Orang Alim yang Tidak Dapat Dikatakan Alim
3 mins read

Orang Alim yang Tidak Dapat Dikatakan Alim

Oleh: Ustd. Astutik Maimuna, M.Pd

Beberapa kali telah diberitakan kejadian perkara orang berilmu yang menjadi pemimpin, tetapi justru terjerumus ke dalam lembah hawa nafsu. Kenyataan bahwa sekadar berilmu tidak menjamin seseorang dapat terlepas dari godaan hawa nafsunya. Terkadang, justru kebodohan yang dapat menghindarkan dari hawa nafsu tersebab ketidaktahuan. Alih-alih menyelamatkan, kepandaian seringkali justru menjadi titik lemah manakala dihadapkan dengan kenyataan. Mengapa demikian? Sebab orang pandai merasa dirinya mampu lalu sombong, saat sombong itulah ia mulai terjebak pada hawa nafsu baik disadari atau pun tidak.

Jika menelaah sumber agama, al-Qur’an dan al-Hadits menyebutkan bahwa nafsu adalah suatu sifat memanjakan keinginan diri sendiri. Mayoritas ulama mufakat bahwa nafsu itu satu, tetapi terbagi menjadi tiga keadaan sifat, yakni Ammarah, Lawwamah, dan Muthmainnah.

Ammarah, suatu sifat dimana seseorang cenderung melakukan perbuatan buruk dan kezaliman. Seseorang yang dikuasai nafsu Ammarah seakan mati rasa hingga apapun yang dilakukan dianggapnya semua wajar dan benar. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku,” Surah Yusuf ayat 53.

Lawwamah, suatu keadaan dimana seseorang terkadang menyadari kesalahannya dan menyesal. Namun, penyesalan ini terus berubah-ubah dalam satu keadaan dan keadaan lainnya. Adakalanya ketika penyesalan datang, nafsu Lawwamah menggiring seseorang ke dalam penyesalan yang cenderung menyalahkan diri sendiri. sifat penyesalan/menyesali yang terkadang berubah-ubah dari keadaan satu menuju keadaan lainnya hingga ketika merasa menyesal cendrung menyalahkan diri sendiri. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam firmannya surah al-Qiyamah ayat 1 dan 2.  

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (nafsunya sendiri”.

Mutmainnah, keadaan dimana seseorang dapat menguasai nafsunya dengan baik sehingga cenderung taat terhadap perintah. Keadaan ini dapat membawa rasa tenang dan damai dalam hati pemiliknya. Ada? Ada. Allah jelaskan dalam firmanNya  surah al-Fajr ayat 27 dan 28. 

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridaiNya”.

Dalam hal menjaga hawa nafsu ini, selain al-Qur’an banyak pula kitab-kitab terdahulu yang membahasnya seperti Syarh Al-Hikam karangan Al-Imam Asy-Syaikh Ibn ‘Athaillah As-Sakandari. Beliau mengaitkan tentang hawa nafsu dengan pentingnya menjaga persahabatan. Bersahabat dapat menambah jangkauan relasi pergaulan dan meniadakan hidup dalam kesendirian sebab pergaulan dapat menumbuhkan rasa solidaritas. Namun, menjalin persahabatan tentu perlu memilih dengan siapa akan bergaul karena pengaruh besar dan dampaknya pada kehidupan di masa akan datang. Bergaul dengan orang tidak baik akan meninggalkan bekas yang merusak dan menghamburkan kesucian. Sebaliknya, bergaul dengan orang yang berilmu tentu dapat mendatangkan kebaikan-kebaikan lainnya. 

Berikut kutipan langsung dari Syarh Al-Hikam yang membahas tentang persabatan. “Engkau bersahabat dengan orang bodoh, tetapi tidak mengikuti hawa nafsunya maka itu lebih baik bagimu daripada engkau bersahabat dengan orang alim yang masih suka mengikuti hawa nafsunya. Tak mungkin ilmu dimiliki orang alim apabila ia menyenangi hawa nafsunya dan dimana letak kebodohan orang bodoh yang tidak mengikuti hawa nafsunya”.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa memilih teman bergaul sangat penting untuk menentukan sifat seseorang agar terselamatkan dari godaan hawa nafsu. Oleh karena itu, memilih teman dalam bergaul haruslah dilakukan dengan kehati-hatian. Dampak dari pergaulan yang telah dipilih kemudian menyisakan dua pilihan saja, terangkat pada tingkat maqam ketaatan atau justru terjerumus ke lembah maksiat dan kerusakan.

Apabila lingkaran pergaulan sudah dalam kondisi baik maka langkah selanjutnya yang bisa dilakukan untuk menjinakkan hawa nafsu adalah dengan memperbanyak riyadah dan mujadalah. Dengan menguatkan riyadah dan terus menerus mujadalah maka seseorang akan sampai pada maqam tertinggi secara bertahap, yakni maqam ma’rifat. Apabila telah sampai pada tingkat ma’rifat niscaya kepentingan duniawi tidak lagi berarti dan hanya senantiasa menomorsatukan Allah semata. Dalam kondisi seperti ini menandakan bahwa seseorang telah berhasil mengalahkan nafsu Ammarah dalam dirinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *