Penulis: Ning Evi Ghozaly
Pertengahan bulan Pebruari 2022, saya di WA Gus Bobi Ahmad Khubby Ali R dengan melampirkan nama-nama dalam daftar lembaga pengurus PBNU baru, “Selamat ya…”
Saya hanya krik-krik. Ngapunten ya, Gus. Nggak mungkin aja. Saya ini remahan rengginang, kok tiba-tiba nyebrang nJakarta. Pasti itu ada orang lain dengan nama sama. Iya ada nama persis. Perempuan, sendirian. Diantara 8 nama para doktor, profesor dan Gus. Lalu Mbak Madiana Havidz juga kirim link, “Nama Evi Ghozaly di dunia akhirat hanya satu. Iki mesti sampeyan.” 😅🤪
Saya asrep anyep. Wong nggak ada yang menghubungi saya babar blas lho. Nggak ada pemberitahuan sama sekali. Jadi itu pasti orang lain. Nggak mungkin saya. Apalagi masih draft. Eh sahabat di B’ IKNU Ning Eva Ali juga kasih kabar, “Di Maarif PBNU ya. Selamat.” Tup tup. Banyak yang WA. Mohon maaf ya, saya nggak tahu harus ngrespon bagaimana. Saya nggak mau geer, apalagi kemudian ada seorang guru yang komen di salah satu group, “Susunan pengurus yang beredar itu hoax.”
::
Nah. Beberapa hari lalu pas pelantikan di Cipasung, Prof. Alamsyah warek I UIN Lampung japri, kirim lembar SK dan absen, “Ini ada nama panjenengan, Ning.” Saya tritili. Jadi ada 25 nama. Para tokoh dan pakar pendidikan, dirjen juga rektor dan pengelola lembaga besar. Ada 4 lagi perempuan kereeeen. Saya mengkeret. Prof.Alam ngendikan lagi, “Saya sudah nanya sekretaris. Itu bener.”
Akhirnya saya beranikan matur Gus Yahya ketum PBNU. Jawaban beliau, “Memang njenengan. Di Maarif.”
Makdeg. Pyar. Beneran? Duh, kalau sudah guru kyai yang dhawuh, ya harus siap. Saya harus siap mohon bimbingan, arahan dan siap belajar lagi. Beberapa menit saya ngengleng. Ndredeg. Apalagi setelah ada yang memasukkan nama saya ke group LP Maarif PBNU. Saya minder poll.
Abi M Haris Sukamto menenangkan, “Di Maarif, Um. InsyaAllah programnya mirip dengan yang selama ini njenengan lakukan. Melatih guru dan murid, turun lapangan, membina sekolah. Ikhtiar memperbaiki kualitas pendidikan. Tentu untuk skala lebih luas nggih. Mungkin tantangannya lebih berat dan lebih banyak. Tapi kan njenengan bisa sinau pada pengurus lainnya. Bismillah mawon.”
Saya diam. Satu lagi masalah, saya kan buta arah. Nggak bisa jalan sendiri, apalagi ke Jakarta. Buat saya nama Jakarta itu ampuh, besar dan jauuuuh segalanya. Nggak kesentuh. Jadi banyak kruwel-kruwel di kepala saya. Membayangkan ketidakmampuan saya begini begono.
::
Kemudian anak sulung kirim kabar, “Alhamdulillah Um. Beberapa hari lalu ada panggilan dari Jakarta. Tanggal 4 April sudah harus mulai kerja. Mohon doa nggih.”
Kuwaget. Jian, baru ngabarin saya setelah beberapa hari dapat panggilan. Ke Jakarta? Alhamdulillah ya Allah. Hadza min fadli rabbi.
Dulu, menjelang anak-anak kuliah di Malang, kok ya mak bedundug jadwal saya ngisi materi banyaaak yang arah Jawa Timur. Berderet selama beberapa tahun. Sampai si sulung sidang skripsi, saya bisa rutin ke Malang dengan alasan indah dan syar’i. Tiap bulan. Sambang anak, sowan pesantren binaan, ziarah Abah Umik dan sungkem para guru, belajar bareng di sekolah dan kampus sekitar. Tentu dengan ijin anak mertua.
Sekarang, saat ada amanah baru dan kesempatan belajar untuk saya di Jakarta, kok ya Gusti Allah juga mengirim anak kami ke Jakarta. Wah jadi ada teman nih, ada lelaki berambut wangi yang nyegat di ngGambir dan ada kosan tempat nunut tidur.
Benar. Allah telah memberikan sepatu yang kuat, sebelum kita digerakkan menempuh perjalanan panjang. Manut saja kersaning Gusti, nanti kan ada jalan keluar ya. InsyaAllah. Meski jujur masih banyak ketakutan. Bismillah. Laa quwwata illa billah.
::
Amanah lain, hari ini saya dilantik menjadi pengurus Komisi Nasional Pendidikan Indonesia untuk wilayah Lampung. Bersama pengurus lain dari 14 propinsi, serentak. Setahu saya, sebagian besar anggotanya adalah pengurus Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia yang saya gabung di dalamnya sejak 2009. Banyak guru dan sahabat di sana, jadi nyaman. Bismillah.
Di organisasi lain saya hanya penderek, tapi seneng karena bisa ngalap berkah para Bunyai. Di RMI Putri, di JP3M (Jam’iyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighah) , di Bunyai Nusantara, dan lainnya. Dengan amanah yang semoga saya bisa ngugemi.
Terus, amanah utama saya bagaimana ya? Bisa terlaksana nggak? Sebagai istri dan emak, saya ceklis sendiri deh, woke haha. Amanah di luar? Nuwun sewu, saya berusaha menjalani sebaik mungkin untuk yang “profesional”. Konsultan pendidikan di beberapa sekolah Nasional Plus, penjamin mutu di beberapa lembaga, pengurus yayasan pendidikan dan pesantren, ketua LPM di satu kampus dan tukang ndongeng tentang pendidikan atau parenting.
Yang bisa saya tuntaskan, biaunillah done. Alhamdulillah. Terutama yang dengan janji hanya beberapa tahun, pasti dikejer program. Ada batas waktu. Sebisa mungkin kecape target, apalagi selama pandemi lebih banyak daring.
Untuk yang belum sesuai harapan, saya mohon maaf banget. Mohon maklum. Mohon pengertian nggih. Apalagi untuk wilayah yang jauh dan di pelosok, semoga segera ada gantinya. Suatu saat, pasti akan ada yang saya lepas. Dengan semakin beragamnya ilmu baru, saya pasti ketinggalan jauh. Semakin banyak guru pelopor yang lebih kreatif dan inovatif, keberadaan saya tentu menjadi tidak diperlukan lagi.
Pada akhirnya, saya akan menua. Harus siap lengser untuk satu dua tiga amanah. Seiring dengan keterbatasan fisik dan ilmu, keterbatasan waktu dan pikiran, saya harus tahu diri. Menyerahkan beberapa amanah pada yang lebih muda dan berkompeten.
Demikian. Mohon doa nggih agar saya bisa istiqomah, sehat, selamat dunia akhirat dan sisa usia saya bermanfaat. Mohon doa agar Allah menguatkan saya dalam mengemban amanah. Mohon pangestu semua. Allahumma shalli alaa sayyidina Muhammad.
.
- Aula K Unila, 29 Maret 2022 –
Comments