Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Engkau yang terus tumbuh berpikirlah tentang rubuh. Engkau yang terus terbang berpikirlah tentang hinggap. Engkau yang terus menyelam berpikirlah tentang rembulan”.
“Berpikirlah pada hal-hal di luar apa pun yang sedang jadi fakta”.
Dhawuh Bapak Triyanto Triwikromo – 23.10.2017 –
::
Saya menggenggam erat beberapa nasehat dari para guru kehidupan sejak dulu, meski banyak yang baru saya pahami sekian tahun kemudian. Nasehat yang kadang terlihat jauh, tapi sesungguhnya sangat dekat dengan urip kita.
Ngendikan di atas, membuat saya berusaha menikmati semua yang sedang saya alami, tapi tidak terlalu berambisi dalam mengejar impian pribadi. Semangat, tapi tidak ngoyo. Sebagian besar waktu saya justru untuk orang lain dan lembaga yang saya dampingi. Para pengasuh dan pengurus pesantren hapal jadwal saya membuka group masing-masing dan merespon WA penting.
Hanya sekian persen dari pendapatan saya yang tercup untuk kebutuhan pribadi. Saya, untuk apa sih? Paling makan, sesekali beli baju murah dan nonton. Pengeluaran terbesar justru untuk yang bukan kebutuhan pribadi. Termasuk untuk membantu a, b, c dan menabung. Kalau menabung, memang harus ya.
Dengan pola begitu selama bertahun-tahun, saya sudah geer telah menjadi anak yang melaksanakan amanah kedua orang tua. Ternyata tidak. Belum.
Dan kemarin, saya mendapat nasehat lanjutan dari adik dan kakak saya. Iya, kakak dan adik sekeluarga datang sambang saya selama sepekan. Bayangkan betapa bahagianya kerawuhan pengganti kedua orang tua, dua guru jiwa yang selalu adem dan bening. Saya merasa dapat berkah yang luar biasa. Tapi ya itu tadi, saya juga dapat sentilan dan tamparan yang membuat jedug-jedug. Bahkan beberapa kali mewek.
::
“Kapan panjenengan berhenti ngluyur? Kapan mulai fokus ngopeni santri, Ning?”
Saya klakep. Saya bukan Bunyai. Saya tidak punya santri. Hanya ada sedikit anak di Al Ghozali, jatah ngaji saya hanya kitab tipis. Itu pun sering absen.
“Masih ingat amanah Abah dulu, Ning?”
Saya makin menunduk dalam, lalu menangis pelan.
“Apa yang panjenengan cari, Ning. Saya baru tahu, sebegitu sibuk dan beredarnya panjenengan. Buat sebagian orang, mungkin itu keren. Tapi buat keluarga kita, itu aneh. Sebaiknya sembunyi saja, tiarap. Berhidmah pada keluarga dan menjalankan amanah-amanah Abah.”
Saya mau nggeblag. Beneran, saya dilarang keluar ngiter lagi? Saya nggak berani membantah meski ingin. Iya, saya ingin protes, “Bukankah amanah Abah dulu, sebisa mungkin semua anaknya jadi orang bermanfaat tanpa menyebut spesifik harus jadi apa dan dimana, Dik?” Tapi ya mbatin aja, nggak berani ngucap. Khawatirnya saya malah balik ditanya, “Emang yakin selama ini sudah jadi orang bermanfaat? Yakin, yang njenengan lakukan selama ini tidak kecampur niat dan tujuan lain?”
::
Malamnya masih ada bonus dhawuh, “Pikirkan anak cucu juga ya.”
Saya nggak mudheng ngendikan adik sekaligus guru saya ini. Untungnya kakak membantu menerjemahkan, “Kalau tidak salah maksud adik begini nggih. Meski rizki sudah ada bagian masing-masing, tapi sebagai orang tua panjenengan sebaiknya menyiapkan bekal untuk anak cucu. Bukan dalam bentuk warisan harta benda yang bisa habis atau jabatan yang dapat lepas. Tapi yang terpenting justru menyiapkan kondisi ruhiyah dan keistiqomahannya. Maka ikhtiar mendidik keluarga tak boleh berhenti. Laku doa, mujahadah dan tirakat harus kenceng untuk anak cucu. Kalau belum bisa optimal mendidik dan tirakat, jangan ‘dihabiskan’ jatah kecermelangan panjenengan. Sisakan untuk anak cucu.”
Saya menatap kakak sambil menggeleng pelan. Tak paham dua kalimat terakhir.
“Dik Evi, semua orang tua ingin anak-anaknya punya nasib lebih bagus dan lebih beruntung dari kita kan? Dampingi, didik dan doakan selalu. Tapi perlu juga kita punya batas pencapaian. Kasihan jika anak-anak tidak bisa ‘mengejar’ kita. Kalau kita tiada nanti, bisa membantu apa? Tak mungkin terus menyuapi atau menuntun. Maka disamping 3 ikhtiar agar anak-anak mandiri tadi, segeralah buat batasan dengan sadar. Kapan panjenengan “berhenti”. Kapan panjenengan stop untuk satu dua hal, dan mengatakan pada diri sendiri: cukup.”
Saya mengangguk tadzim. Paham. Jika bisa terus bermanfaat untuk sesama, memang bagus. Tapi menjadi teladan keluarga juga harus. Meninggalkan jejak untuk kebaikan bagi lingkungan dan bidang tertentu itu mulia, tapi memenuhi hak dan amanah keluarga juga harus optimal.
Seperti ngendikan Gus Baha, “Tak bisa sholeh sendirian. Tidak cukup. Harus ditopang dengan kesholehan anak cucu. Apa artinya kita sholeh kalau anak cucu kita tidak sholeh?”
::
Apalagi saya yang belum baik dan sholihah sama sekali ini, Gus. Jika saya tiada nanti, siapa pun bisa menggantikan tugas saya. Bahkan bisa jadi kinerjanya lebih baik dari saya. Begitu saya wafat kelak, mungkin satu dua posisi saya langsung diisi yang lain. Dan plaaas, orang-orang akan dengan mudahnya melupakan saya.
Tapi…kenangan baik apa yang ingin saya tinggalkan untuk keluarga? Keteladanan seperti apa yang saya wariskan pada anak-anak? Ketangguhan seperti apa yang akan saya ajarkan pada mereka? Benarkah selama ini saya sudah mendidik anak-anak dengan baik? Sudahkah saya menyiapkan mereka untuk istiqomah dan memiliki daya juang bagi hidup dan amanahnya kelak?
Begitulah. Kehadiran adik dan kakak membuat saya makin dalem instrospeksi. Matur nuwun nggih. Saya sudah semendal. Niat manut pun, asal suami, anak-anak dan adik ridla 🙁
::
Update: Lha kok ternyata saya ketamon 20 kyai dari beberapa pesantren di hari berikutnya. Sepertinya adik lalu mikir lagi untuk meminta saya anteng tungguk thuthuk. Terbukti ngendikannya kemudian bergeser di hari selanjutnya. Tidak berubah, tapi lebih alus.
Wis besok lagi saya tulis. Ini udah kepanjangan ya 😅
.
Bataranila, 24 Juni 2022.
.
📷 Adik, istri dan putra-putrinya.
Masya allah tabarakallah