Menumbuhkan Kecerdasan Holistik Anak: Menghargai Potensi Emosional dan Spiritual selain Intelektual
3 mins read

Menumbuhkan Kecerdasan Holistik Anak: Menghargai Potensi Emosional dan Spiritual selain Intelektual

Oleh: Rudi Hantono, S.Pd.I

Sangat manusiawi manakala orangtua menginginkan tumbuh kembang sang buah hatinya menjadi anak yang cerdas. Selain bisa baca, menulis, dan menghitung, juga dapat menguasai segala macam kompetensi. Namun demikian, tidak dibenarkan manakala orangtua memaksakan keinginannya terhadap anak.

Semua orangtua pasti menginginkan dan memberikan pendidikan dengan kualitas terbaik pada anaknya, tidak boleh tidak. Hal ini sebagai wujud harapan mereka agar anak-anak kelak dapat memiliki wawasan yang luas untuk keberlangsungan hidup di masa mendatang.

Oleh karena itu, acap kali orangtua memberi dorongan pada anak agar giat dan rajin belajar. Hal ini tentu sangat baik untuk mendukung proses tumbuh kembang anak. Akan tetapi, cara atau pendekatan yang dilakukan oleh mereka terkadang berlebihan. Mengatasnamakan support untuk belajar, mereka gunakan kekerasan atau ancaman bahkan jadwal les privatnya sampai full seharian. Bukannya timbul semangat belajar, anak justru merasa dijajah dengan alasan demi kebaikan.

Ketahuilah bahwa anak juga butuh eksplorasi bermain dan dunia bermain juga dapat dijadikan sebagai media belajar. Dan juga, anak beprestasi bukan hanya sekadar kompetensi akademiknya tinggi. Jangan sampai menuntut anak untuk berprestasi di bidang akademik hingga membuat mereka stres.

Mengutip dari ungkapan Ustd. Rosyidah, M.Pd, Wakil Kepala Bagian Kurikulum di Raudlatul Athfal Khadijah 46 bahwa fenomena yang terjadi kebanyakan orangtua terlalu fokus pada kecerdasan intelektual daripada kecerdasan yang lain. Padahal kecerdasan itu dibagi tiga, ada kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Ketika kita amati 90% yang dikembangkan dalam kurikulum sekolah itu kecerdasan intelektual dan itu merupakan wujud atau bentuk daripada harapan umum, yakni para orangtua. “Mereka (orangtua) lebih panik kalau anaknya tidak bisa baca, tidak bisa menulis dengan baik, dan tidak bisa menggambar bagus serta mewarnai kurang rapi,” imbuhnya.

Padahal ada kecerdasan lain yang harus ditingkatkan dalam diri anak, yakni utamanya kecerdasan emosional. Bagaimana anak itu bisa berempati pada lingkungannya, saling berbagi dengan temannya, punya rasa kasih sayang terhadap makhluk ciptaan Allah yang lain. Contoh sederhananya ketika anak tertib mengantri, itu merupakan satu tanda bahwa anak mempunyai kecerdasan emosional yang patut diberi apresiasi. Harapannya, anak-anak dapat terus tumbuh dan berkembang maksimal mengoptimalkan kecerdasan masing-masing.

“Jangan pernah membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain, anak kita terbaik menurut versinya sendiri bukan menurut orang lain.” Ungkapan ini nyaris selalu diungkapkan oleh Ustd. Siti Nurfiyah, S.Pd.I, Kepala RA Khodijah 46 di setiap momen pertemuan dengan wali murid. Artinya, sebagai orangtua jangan terlalu memaksakan kehendak menyejajarkan anak dengan anak lain yang jelas berbeda. Jika ada anak lain dengan kecerdasan intelektual dan IQ lebih tinggi, mungkin saja anak kita sendiri memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik daripadanya.

Pada intinya, setiap anak memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda. Sebagai orangtua wajib membersamai tumbuh kembangnya dengan mengoptimalkan kecerdasan yang ia miliki tanpa harus membanding-bandingkan dengan yang lain.

Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sakit hati kalau dibanding-bandingke.

RA Khadijah 46 berkomitmen untuk terus mengawal hal ini. Stop membandingkan kelebihan dan kekurangan. Di bawah komando Ustd. Siti, orangtua dan guru fokus membersamai proses belajar mereka sebaik mungkin tanpa unsur paksaan. Semoga ikhtiar ini dapat mengantarkan anak-anak tercinta pada proses belajar yang menyenangkan sekaligus manfaat yang panjang. Aamiin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *