos saja pagi ini? Tapi kata ustaz, kalau tidak ada kepentingan yang mendadak lebih baik hadir ke majelisnya,” gerutunya.
Berangkat dengan mengemban malu yang tidak bisa dimaafkan, begitu berat. Apalagi kalau sampai tidak berangkat. ‘Penuh teka-teki memang kalau dalam hal kebaikan,’ gumam Wiwit seraya menyiapkan apa yang akan dibawa.
“Tumben jam segini baru berangkat, Wit?” sapa seseorang yang biasa berpapasan setiap paginya.
“Iya, Bu, pekerjaan di rumah banyak. Ini juga baru selesai, langsung berangkat buru-buru.
“Ya sudah, Wit. Semoga sukses dan selamat sampai musala,” kata ibu tadi yang kemudian berlalu.
Wiwit merasa terpukul setelah berpapasan dengan perempuan barusan. Karena beliau sudah menganggap Wiwit berubah dari sebelumnya. Padahal, kejadian kemaren membuatnya merasa hina dari yang hina.
“Kenapa tadi malam pesan-pesanku tidak kau hiraukan? Bahkan kontakku kau blokir,” sapa Hadi di depan gerbang musala.
Wiwit menunduk terus berjalan di depan Hadi, tidak mau lagi melihat wajah seorang lelaki yang sudah menjerumuskan dirinya tanpa sadar diri.
“Wit!” Suara Hadi sontak bernada tinggi.
Wiwit berusaha menganggap biasa-biasa saja, segera menuju tempat biasanya, paling depan.
‘Tenang, Wit, kamu pasti bisa melawan semuanya,” gumamnya sambil membuka buku catatannya.
Hadi belum juga pindah dari posisinya, terus menatap lurus ke arah Wiwit. Sementara, Wiwit dari kejauhan terus menundukkan kepalanya. “Jika kamu memang tertata dalam agamanya, pasti kamu tahu alasan aku bersikap seperti ini,” ucap Wiwit lirih.
Hadi terus menatap Wiwit dari kejauhan yang tidak pernah dihiraukan. Memerhatikan gerak-geriknya, lirik matanya, juga parasnya yang anggun. Bergamis, lengkap dengan cadarnya, tapi penuh misteri di saat mengenal dan mendekatinya. Dari sekian perempuan yang Hadi kenal, hanya Wiwit yang elok dilihatnya, katanya.
“Harus bagaimana lagi aku bisa dekat denganmu, Wit?” ucap Hadi kembali beranjak ke tempat duduknya.
Pemateri sudah dimulai setelah kedatangan Ustaz Ali. Semua yang ada di majelis memulai dengan bacaan-bacaan surah Juz Amma, dilanjut doa-doa seperti biasanya. Ada sekitar enam puluh orang yang ikut pematerian Ustaz Ali. Baik yang tua dan juga tua, tetapi dengan pembatas antara laki dan perempuan untuk melestarikan apa yang sudah disampaikan.
“Di antara kalian apa ada keluhan selama mengikuti majelis ini? Jika ada, silakan diutarakan,” tutur kata Ustaz Ali di pertengahan penyampaian materi.
“Belum ada, Ustaz,” jawabnya serentak. Tidak dengan Wiwit yang kian bergelut dengan pikirannya yang semerawut.
“Wiwit sudah ada perkembangan, akhir-akhir ini?” tanya Ustaz Ali.
Wiwit hanya menatap datar, entah menjaga kesantunan, atau masih malu dengan kejadian waktu itu. Sehingga anggukan kepalanya mewakilkan, bahwa dirinya merasa baik-baik saja. Banyak sih, yang ingin ditanyakan, apalagi seperti Wiwit yang masih butuh arahan untuk kehidupan kedepannya. ‘Kapan-kapan saja, menunggu waktu yang tepat,’ gumam Wiwit.
Tatapannya masih mengarah ke buku yang dibawa, tanpa dibaca. Sehingga, berbagai macam materi yang disampaikan, terbawa angin kencang. Sementara di tempat lain, Hadi terus menggerutu sesosok Wiwit yang kian berubah. Menanti suara lembutnya yang kian enggan terdengar. ‘Aku tahu, kamu ingin menanyakan sesuatu. Namun, pikiranmu terlalu ambigu,’ gumam Hadi masih menunggu suara dari Wiwit.
Terik mentari terlihat cerah siang ini, debu-debu beterbangan dari tempat ke tempat. Tak ubahnya Wiwit yang terlihat tenang dengan keadaan tak keruan, menampung semua beban. Perjalanan melangkah kebaikan, telah ternodai, malu sama pemateri yang tahu jelas kejadian waktu itu. Apalagi sikap Hadi yang memaksakan untuk berbohong sama Ustaz Ali.
“Semoga apa yang sudah aku sampaikan menjadi berkah, dan menjadi amal yang menjadikan kita semua bisa menjadi lebih baik lagi, yang Insyaallah bersama-sama menuju jannah-Nya,”
Aktivitas kali ini selesai sudah, diakhiri dengan berbagai doa-doa dan segala macam kata mutiara dari pemateri. Tepatnya pukul 13:15 WIB. Biasanya, sudah kosong musala tempat belajar itu, tetapi kali ini tidak. Perempuan bernama Wiwit itu masih menyibukkan dirinya membaca Al-Qur’an sehabis Salat Zuhur. Sendiri tanpa seorang pun di sekitarnya.
“Kebaikan itu sering kali terbumbuhi duri-duri kesakitan, tinggal hati kita saja lapang tidaknya. Jangan juga terlalu mau dianggap baik, karena kita masih belum tahu kapan dan bagaimana kesalahan yang akan dilakukan di waktu selanjutnya.”
“Assalamualaikum, Ustaz,” sapa Wiwit tak sengaja melihat ustaz Ali ada di musala.
“Waalaikumsalam, Wit, ada apa?”
“Wiwit mau menanyakan masalah kehidupanku sendiri,” ucapnya.
“Iya, bagaimana, Wit?”
“Wiwit sudah merasa tenang dengan ajaran yang disampaikan Ustaz, sampai Wiwit bisa memakai pakaian serapi ini, Ustaz. Namun, perasaan Wiwit masih belum enak dengan perilaku Wiwit yang setiap harinya selalu melanggar tatanan Allah dalam agama, Ustaz. Apa sebaiknya Wiwit melepas cadar yang terlanjur melekat di wajah Wiwit? Agar terhindar dari sifat munafik.” Panjang lebar Wiwit menjelaskan keluh kesahnya secara peribadi.
“Sebaik-baiknya manusia masih ada juga salahnya, Wit. Tidak ada yang benar-benar sempurna bagi manusia. Kita hanya perlu berusaha dan berlomba-lomba dalam hal kebaikan, meskipun tidak jarang orang yang suka mengusik perjalanan kita. Perbaiki diri karena Allah, jangan memperbaiki diri agar dipuji, tidak baik.”
Wiwit hanya menunduk di depan Ustaz Ali. Menyadari semua nasihat yang dia terima selalu pas dengan maksud hatinya.
“Bukankah penampilanku lebih pasnya dikatakan ‘munafik’, Ustaz? Tidak sesuai dengan apa yang terlihat orang sekitar,” tanyanya.
“Menyadari jati diri itu penting, Wit. Namun, bukan untuk mengubah apa yang sudah terlaksana. Karena, sifat sempurna Hanya Allah Yang Punya,” jelas Ustaz Ali mengarahkan karakter Wiwit agar tidak terjerumus dengan kehendaknya yang hampir frustrasi.
“Terpenting, jika kita sudah menyadari akan kesalahan kita, tinggal lebih berhati-hati lagi untuk tidak mengulangi kembali,” imbuh Ustaz Ali.
Setelah beberapa menit, Wiwit pamit pulang lebih dulu meninggalkan Ustaz Ali. Berterima kasih atas semua saran dan motivasi yang sudah diterimanya.
Merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya bermerk Doraemon, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang entah mau ke mana jalan hidup selanjutnya.
“Sungguh berat memang kembali ke fitrah-Mu, ya Allah. Berbagai macam rintangan sudah aku anggap teman dalam perjalanan, bahkan cara menghadapinya perlu hati sabar tanpa perlu terlihat tenar. Berikan aku kekuatan agar bisa melangkah dengan tenang, dan ringankan segala cobaan yang Kau berikan, ya Allah.”
Selesai Salat Isya, Wiwit menengadahkan tangan memanjatkan doa-doa penuh penyesalan.
“Kamu tidak akan mampu menjalani dengan sendiri. Kamu masih butuh bimbingan seseorang, Wit.”
Pertengahan munajatnya, tiba-tiba saja Wiwit terbayang sosok malaikat yang penuh maksiat, Hadi. Padahal sebelumnya, dengan sekuat tenaga ia telah berusaha menyingkirkan bayangan wajah dan tutur katanya yang lembut itu. Masih saja bisa masuk dalam pikiran tenangnya, tanpa diundang sekali pun.
‘Sungguh indah rencana Allah untuk mengubah kehidupan hamba-Nya. Memang butuh perjuangan yang benar-benar mengeluarkan tenaga,’ gumam Wiwit dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub terhadap apa yang ia rasakan akhir-akhir ini.
Wiwit berusaha kembali ke aktivitas awalnya, setelah merasa terganggu pikirannya yang tiba-tiba teringat Hadi. Bacaan Istigfar dan berbagai macam doa-doa untuk menormalkan kembali, mencoba membiasakan agar tidak terlalu berlarut dalam angan-angan yang akan membubarkan perjuangan dirinya seraya banting tulang.
Wiwit langsung meraih handphone dan membuka aplikasi berlogo google menelusuri wejangan agar hati dan pikiran tenang. Maklum, masih belum punya arahan, sehingga mencari doa pun berguru sama mbah google. Setelah meng-klik yang dicari, Wiwit mencatat doa yang terpampang, Selawat Tibbil Qulub. Berharap dengan doa itu keadaannya lebih tenang daripada berguru sama orang yang dianggap suci, ternyata hanya pengoleksi rayuan hati.
Terkadang, aku merasa iri sama mereka
Istiqomah dalam semua ibadahnya
Bahkan seluruh hidupnya dipertaruhkan pengabdian terhadap-Nya
Jalan mana lagi yang harus aku cari demi hidayah-Nya
Terkadang, terselip kata menyerah
Orang sekitar bersorak ‘jangan kalah’
Melangkah tak tahu arah
Bahkan, terjungkal pun tak dapat berbenah
Bisakah aku melanjutkan perjalanan ini
Semakin hari kian ‘tak tahu diri
Berpakaian rapi, tapi tak terkontrol diri
Menipu orang sekitar, menerima ribuan puji
Akankah kisah kelam itu terulang lagi
Yang terkadang mengingatnya geli sendiri
Berfoya-foya ‘tak kenal Sang Ilahi
Namun, jiwaku tak kuat menjalani
*
Siang berganti malam. Semilir angin menyelimuti rebahan Wiwit. Tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan selain rebahan dan handphone yang digenggam. Sedikit meng-update curahan yang tak bisa dipendam.
“Hidup itu indah dan nyaman jika kita lakukan dengan hati lapang. Akan terasa sesak dan berat, jika melakukannya dengan keterpaksaan yang sering kali kita keluh-kesahkan. Lakukan yang terbaik, kalau kita ingin menjadi hamba yang bermanfaat.”
Terasa sedikit lega setelah menyampaikan isi hatinya di status Facebook. Berulang dia membaca tulisan dari dirinya yang membuatnya terheran-heran sendiri sampai bisa mengetik serapi dan seindah yang tak pernah diduga. Apalagi ada salah satu akun yang memberi tanggapan super, menjadikan dirinya baper, terkeper-keper. Hahaha.
Selang beberapa menit setelah men-scroll Facebook-nya, tiba-tiba ada notif dari nomor yang tak dikenalnya.
“Apa kabar, Wit?”
Wiwit langsung mengecek siapa pemilik akun yang berprofil anime santri. Bertanya-tanya siapa dan siapa yang mengirimkan pesan dari nomor tak dikenal.
Pesan itu hanya di-read, kembali ke apk Wattpad, sedikit mencari pengalaman dari kisah-kisah fiksi yang hampir sama dengan kehidupan yang dijalani.
“Balas dong! Aku cuma ingin tahu kabarnya,” pesannya lagi dari akun tak dikenalnya.
Setelah membaca pesan tersebut, Wiwit langsung mengarah ke satu nama yang pernah ia kenal. Mungkinkah akun itu milik Hadi?
Lagi dan lagi. Bersikap cuek demi niat yang dimulai dari awal agar tidak terjerumus lagi terhadap kejadian yang sangat memalukan itu. Dengan percaya diri, Wiwit kembali membuka pesan dari nomor itu, dan mencari tulisan blokir untuk menghapus semua bayangan yang tidak ingin lagi terulang.
“Kuatkan aku, Tuhan. Jangan biarkan kejadian yang berlalu, terulang. Strong girl.” Caption Wiwit di status Whatsapp. Di media mana pun yang dimiliki Wiwit, berisikan curahan-curahan, penuh harap bisa melepas beban yang menyesakkan dada, agar supaya terasa sedikit lega.
Dia merenung. Menarik napas dalam-dalam sembari melantunkan zikir perlahan. Mencari ketenangan dengan kondisi pikiran yang terdengar seperti keramaian, memerlukan perjuangan yang menguras tenaga. Meskipun begitu, Wiwit pantang menyerah dan terus melangkah demi angan yang terlanjur terbang di atas angkasa.
‘Kamu mampu, Wit. Kamu pasti bisa. Jangan menyia-nyiakan perjuanganmu, Wit. Kamu berada di jalan yang tepat. Demi kehormatan nama perempuanmu, perjuangkan,’ gumamnya.
Wiwit beranjak ke kamar mandi, mengambil Wudu setelah terlalu nyaman dengan untaian-untaian motivasi yang keluar dari angannya sendiri. Karena, tidak semua perempuan bisa mempertahankan cadar yang berlambang kesholiha-han.
Seperti biasa pada aktivitas paginya, Wiwit berangkat ke Musala. Namun, dengan keteguhannya Wiwit berusaha melangkah tanpa memedulikan sekitarnya. Cukup sudah cacian dan pujian yang kian menggoyahkan perjalanannya. Menyapa jika disapa, tetap dengan tatapan mendatar tak pedulikan sekitar.
Begitupun orang sekitarnya, sudah memahami keadaan Wiwit yang terlatih demi masa depannya. Orang sekitar acuh tak acuh saat Wiwit berjalan menuju Musalla setiap paginya.
Inilah kehidupan. Yang dihadapi terlihat sangat menantang tatkala kita mau menuju kebaikan, disertai berbagai macam cercaan. Tanpa kita terjang, angan akan tetap melayang. Namun, semakin kita menerjang dan berani menghadapi, semua akan terlihat biasa-biasa dan nyaman di hati.