PESANTREN DAN TARIAN MODERNITAS
6 mins read

PESANTREN DAN TARIAN MODERNITAS

Oleh: Andre Dimas Fernando Putra *)

Fase hidup seorang anak yang dibesarkan dengan didikan khas pesantren. Ihwal cerita dan gaya hidup yang cukup sederhana, ala anak-anak seusianya. Ba’da Asar berangkat ke langgar –surau tempat belajar mengaji pada kiai atau ustadz— melantunkan nadhom dan shalawatan. Beranjak dewasa, berawal dari niatan kedua orangtua yang juga alumni pesantren, hal nomor wahid adalah melanjutkan pendidikan agama di pesantren sebagai dasar mencari ilmu tuhan. Terbayang dalam imajinasi, bagaimana serba-serbi kehidupan sebagai seorang santri. Memasak nasi, mencuci, dan bangun sepertiga malam hingga seabrek kegiatan pesantren yang buat pusing tujuh keliling. Semua itu adalah satu bayangan nyata yang akan dialami. Alhasil benar, namun semuanya dijalani dengan dasar keikhlasan.

Cukup, tulisan di atas hanyalah pembuka. Penulis hanya ingin menuturkan kembali ulasan dari sekian banyak tulisan tentang pesantren dan modernisasi. Kira-kira persis dengan metode tutur (storytelling) ala Simont Swift tentang sastra ciptaan Hanna Arent (1906-1975). Ceritanya hidup dan dapat dinikmati se-klimaks mungkin meski tak sebagus tulisan dan esai kebanyakan.

Acap kali kami melihat, pesantren sesekali menjadi issue seksi. Terbit dalam salah satu head line media cetak, jurnal, esai dan tulisan-tulisan ilmiah. Bahkan tak kalah ngerinya saat kita ketik “pesantren” di kanal-kanal media sosial, berjibun videogram, serta pesan gambar beraroma pesantren. Ya, ada yang memandang positif terhadap pesantren dan tidak kalah banyak pula selentingan negatifnya. “Aku sebagai orang yang pernah di pesantren, muak sekali dengan yang begini-beginian,” Isak kawan satu kontrakan.

Penulis sadar, dirinya tak sekonyong-konyong dan baperan. Sebelah barat, berbicara pesantren sebagai mercusuar NKRI. Di timur, berdalih bahwa pesantren ditodong sebagai lembaga reproduksi kelompok radikal. Demikian suara silang-sambut yang tak nyaman didengar, tak mirip lagu bertajuk Holiday lantunan grup band barat System of Down. Aliran musiknya rock and roll sih, namun mendayu dan enak didengar. Kita yang berada di atas alam sadar, tak perlu tertawa bergulung-gulung sembari membendung getir. Itu sudah biasa, “Ya tepatnya, hari ini pesantren di-setting sebagai public enemy”.

Korelasi negatif dan positif ini hanya daun dari rampai, pesan yang paling fundamental adalah cipta. Membentuk satu akal budi yang ideal, beranjak dari mimpi dalam tidur yang terlalu nyenyak. Mengingat, tantangan pesantren hari ini bukan hanya perkara gibah dan narasi yang dibuat-buat. Dibukanya kran modernisasi menambah antrean pekerjaan dapur kita untuk segera diselesaikan.

Tak elok jika terlena dan mendamba, modernisasi seakan tuhan yang digandrungi manusia milenial. Tak kenal media sosial dianggap norak dan ketinggalan jaman. Berubahnya model gaya hidup yang instan, dengan polesan trend fashion dengan kiblat korean style. Belum lagi, kebangkitan sistem ekonomi kapital, hadir sebagai pelengkap tercerabutnya tatanan moral dan sosial. Nilai-nilai budaya dan tradisi kita sengaja dihembus oleh tradisi barat yang nyinyir. Keterpurukan ini tak cukup pada satu narasi pendek dari luar. Era 4.0 bukan sekedar idiom yang tak banyak orang tau. Bonus demografi yang luar biasa pada milad Indonesia seratus tahun, bak kucing dalam karung. Nafas ini terbirit, membayangkan kehidupan masa depan yang lebih membabi-buta.

Ada satu kaidah sosial yang sedikit saya ingat dari tokoh panutan, guru bangsa yang plural, fleksibel, dan luwes. Kalau tidak salah bunyinya “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih” yang artinya menghindari kerusakan diutamakan atas upaya membawa keuntungan dan kebaikan. Begitu kira-kira dawuh Kiai Abdurrahman Wahid, Idola saya yang sering disebut tokoh kontroversial oleh orang-orang yang gagal menyambut kepentingan sektoral. Maklumlah, manusia sekaliber guru bangsa itu tak mudah ditafsiri oleh manusia abal-abal.

Dari ilusi dan berujung pada proses berfikir ulang, satu hal yang mesti dilakukan santri sebagai simbol dari pesantren. Mereka harus mampu meneladani ajaran dan tradisi keagamaan sebagai pondasi berbangsa dan bernegara. Pesantren adalah satu lembaga ideal yang mengajarkan kepada kita bagaimana hidup sebagai manusia yang kritis dan memiliki kekuatan nalar yang progresif.

Di pesantren, banyak sekali nilai-nilai yang secara materiil tidak mengandung makna bahkan biasa saja, tidak ada nilai lebih. Tanak Tomang —memasak dengan tungku dan kayu bakar— misalnya, salah satu kegiatan santri yang lumrah dilakukan bahkan sudah menjadi kebiasaan. Ternyata, selain ada nuansa kemandirian dan keuletan mengatur belanja kebutuhan, kebersamaan dan menghargai sesama bisa kita petik dari kegiatan ini.

Mengatur waktu dengan sederet kegiatan yang cukup padat bukan perkara gampang. Contoh kedua ini, jelas memberikan satu pendidikan karakter Istiqomah yang prinsipil. Bertanggung jawab atas diri sendiri dan menghargai orang lain. Meskipun, tidak sepatutnya santri hanya berseliweran dalam ranah kegiatan yang begitu-begitu saja.

Max Weber (1864-1920) seorang tokoh kondang filsafat Jerman dalam karyanya “Basics Sociological Terms” mengatakan ada empat hal dalam tindakan social yaitu rasional instrumental (zweckrational), rasional nilai (wertrational), afeksi dan tradisional. Namun yang paling penting dalam satu aspek kajian ini adalah tradisional. Dalam terjemahan pemikirannya, tradisional adalah tindakan yang serta merta berlandaskan tradisi yang berulang-ulang. Akhirnya, mengarah terhadap satu pola tindakan subjektif (individual). Nilai dari satu ilham pemikiran tersebut, penulis mencoba merangkai kerangka analisis bahwa santri seharusnya perlu melakukan satu manajerial berfikir yang relevan serta membuka wacana berfikir yang ideal. Ini bukan perkara menggiring pada “menghilangkan” tradisi dan nilai kepesantrenan menjadi “mercusuar” berarti memberikan cahaya di kegelapan. Membuka cakrawala pengetahuan dan berkenalan terhadap pemikiran di luar konteks kepesantrenan ini bukan tingkatan dosa besar. Tak hanya kenal dengan tasrifan dan semaan, tapi juga melakukan proses kegiatan diskusi pemikiran adalah fardhu ai’n untuk dilakukan.

Jumud (statis) adalah sikap yang tidak mau berkembang. Watak eksklusif yang tinggi akan menjadi pedang bermata dua, sesekali akan mencederai tuannya. Kendati demikian, sikap tertutup tersebut bukan menambah sederet keberhasilan pesantren untuk tetap bertahan di tengah gemuruh ilusi negatif dari luar mulai mengkristal. Usaha kelompok amatiran, yang memiliki misi menghancurkan pesantren tak berkesudahan. Mereka tak menghunuskan pedang, dengan taktik, intrik dan strategi doktrin yang mapan pesantren bisa saja menjadi nama dan terkapar tersisa belulang.

* Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum Putra Tahun 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *